Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Dulu saya pernah mengajukan pertanyaan iseng :"kalau saat ini Rasulullah masih ada, kepada siapa beliau akan berpihak ketika kesebelasan Arab Saudi bertanding dengan Indonesia..?". Pertanyaan ini tentu saja tidak perlu dijawab, namun direnungkan dan dijadikan dasar untuk memikirkan keberadaan negara bangsa (nation state) yang berlaku di dunia internasional saat ini, lalu sikap chauvinisme atau ashobiyah, fanatik terhadap nasionalisme yang berlebih-lebihan. Keduanya kemudian membentuk pola hubungan politik, sosial, ekonomi yang terjadi antara satu negeri dengan negeri lain.

Jangan dikira tuntunan Islam tentang ukhuwah Islamiyah menjadi darah daging pada orang-orang di Arab Saudi, termasuk pemerintah mereka. Pada satu sisi anda akan terkejut menemukan fakta kalau kecintaan terhadap negara bisa saja mengalahkan perasaan persaudaraan Islam yang menjadi faktor utama ketika ajaran ini mulai disebarkan oleh nabi Muhammad. Barangkali rasa bersatu, senasib dan sepenanggungan bisa anda temukan disekitar Masjdil Haram dan masjid Nabawi, namun jangan berharap itu juga akan muncul di jalan raya ketika anda sebagai orang asing melakukan pelanggaran lalu-lintas, senggolan dengan pengemudi warga Arab Saudi misalnya, atau juga persamaan dalam berdagang dan membuka usaha. Silahkan tanyakan kepada perantau-perantau Indonesia yang sudah bermukim lama disana, anda akan menemukan banyak cerita diskriminasi, sekalipun sama-sama Muslim.

Maka kedatangan raja Salman ke Indonesia yang katanya akan membawa duit ratusan trilyun tersebut haruslah ditempatkan pada proporsi yang benar, bahwa sebagai pemimpin negara, beliau tentu saja membawa kepentingan pemerintah dan rakyat di negerinya sendiri, minimal ada kerjasama saling menguntungkan. Tidak akan ada semacam 'anugerah pertolongan yang menyelamatkan'. Jangan sampai gairah kebangkitan umat Islam belakangan ini membuat mata kita tertutup sehingga tidak mampu berpikir logis, misalnya dengan mengatakan 'duit Arab' akan menyelamatkan kita dari jebakan 'duit Cina'. Apalagi sampai berpikiran bahwa pemerintah Arab Saudi sangat peduli dengan nasib umat Islam Indonesia yang saat ini dihajar kiri-kanan, dihina oleh orang kafir, dan pembusukan oleh sebagian kalangan Islam sendiri. Keselamatan umat Islam Indonesia tergantung usaha kita sendiri atas pertolongan Allah.

Jangan berharap kepada makhluk Allah yang lain karena mereka sama saja lemahnya dengan kita...

'Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan..".


Manusia sering memakai istilah dengan memelintir maknanya sehingga apa yang dia lakukan seolah-olah terkesan terhormat. Kalau suatu waktu anda ditangkap polisi lalu-lintas maka anda kemungkinan ditawarkan :"Bapak mau saya bantu..?", maksudnya daripada harus repot mengikuti proses pengadilan tilang lebih baik urusan diselesaikan di lapangan. Pak polisi menjuluki perbuatannya sebagai kegiatan mulia untuk membantu kesulitan para pengemudi yang ditangkap.

Demikian pula dengan istilah ini, politisi menganggap pemerintah butuh sosok yang berkualitas untuk mengurus kementrian, maka dikatakan :"Saya tidak berkeberatan mewakafkan kader partai untuk membantu pemerintah.", maksudnya mau menunjukkan kalau partai tersebut telah berkorban dalam menempatkan orang-orangnya dalam posisi menteri.

Tindakan membantu atau mewakafkan merupakan perbuatan yang memerlukan pengorbanan bagi pihak yang menjalankannya, ada sumbangan tenaga ataupun materi tanpa kompensasi apapun, kecuali imbalan dari Allah kelak di akhirat. Kalau itu dilakukan karena keuntungan yang ingin didapatkan maka bukan membantu atau mewakafkan namanya.

Berhentilah memakai istilah yang bertujuan untuk membuat mulia perbuatan yang sebenarnya tidak mulia. Mengapa tidak berbicara apa adanya saja bahwa anda memang mengharapkan sesuatu untuk keuntungan pribadi atau kelompok sendiri.? Lumrah saja dalam dunia politik untuk berusaha memegang jabatan dan menmgambil keuntungan dari kekuasaan yang diperoleh..


Istilah kafir sangat dikenal dalam ajaran Islam dengan beberapa pengertian dan tingkatan, mulai dari sikap menolak menyembah Allah sebagai Tuhan, sampai kepada mengingkari nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat). Para ulama juga membuat konsep membagi orang kafir yang tidak menyembah Allah sebagai Tuhan dengan beberapa tingkatan, terkait dengan sikap mereka dalam berhubungan dengan kaum Muslim, mulai dari kafir yang bermusuhan (kafir harby) sampai kepada kafir dzimmy, yaitu orang yang mengingkari Allah dan sudah merelakan diri untuk hidp damai dalam kekuasaan Muslim.

Ketika kita menyebut seseorang dengan kafir, biasanya dalam pengertian umum ditujukan kepada mereka yang non-Muslim, orang yang menyembah Tuhan selain Allah dan tidak mengakui nabi Muammad SAW adalah utusan Allah, dan dari sudut pandang ajaran Islam, Allah tidak akan menyelamatkannya di akhirat kelak.

Masalahnya, ada juga non-Muslim tersinggung ketika disebut sebagai orang kafir dan menganggap itu merupakan hujatan dan penyerangan terhadap keyakinan yang dianutnya, ini buat saya sangat mengherankan. Katakanlah istilah kafir ini dipakai juga oleh pemeluk agama selain Islam untuk menyatakan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang mereka sembah, misalnya Kristen mengatakan kepada saya :"Kamu orang kafir..", lalu saya bertanya :"Apa yang anda maksud dengan kafir..?", dan dijawab :"Orang yang tidak menyembah Yesus sebagai Tuhan, dan artinya tidak akan mendapat keselamatan dari Yesus..". Maka keimanan saya akan mengatakan itu adalah benar, saya adalah orang yang menyembah Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan hanya mengharapkan keselamatan dari Dia, lalu apa alasannya saya mesti tersinggung dikatakan sebagai kafir menurut ajaran Kristen..? Pernyataan Kristen tersebut justru merupakan konfirmasi keimanan saya, bahwa saya tidak menyembah Tuhan yang dia sembah.

Jadi ketika seseorang yang tidak menyembah Allah dan tidak mengakui nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah tersinggung dikatakan kafir, maka sebenarnya secara-diam-diam dia mengakui kalau Allah adalah Tuhan dan mengharapkan keselamatan datang dari Allah, dengan dikatakan sebagai orang yang terputus dan bakalan 'dicuekin' Allah kelak di akhirat maka 'kenyamanannya' dalam berlindung kepada Tuhan yang lain menjadi terganggu.

Maka untuk membuktikan keimanan anda, tersinggung dengan penyebutan kafir tidak perlu terjadi, saya mengatakan anda kafir anda juga mengatakan saya kafir karena kita masing-masing punya Tuhan yang berbeda untuk disembah dan juga Tuhan yang tidak sama untuk memberikan keselamatan.


Sampai sekarang saya masih belum memahami tentang orang-orang NU. Pada satu sisi dibalik gaya mereka yang 'ndeso' dan sarungan bisa muncul kaum intelektual Islam yang sarat ilmu, membangun cara berpikir yang didukung referensi kuat dari kajian para ulama terdahulu, menghasilkan argmentasi yang kokoh dan sangat Islami, Ibarat seseorang yang berdiri diatas tumpukan bahu para pemikir Islam pendahulu mereka. Hal ini bisa kita lihat dari pembicaraan lawan diskusi tokoh JIL dan para penanya yang hadir d video ini.

Namun disisi lain dari rahim NU juga muncul orang-orang liberal yang mencampakkan referensi dan kajian ilmiah para ulama terdahulu dan memelintir apa yang mereka sampaikan,  bertujuan mencocok-cocokkan dengan pemahaman yang berasal dari kalangan non-Muslim di dunia barat. Ada kesan minder atau rendah diri, seolah-olah mau menunjukkan kalau referensi dari internal Islam sudah ketinggalan jaman, lalu 'berjoget dalam irama gendang yang ditabuh orang lain', padahal para ulama Islam sejak dulu sampai sekarang sudah melakukan kegiatan ilmiah membahas soal apapun, termasuk filsafat Yunani dan sains.

Namun semuanya seperti diakomodasikan dikalangan NU sebagai bagian dari proses berpikir khas NU, bahkan secara organisasi justru kalangan liberal inilah yang sedang memegang kekuasaan di NU..

Saya benar-benar tidak paham..


Ijinkanlah saya bercerita tentang sebagian nasib masyarakat diwilayah Bandung utara, tepatnya disebelah Tahura - taman hutan raya Ir. H. Juanda. Pada suatu waktu saya berniat belajar memelihara lebah yang kebetulan lokasi pendidikannya ada ditempat tersebut, diajarkan oleh salah seorang penduduk setempat yang merupakan peternak lebah disana. Pada saat istirahat dia bercerita tentang nasib tetangga-tetangganya..

Di wilayah Bandung utara banyak dibangun komplek perumahan, villa, dll karena lokasinya yang bagus, berada diketinggian, berhawa sejuk dan dimalam hari bisa memandang ke kota yang dihiasi lampu-lampu. Dahulunya tanah disana dimiliki oleh para penduduk, namun dengan berkembangnya kompleks perumahan, banyak yang akhirnya menjual tanah-tanah mereka kepada developer, lalu pulang ke daerah asal seperti di Subang, Garut, Tasik, dll. namun karena tingkat pendidikan dan ketidak-mampuan berusaha, uang hasil penjualan tanah dipakai untuk pengeluaran yang konsumtif, beli motor, dll, akhirnya habis. Penduduk yang dulunya bermukim di Bandung utara tersebut akhirnya kembali lagi dan pontang-panting mencari pekerjaan, ada yang jad satpam, tenaga kebersihan dan pembantu rumah-tangga. Berada ditempat yang sama namun dengan nasib yang berbeda.

Pemerintah sekarang kelihatannya menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai primadona. Ada proyek Trans Sumatera, jalan tol di pulau-pulau di luar Jawa, jalur kereta api, kereta cepat, dll. Diharapkan dengan adanya infrastruktur baru tersebut wilayah yang dilalui akan meningkat derajatnya, menjadi sentra-sentra perekonomian dengan membangun perumahan, sentra industri, taman rekreasi seperti Disney World. Pembangunan akan membuka banyak lapangan kerja dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Begitu cita-citanya.

Cerita kecil tentang penduduk di Bandung utara bisa dijadikan pelajaran bahwa pembangunan infrastruktur memiliki akibat negatif kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas intelektual masyarakat. Rakyat akan menjadi kuli dan para pemilik modal akan makin 'jauh dari jangkauan' karena mampu mengambil manfaat materi yang melimpah. Maka seharusnya semuanya harus diprogramkan secara simultan.

Memang membangun infrastruktur jauh lebih gampang dibandingkan meningkatkan kemampuan dan kecerdasan masyarakat. Kalaupun tidak ada modal tinggal berhutang dengan konsesi yang memadai bagi pemilik modal, hasilnya juga kelihatannya nyata dalam waktu relatif singkat, dan tentunya bisa dipakai untuk pencitraan :"Hanya dijaman saya proyek ini bisa dibuat...". Sebaliknya membangun kualitas intelektual rakyat membutuhkan paling kurang 1 generasi, si pemimpin mungkin sudah selesai bertugas ketika program tersebut berhasil dan bisa-bisa akan diklaim sebagai hasil kerja pemimpin berikutnya. Mungkin ini penyebab mengapa program peningkatan pendidikan masyarakat tidak menjadi favorit bagi penguasa, sekalipun dalam berbagai kampanye hal ini sering dijanjikan. Indikasinya gampang kita lihat, MPR bahkan harus 'repot-repot' merubah UUD'45 dengan menetapkan batasan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD (Pasal 31 ayat 4), menunjukkan kalau penguasa harus 'dipaksa' untuk memperhatikan program pendidikan.

Maka berhati-hatilah dengan pembangunan infrastruktur, tanpa diimbangi program peningkatan kualitas masyarakat hal ini bisa menjadi pisau bermata dua, diharapkan mampu memotong sesuatu sesuai kebutuhan, namun bisa malah melukai diri sendiri.


Dulu saya pernah mengajukan pertanyaan 'santai tapi serius' tentang makna dari negara kebangsaan :"Kalau saat ini nabi Muhammad SAW masih hidup, siapakah yang akan dibela beliau ketika kesebelasan sepakbola Arab Saudi bertanding dengan Indonesia..?. Ini baru soal sederhana tentang pertandingan sepakbola, bagaimana halnya dengan urusan lain antar negara seperti kontrak dagang, perang dan persekutuan damai, investasi asing, urusan imigrasi, TKI, dll..?

Negara bangsa seperti yang kita kenal saat ini mempunyai landasan yang membedakan satu dengan yang lainnya, yaitu adanya kebangsaan dan kedaulatan, dua konsep yang sebenarnya sangat samar batasannya. Indonesia dan Malaysia punya warga yang serumpun namun tetap menjadi negara terpisah karena yang satu bekas jajahan Belanda yang lain dijajah Inggeris, India dan Pakistan sama-sama dijajah Inggeris dan sama-sama merdeka dalam waktu yang sama, namun karena perbedaan agama mayoritas yang satu Hindu dan yang lain Islam, tidak terjadi penyatuan negara. Lain lagi Pakistan dengan Bangladesh, dua-duanya negara dengan penduduk mayoritas pemeluk Islam namun akhirnya menjadi negara sendiri-sendiri karena lokasinya berjauhan. Tidak ada satu konsep yang baku mendasari apa yang dimaksud dengan kebangsaan sehingga bung Karno punya konsep sendiri yang juga tidak kalah samarnya, kebangsaan dimunculkan karena adanya persamaan nasib.

Keberadaan suatu negara bangsa juga bukan bersifat alamiah, namun merupakan akibat interaksi dengan pertarungan politik, bisa dilacak sejak abad ke-15 ketika mulai terjadinya pemisahan kerajaan-kerajaan di Eropah dengan kekuasaan gereja Roma. Silih berganti muncul negara, ada yang bergabung, lalu pecah lagi. Jadi negara bangsa bukanlah suatu yang bersifat ajeg dan mapan, begitu masyarakat dan pemegang kekuasaannya punya kehendak lain, bisa jadi muncul negara baru. Maka sebagaimana keniscayaan munculnya negara bangsa, kemungkinan adanya suatu kekhalifahan Islam yang mencakup seluruh dunia juga bukan merupakan hal yang mustahil. Bentuknya bisa bermacam-macam karena Rasulullah tidak pernah memberikan petunjuk soal ini, bisa saja memakai model negara persemakmuran, atau model Uni Eropah yang tetap mengakui eksistensi negara bangsa, atau benar-benar berbentuk negara yang berdaulat.

Semua umat Islam pasti menghendaki adanya kekhalifahan, adanya suatu kekuasaan yang mencakup dan mempersatukan seluruh umat manusia, dilaksanakan dalam nilai-nilai Islam, melindungi semua rakyat, baik yang beragama Islam maupun yang bukan. Namun mereka berbeda paham tentang cara untuk mencapainya. Ada Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani, lalu Hasan al-Bana di Mesir membentuk Ikhwanul Muslimin, dimasa sekarang ada gerakan Hizbut Tahrir. Semua gerakan tersebut punya konsep dan cara mewujudkan negara khilafah yang berbeda-beda. Karena berbeda maka akhirnya dalam gerakan sendiri berlaku 'hukum alam', otomatis muncul perpecahan antara yang ikut kelompok dengan yang berada diluar kelompok.

Bagi saya sendiri, khilafah Islam semata-mata merupakan anugerah Allah, yang diberikan-Nya apabila umat Islam memang sudah mempersiapkan diri, menunjukkan sebagai komunitas yang benar-benar menjalankan syariat Islam. Maka langkah yang paling logis dan paling terjangkau adalah dengan memperbaiki lingkungan terdekat terutama dari aspek kehidupan sosial. Mulai dengan rajin shalat berjamaah di masjid sehingga terjadi interaksi dalam ukhuwah. Apabila hal ini sudah meluas dan menjadi kebiasaan yang bersifat menyeluruh maka turunnya pemimpin/khalifah hanya soal waktu.


Pernah beberapa tahun lalu kompleks tempat saya tinggal di Bandung heboh karena bakalan diadakan acara perayaan asyura oleh pengikut Syiah disalah satu gedung pertemuan dekat rumah. Pada awalnya kami jamaah masjid tidak mengetahui acara tersebut sampai suatu ketika ba'da Ashar saya didekati 2 orang yang ternyata dari FPI dan menginformasikan beberapa hari lagi orang-orang Syiah mau bikin perayaan. Akhirnya kami berinisiatif untuk membuat surat penolakan ke Polda Jabar dengan alasan keamanan, warga tidak ingin diwilayah mereka terjadi keributan karena ternyata setelah ditelusuri sudah banyak ormas-ormas Islam yang akan bergerak.

Dalam beberapa kali pertemuan, ada saja beberapa orang yang menyusup dan ikut berbicara dalam meeting berusaha memanas-manasi para pemuda, tidak lupa memberikan gambaran situasi di Suriah, Irak, jihad, mati syahid, dll, namun saya perhatikan para anggota ormas ternyata bisa mengendalikan diri tidak mengambil tindakan diluar komando pimpinan mereka. Ini berlangsung sampai hari-H pelaksanaan acara.

Akhirnya pengikut Syiah memang tidak jadi menyelenggarakan perayaan Asyura digedung pertemuan tersebut tapi memindahkannya ke masjid di markas mereka. Waktu itu terjadi perbedaan pendapat dikalangan ormas, ada yang mengatakan tidak perlu melanjutkan gerakan karena acaranya sudah dipindahkan, kalau mau menyerang ke lokasi yang baru belum ada koordinasi dengan warga sekitar, nanti dikhawatirkan malah terjadi bentrokan dengan warga. Sebagian tetap bersikeras untuk melanjutkan dan mengejar sampai keujung dunia sekalipun, kesan yang saya lihat tujuannya memang ingin memancing kerusuhan fisik.

Namun kesimpulan akhir dari mayoritas ormas memang menyatakan kegiatan cukup sampai disini dan mereka memerintahkan pengikut masing-masing untuk membubarkan diri. Pihak yang sejak semula menjadi provokator terlihat kecewa dan buru-buru pulang duluan sambil menggeber mesin motornya keras-keras lalu berteriak :"Allahuakbar...".

Ada diantara anggota pemuda yang kemudian nyeletuk sambil nyengir :"Ah..eta mah anggota genk motor syariah...".

Pelajaran yang bisa diambil, dalam kegiatan seperti ini sangat rentan disusupi provokator, jadi haruslah berhati-hati..


Pernah dalam suatu kesempatan melaksanakan umroh ke Makkah, saya bertemu dengan satu keluarga Arab Saudi, pasangan suami istri dan tiga anak wanita mereka, berpapasan dalam lift hotel. Berbasa-basi mengajak ngobrol lalu saya tahu kalau mereka penduduk lokal yang mengisi liburan dengan berumroh juga. Ketika mau keluar dari lift si bapak Arab bersikap tidak sopan menurut saya, merentangkan tangan melindungi istri dan anak-anaknya berjalan keluar, membatasi dari posisi saya berdiri, seolah-olah menunjukkan kecurigaan kalau saya bermaksud tidak baik terhadap mereka. Waktu itu otomatis saya jadi tersinggung dan berkata dalam hati :"Dasar onta.., kalian yang terkenal suka memperkosa para TKW sekarang malah berlagak menjadi orang terhormat, ngaca diri donk....".

Secara halus penyakit ashabiyah masuk meracuni hati. Menurut hadits sikap ashabiyah diartikan 'saling tolong menolong karena dasar kekerabatan, kesukuan, kelompok atau identitas lain, sekalipun dalam kedzaliman', secara lebih luas mungkin bisa diartikan sebagai suatu perasaan merasa kelompok atau bangsa sendiri lebih baik dari orang-orang yang berada diluar kelompok'. Inilah sifat yang paling duluan dihabiskan oleh dakwah nabi Muhammad ketika beliau mulai menyebarkan ajaran Islam, menghapus ashabiyah lalu menggantinya dengan sistem kekerabatan berdasarkan keimanan. Kaum Quraisy di Makkah yang sebelumnya menganut paham kesukuan, berperang dan mengadakan perjanjian damai berdasarkan sistem kabilah, semuanya dihapus total dalam ajaran Islam dan ashabiyah menjadi suatu hal yang dikecam oleh Rasulullah. dengan suatu pernyataan yang sering dikutip para penceramah dan khatib shalat Jum'at :

'Innamal mu'minuuna ikhwah' - setiap Muslim itu bersaudara....

Belakangan munculnya istilah-istilah yang mengkotak-kotakkan Islam bisa dicurigai juga sebagai sikap yang sudah diracuni ashabiyah, orang Arab menganggap remeh pemeluk Islam diluar mereka karena banyak melakukan bid'ah, sebaliknya muncul Islam 'kita' yang dicitrakan merupakan Islam yang ramah dan toleran, berbeda dengan pihak sana yang suka berkelahi. Mungkin sikap ashabiyah ini datang secara tidak disadari akibat keprihatinan keadaan umat yang centang-perenang, bertikai satu sama lain tidak ada habis-habisnya, bisa juga muncul 'by design' oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan umat Islam bersatu. Tapi yang jelas di internal umat sendiri bibit-bibit sifat ashabiyah ini memang sudah ada.

Menghabiskan waktu beberapa hari di tanah suci melaksanakan umroh telah membuka mata saya tentang kehidupan keagamaan orang-orang Arab Saudi. Tentu saja saya mendengar kisah terjadinya kekerasan dan pemerkosaan para tenaga kerja Indonesia disana, atau juga perlakuan tidak adil aparat seperti kepolisian terhadap orang-orang non-Arab, namun gambaran yang saya dapatkan secara umum mereka adalah masyarakat yang taat dan shaleh dalam beribadah. Disamping berkembangnya kehidupan modern yang materialis, shalat 5 waktu di masjid tetap dilakukan terutama oleh kaum laki-laki, masjid dimanapun, bukan hanya di Masjidil Haram atau masjid Nabawi saja, selalu penuh. Ditengah maraknya keberadaan toko-toko menjual barang mewah dan bermerk, para penduduknya hidup relatif aman dari perbuatan kriminal, ada pertengkaran dengan suara keras, namun jarang terjadi tawuran massal. Kemaksiatan tentu saja ada, namun jarang kita melihat para pemuda mereka mengumbarnya didepan umum.

Maka langkah yang positif kalau masih juga mau bersikap 'saya lebih baik daripada anda', tidak usah berpedoman kepada keburukan pihak lain karena itu tidak akan menyelamatkan anda. Tunjukan bukti kalau anda memang bisa lebih baik dari mereka, beribadah lebih rajin dan lebih tertib, bermasyarakat lebih santun, tidak merusak.


Ribut-ribut di twitter antara pak Tifatul Sembiring dengan sutradara Joko Anwar mungkin merupakan contoh bagus soal strawman fallacy', yaitu kesalahan logika dengan sengaja memelintir pendapat orang lain, memunculkan penafsiran yang lemah lalu dikatakan sebagai pendapat lawan. Pelaku strawman falacy menyerang apa yang dia ciptakan sendiri tersebut, seolah-olah dia telah membantah pendapat yang sebenarnya dari pihak lain.

Twitter pak Tifatul mengatakan sebagai renungan dihari Jum'at menyampaikan hadits Rasulullah yang menyebutkan pelaku perbuatan liwath/sodomi/homoseksual harus dibunuh, disampaikan agar semua pihak terutama yang beragama Islam bisa menjadikannya sebagai bahan untuk mengkoreksi diri, sehingga tidak terlanjur melanggar ajaran agama. Joko Anwar lalu memunculkan strawman - orang-orangan sawah, yang sifatnya lemah dan gampang diserang, yaitu 'hate speech', dia menyerang kesimpulan yang dibuatnya sendiri tersebut seolah-olah sedang menyerang pendapat dari lawan. Tidak lupa sekalian melapor ke pak Jokowi dan Kapolri.

Bisa jadi ini dilakukan karena untuk menyerang hadits yang disampaikan ibarat harus melawan 'orang kuat' karena posisinya yang kokoh sebagai dalil agama.

Makanya lumrah kalau kemudian Tifatul Sembiring jadi bengong lalu berkata :"Mengutip hadits Nabi saw, hate speech ?...opo sik mas...!!"


Belakangan ada berita, entah benar atau tidak, tentang pangeran Charles yang telah menjadi mualaf. Berita ini menghasilkan pro-kontra ditengah masyarakat dunia karena sampai sekarang memang tidak ada penjelasan resmi tentang agama yang dianut oleh pangeran dari Inggeris ini. Mungkin ini akan tetap menjadi rahasia pribadi entah sampai kapan.

Bulan Juni 2010 saya pernah membuat status mengenai pernyataan beliau tentang Islam yang sangat positif :

=="Putera Mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles mengakui, mengikuti prinsip-prinsip spiritual Islam akan dapat menyelamatkan dunia, demikian dilaporkan harian terkemuka Inggris Daily Mail, Kamis. Pangeran Charles mengemuakakan hal itu dalam pidatonya yang bertema "Islam and the Environment" di gedung Sheldonian Teater, Universitas Oxford, Oxford, Inggris.

Dalam ceramahnya selama satu jam di hadapan para sarjana studi Islam di Oxford, Pangeran Charles berargumen bahwa kehancuran manusia dunia terutama bertentangan dengan Islam. Untuk itu ia mendesak dunia untuk mengikuti prinsip-prinsip spiritual Islam untuk melindungi lingkungan."==

http://www.antaranews.com/berita/207514/pangeran-charles-prinsip-spiritual-islam-selamatkan-dunia

Menanggapi berita tersebut, saya lalu mengutip kisah dari buku The Road to Mecca karangan seorang mualaf Leopold Weiss (Muhammad Asad), sebuah biografi proses berpindahnya si penulis kembali kefitrahnya sebagai Muslim :

=="Suatu soal yang hampir selalu menguasai pikiran saya melebihi pemikiran tentang lain-lain kepentingan dunia Islam. Soal ini tetap menjadi titik berat perhatian saya, sampai akhirnya saya, seorang yang bukan Muslim, berbicara terhadap orang-orang Islam sebagai pembela agama Islam sendiri menghadapi kelalaian dan kemalasan mereka.

Perkembangan ini tidak terasa oleh saya, sampai pada suatu hari musim gugur tahun 1925 di pegunungan Afganistan, seorang Gubernur yang masih muda berkata kepada saya: "Tapi Tuan adalah seorang Muslim, hanya Tuan sendiri tidak menyadarinya."==


Beberapa tahun lalu ada acara stand-up comedy menyambut Imlek di salah satu saluran televisi, karena berkaitan dengan Imlek maka komedian yang ditampilkan adalah mereka yang keturunan Cina. Salah seorang bercerita tentang nasibnya sebagai warga keturunan Cina yang hidup di negeri ini ketika masa kecilnya sering diganggu teman-teman dengan memanggilnya :"Dasar Cina...". Suatu waktu dia pergi berkunjung ke negeri leluhurnya di Tiongkok, ternyata disana juga menerima gangguan yang sama ;"Dasar Indonesia...". Ada kegetiran dibalik maksud untuk melawak. Maka untuk menyatakan rasa simpati, saya kemudian memuat lelucon ini di status FB saya..

Ternyata reaksi dan komentar pembaca diluar dugaan. Sebagian mereka berkisah bahwa orang Cina di Indonesiapun melakukan diskriminasi, lalu memberikan contoh nasibnya yang tidak bagus ketika bekerja disalah satu perusahaan milik keturunan. Perlakuan manajemen dan pemilik sangat berbeda dibandingkan sikap mereka terhadap sesama keturunan. Saya juga ingat kisah seorang teman yang kebetulan berwajah mirip orang Cina melamar kerja pada satu perusahaan di Tangerang, ketika diwawancarai pihak perusahaan terkejut dengan jawabannya kalau dia bukan keturunan Cina, tapi pribumi asli, hasilnya teman saya tersebut memang tidak diterima bekerja.

Para pengidap LGBT protes atas perlakuan diskriminatif yang mereka terima, sering diolok-olok sejak kecil karena gayanya yang 'melambai', disisi lain kita juga mendengar kisah yang sama dari wanita muslimah yang memakai jilbab atau bercadar. Anda wanita yang mengeluhkan perlakuan tidak adil karena jenis kelamin..? kaum laki-laki juga mengeluh karena didiskriminasi dengan adanya 'ladies parking' di pusat perbelanjaan, perkantoran dan hotel, juga karena perbedaan jenis kelamin.

Orang non-Muslim ribut dengan diskriminasi yang mereka terima ketika ingin membangun rumah ibadah diwilayah mayoritas Islam, sebaliknya umat Islampun mengalami hal yang sama ketika mereka dihalang-halangi untuk beribadah dan menjalankan syariat diwilayah non-Muslim.

Bahkan reaksi para penggiat HAM yang berusaha untuk melawan diskriminasi sebenarnya juga tidak bebas dari sikap tersebut, ketika mereka berbusa-busa membela kasus pembangunan gereja, LGBT, penindasan kaum wanita, tapi mendadak mengalami 'amnesia parsial' ketika hal itu terjadi terhadap umat Islam, pribumi dan kaum laki-laki. muslimah berjilbab, dll.

Diskriminasi memang ada dalam kehidupan manusia, dilakukan dengan banyak alasan, merasuk dalam setiap jiwa lalu akan keluar berbentuk perbuatan, disadari atau tidak.

Islam sebenarnya punya langkah sederhana untuk mengendalikan sifat diskriminasi manusia, yaitu dengan shalat berjamaah, berbaris berjejer, bersentuhan bahu dengan bahu, melakukan gerakan bersama-sama mengikuti komando sang imam. Ketika Rasulullah mengatakan : “Tutup setiap celah shaf, karena setan masuk di antara shaf kalian, seperti anak kambing.” (HR. Ahmad 22263 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth), Setan yang dimaksud disini bukan sosok yang berwajah mengerikan, bertelinga panjang membawa tombak trisula, setan yang dimaksud adalah setan diskriminasi yang merasuk dalam hati, menghasilkan sikap curiga terhadap orang disebelah, merasa lebih baik dan lebih berharga. Shalat berjamaan ketika dibiasakan dan sudah dimulai sejak kecil, secara pelan-pelan akan mampu menjadi sarana pengendali sifat diskriminasi manusia. Kalau anda tidak percaya, coba saja dipraktekkan..


Pada suatu kesempatan saya pernah berbincang-bincang dengan satu orang teman yang kebetulan baru saja menduduki jabatan pada sebuah institusi bisnis. Hal yang pertama saya berikan masukan adalah soal akan munculnya para penjilat :"Kekuasaan selalu punya hubungan erat dengan penjilat dan pencari-muka, makin besar kekuasaan yang dipegang makin banyak dan makin intens pihak-pihak yang akan berusaha menyenangkan hati anda, membenarkan apapun yang anda sampaikan dan sangat sedikit bicara soal efek negatif yang bisa mempersulit atau menghalangi rencana yang akan diterapkan..".

Pada dasarnya penjilat dan pencari-muka  tidak peduli dengan penguasa yang dijilat, karena mereka mau merendahkan dan mengorbankan diri untuk kepentingan sendiri. Ketika penguasa jatuh dan kekuasaan dicabut maka merekalah yang paling duluan akan berbalik kanan, menjauh dan meninggalkannya. Penjilat juga tidak akan peduli dengan hasil yang dicapai, apakah akan berhasil atau gagal karena pihak yang akan menanggungnya tetap saja si penguasa.

Maka penguasa yang cerdas adalah orang yang lebih memperhatikan masukan dari pihak yang berlawanan, terlepas apakah akhirnya pendapat mereka dipakai atau tidak. Sudah merupakan kodratnya kalau input dari sisi negatif akan bisa membuka pintu untuk melihat kemungkinan terjadinya penyimpangan. Disini berlaku prinsip :"Selama masukan negatif punya jalan keluar untuk diatasi maka otomatis sisanya adalah jalan yang sudah benar..", sebaliknya ketika kita hanya berpedoman kepada masukan positif, kita akan sering luput menghitung hal yang sebaliknya. Cuma sayangnya banyak penguasa yang memang dari sononya senang dijilat, siapa yang tidak happy dengan orang-orang disekeliling yang selalu membenarkan, bahkan memperkuat apa yang anda sampaikan..?

Untuk itu, perkataan yang saya kutip dari salah satu film favorit saya 'The Godfather' ini perlu direnungkan, diucapkan oleh boss mafia Vito Corleone dalam menasehati anak-anaknya :

"Keep your friends close but your enemies closer."


Saya teringat dengan buku lama yang berjudul 'Mereka Berani Bicara - Menggugat Dominasi Lobi Yahudi' karangan Paul Findley, seorang anggota kongres AS tahun 80'an, bercerita tentang kekuatan lobby Yahudi di dunia politik Amerika Serikat, termasuk cara-cara yang dipakai mereka untuk menekan dan mempengaruhi masyarakat dan politisi. Jumlah orang Yahudi yang hanya 2,5% dari populasi penduduk di AS ternyata tidak menghalangi Yahudi Amerika untuk berkuasa disana. Salah satu cara yang mereka pakai terlihat pada kutipan ini :

=="Beberapa tahun yang lalu, misalnya, seratus telegram berisi kata-kata serupa dikirim kepada senator Adlai E. Stevenson dari Illinois, memprotes legislasi (mengatur bantuan kepada Israel - pen) yang sedang dia usulkan. Telegram-telegram ini bernomer seri urut, menunjukkan bahwa semuanya dikirim oleh satu orang, walaupun namanya berbeda-beda. Pada masa itu juga, senator Abraham Ribicoff (Connecticut) menerima dua puluh delapan telegram. Semuanya berisi kata-kata sama dan biayanya dibebankan pada sebuah nomer telepon yang sama di Hartford, tapi nama para pengirimnya berlainan.

Bahkan dua atau tiga panggilan telepon dapat menciptakan gambaran seolah banyak sekali penduduk yang memprotes, meskipun barangkali jumlah protes sesungguhnya hanyalah sebanyak orang yang menelepon itu saja. Pada tahun 1983, sejumlah kecil deringan telepon sudah mampu mendorong empat belas kongreswan muda untuk mengambil langkah luar biasa, membalik suara  mereka mengenai legislasi yang mengatur bantuan buat Israel."==

Mengamati berita keberadaan pasukan dunia maya semisal panasbung, dll termasuk cara-cara yang dipakai untuk membully lawan politik dari tokoh yang dibela, saya bisa melihat benang merah dari strategi Yahudi di AS dalam bentuknya yang lebih maju dan modern. Kemudahan mengalirnya informasi dan gampang diakses oleh masyarakat membuat cara seperti ini sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik, terutama bagi orang-orang yang gamang dengan pilihan politik mereka. Sistem demokrasi menempatkan opini publik sebagai hal yang menentukan, dan opini publik salah satunya harus digiring dengan 'badai' informasi yang dilakukan terus-menerus. Amerika Serikat memberikan pelajaran buat negeri ini bahwa pola yang terjadi sebenarnya sama saja, hanya teknologinya yang berubah. kalau dulu telepon dan telegram yang dipakai, sekarang ini ada medsos, e-mail, dll.

Kondisi ini bisa membuat keadaan setiap individu menjadi riskan dan penuh resiko, anda bisa saja terjebak melakukan penilaian yang benar menjadi salah, atau sebaliknya yang salah terlihat benar, bahkan sering hal tersebut dilakukan tanpa sadar.

Lalu bagaimanakah kita bisa selamat dari jebakan terpaan arus informasi seperti ini..? agar kita bisa selamat menjalani kehidupan dunia dan akhirat kita..? Silahkan dijawab sendiri..


Perkembangan pendekatan marketing dalam dunia bisnis memiliki proses yang bisa dijelaskan secara runtut, ini bisa anda temukan dalam buku 'Marketing Warfare' karangan Al Ries dan Jack Trout. Awal mulanya adalah 'product oriented' ketika produsen menghasilkan barang semata-mata berpedoman kepada kemampuan dan pilihan mereka membuat produk. Dulu ada ungkapan sebuah pabrik mobil di Amerika Serikat ' anda boleh memilih mobil dengan warna apapun asal hitam', karena mereka hanya memproduksi mobil berwarna hitam. Fase selanjutnya kecenderungan mulai beralih menjadi 'customer oriented', produksi mulai disesuaikan dengan selera customer. Mulai ada diversifikasi produk, jenis kemasan yang berbeda. Sekarang masanya 'competitor oriented', bahwa sepak terjang pemasaran produk terkait dengan apa yang dilakukan pesaing.

Pendekatan terakhir ini banyak diadopsi dari strategi perang, ada model ofensif, defensif, memanfaatkan ceruk dan melakukan gerilya, tergantung bagaimana posisi dan sumber daya suatu perusahaan terhadap kompetitornya. Pada dasarnya 'competitor oriented' memang bermain dalam tataran persepsi, pertarungan ada dalam kepala customer. Ketika anda datang ke sebuah toko atau supermarket, terpaku dihadapan rak barang-barang, apa yang ada dalam pikiran anda ketika menggerakkan tangan memilih Coca Cola dan bukan Pepsi Cola..? Mengapa anda lebih memilih produk yang lebih mahal dibandingkan yang murah..?Keputusan anda sebenarnya sudah dikondisikan melalui pencitraan jauh sebelumnya lewat iklan, promosi tersebut yang bekerja mempengaruhi persepsi sehingga anda mengambil sesuatu untuk dibeli.

Coca Cola merupakan produk yang muncul lebih dahulu, ketika beberapa tahun kemudian terjadi 'generation gap' karena penggemar minuman ini sudah menjadi orang-tua yang hidup mapan. Pepsi lalu muncul melakukan serangan dengan jargon 'The Choice of New Generation' dengan memakai Michael Jackson sebagai ikon, berusaha mempersepsikan bahwa peminum Coca Cola adalah generasi tua yang sudah ketinggalan jaman, sekarang masanya untuk generasi baru yang energik dan berpikiran maju. Di dalam negeri ada kampanye 'orang pintar minum Tolak Angin', lalu dibalas dengan 'Orang bejo minum Bintang Toedjoe' dengan memakai sosok yang lugu dan naif seperti Butet Kertaradjasa.

Ternyata dalam kampanye di dunia politik juga berlaku perang pemasaran karena prinsipnya sama, yaitu bermain pada tataran persepsi masyakarat, pertarungan ada dalam pikiran orang banyak. Strategi marketing dan pencitraan diadopsi untuk mengangkat dan menjatuhkan. Jadi yang selama ini anda terima tidak semata-mata muncul dari kejujuran si calon, melainkan sudah merupakan hal yang diciptakan 'by design'. makanya bermunculan lembaga survey, perusahaan public relation, ahli komunikasi politik, yang bekerja untuk itu. Mereka adalah orang-orang profesional dan banyak yang menimba ilmu dari dunia barat khususnya dalam urusan memanipulasi informasi. Kita ingat dulu ketika PDI dibawah ketuanya Suryadi memposisikan diri mereka sebagai 'partai anak muda' untuk melawan Golkar yang diisi oleh pejabat-pejabat yang sudah hidup mapan, mirip pertarungan Coca Cola dan Pepsi. Pada pilpres terakhir juga muncul sosok Jokowi yang lugu dan ndeso melawan Prabowo yang mapan, keturunan keluarga terhormat lengkap dengan sikap militernya yang masih kental. Tidakkah anda melihat pola yang sama dengan perang obat masuk angin 'orang pintar vs orang bejo'..? Semua kampanye tersebut kalau diteliti memiliki konsultan-konsultan komunikasi politik dibelakang mereka.

Berkaitan dengan populasi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka faktor ini sejak dahulu menjadi point yang 'sexy' untuk diolah dan dimanipulasi. Sebagian kelompok memakai jargon Islam untuk meraup simpati masyarakat, sebagian yang lainnya mengeluarkan jurus 'tidak masalah pemimpin kafir asal jujur', lalu otak kita akan diarahkan dengan informasi-informasi yang mendukung masing-masing pihak. Kesalahan pihak lawan menjadi hal yang bagus untuk diblow-up, termasuk memakai ilmu sesat logika dengan menggeneralisir, satu-dua orang jadi koruptor maka dipersepsikan semua pihak lawan adalah koruptor.

Semua yang kita hadapi saat ini tidak bisa dilepaskan dari kegiatan marketing warfare, jangan terlalu bermimpi soal kejujuran karena memang sudah bukan jamannya lagi..


MALAIKAT MAUT MENOLAK TUGAS...

Waktu kecil dulu saya pernah membaca buku cerita dongeng tentang malaikat maut yang diutus Tuhan untuk mencabut nyawa seorang ibu. Suami si wanita tersebut baru saja meninggal dunia dan sekarang giliran dia untuk dicabut nyawanya, padahal si ibu baru saja melahirkan bayi perempuan, mereka juga tidak punya keluarga lain yang bisa mengurus si bayi. Malaikat maut tidak tega untuk mencabut nyawa si ibu karena bisa mengakibatkan si bayi hidup sebatang-kara, lalu dia menolak penugasan Tuhan tersebut. karena penolakannya maka Tuhan menghukum malaikat untuk menjalani hidup sebagai manusia biasa, berkelana bertahun-tahun untuk belajar tentang kehidupan.

Belasan tahun kemudian si malaikat yang sudah menjelma menjadi manusia bertemu dengan sebuah keluarga yang mempunyai anak gadis cantik, mereka kelihatannya hidup berbahagia, terawat dengan rejeki yang mencukupi kebutuhan hidup. Setelah berbincang-bincang barulah si malaikat maut ini tahu kalau anak gadis tersebut bukanlah anak kandung dari keluarga tersebut, melainkan mereka menemukan seorang bayi perempuan sebatang-kara ditinggal mati ayah-ibunya beberapa tahun lalu. rasa kasihan dan kasih-sayang mereka membuat suami-istri ini kemudian mengadopsi dan memelihara anak gadis tersebut sampai dewasa seperti saat ini. Si malaikat juga tahu kalau ibu kandung si anak perempuan tersebut adalah si wanita yang dulunya dia tolak untuk dicabut nyawanya. Perkataan keluarga berikut ini membuat malaikat maut yang sedang mempelajari makna kehidupan menjadi memahami tentang kekuasaan Tuhan, mereka berkata :"Anak perempuan ini bisa saja hidup dan berkembang tanpa bantuan dan pertolongan ayah-ibu atau siapapun manusia lainnya, namun dia pasti tidak akan bisa bertahan tanpa pertolongan dan kasih sayang Tuhan..".

Apakah anda pernah berpikiran untuk menyandarkan diri kepada manusia lain untuk menopang hidup anda..? kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa, ataupun anggota keluarga lain yang anda nilai punya kekuatan untuk itu..? Mereka semuanya adalah makhluk yang lemah. Maka satu-satunya jalan yang paling logis sebagai tempat menyandarkan diri hanyalah Allah, karena dia yang memiliki segalanya untuk menentukan hidup anda.

Itulah kisah yang saya baca dari sebuah buku waktu kecil dulu, saya sudah lupa judul dan penerbitnya, yang saya ingat hanyalah kalimat yang disampaikan oleh keluarga angkat si gadis tersebut, membekas sampai sekarang..


Ada gugatan dari non-Muslim terkait perintah shalat Jum'at dalam Al-Qur'an :

QS [62:9] Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

lalu dilanjutkan dengan kesimpulan : "Semua perempuan muslim Indonesia tidak beriman karena tidak menunaikan sholat jumat."

Kalau kita periksa dalil tentang shalat Jum'at bagi kaum wanita, maka dalilnya adalah :

“Janganlah kalian menghalangi istri kalian untuk ke masjid. Dan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Daud 567 dan dishahihkan Al-Albani)

“Jumatan adalah kewajiban bagi setiap muslim, untuk dilakukan secara berjamaah, kecuali 4 orang: Budak, wanita, anak (belum baligh), dan orang sakit.” (HR. Abu Daud 1067 dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih, 1:190 dan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari, 5:327).

Hadits tersebut sama sekali tidak melarang kaum wanita untuk melakukan shalat Jum'at berjamaah ke masjid, sehingga bagi mereka yang ingin melakukannya dipersilahkan. Makanya kita banyak menemukan di masjid-masjid besar, terutama di masjid kampus, terdapat jamaah wanita dalam ibadah shalat Jum'at.

Aturan ini justru sangat membuka peluang bagi kaum wanita Islam untuk menunjukkan diri mereka sebagai orang yang beriman karena banyak alternatifnya, mau shalat Jum'at ke masjid boleh, mau shalat dhuhur di rumah juga boleh, keduanya tetap dinilai berpahala oleh Allah. Sebaliknya justru kaum laki-lakilah yang terikat aturan ketat untuk menunjukkan diri sebagai orang beriman. Laki-laki yang tidak shalat Jum'at ke masjid tanpa adanya halangan yang jelas akan terancam dinilai sebagai orang yang tidak beriman, sekalipun dia kemudian melakukan shalat dhuhur dirumah.

Jadi tidak benar kalau dikatakan aturan Al-Qur'an bertentangan dengan hadits Rasulullah. karena apa yang disampaikan oleh nabi Muhammad tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan teknis dari apa yang diatur dalam Al-Qur'an.


Saya agak bingung dengan cara berpikir orang-orang liberal, salah satunya yang dikemukakan dalam link ini. Pada saat sebagian umat Islam bereaksi keras terhadap kalangan Islam lain yang melanggar aturan, misalnya membuka warung disiang hari bulan Ramadhan, atau tidak berpuasa tanpa sebab yang jelas, mereka langsung memberikan pembelaan dengan mengatakan soal ibadah urusan pribadi. Disaat giliran bicara soal haji malah meributkan orang lain yang mau melakukan ibadah. Kalau mau konsisten seharusnya juga tidak mempersoalkan orang yang mau berhaji atau umroh sesuka hati mereka sebagaimana juga pembelaan terhadap orang Islam yang tidak mau beribadah semau mereka, khan sama-sama urusan pribadi..?

Pada saat lain suka mengangkat diri sendiri menyatakan orang yang berbeda paham dengan istilah terlalu tekstual, lalu mengutip ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung pernyataannya dengan cara tekstual juga. Jadi soal tekstual atau kontekstual tergantung kepentingan sendiri, sepanjang sejalan dengan pemikiran maka boleh tekstual, kalau ayatnya bertentangan dengan paham yang dipakai menuntut untuk ditafsirkan secara kontekstual..

Apakah ini bisa dikatakan gambaran dari kejujuran intelektual yang dianggap menjadi andalan dan kelebihan orang-orang liberal ini..?


Ada kaedah yang dirumuskan para ulama tentang perlakuan yang seharusnya kita pakai dalam melakukan ibadah mahdah (ibadah yang tatacaranya diatur seperti shalat, puasa, zakat, haji, dll, dan ibadah diluar itu (biasanya diistilahkan orang dengan muamalah, mungkin yang lebih mendekati adalah istilah : ghairu mahdah, yaitu ibadah dan perbuatan baik yang tidak diatur tatacaranya secara ketat, karena dalam Islam semua amal kebaikan apakah itu dalam konteks ritual penyembahan ataupun tindakan sehari-hari, semuanya adalah bagian dari ibadah).

Kaedah tersebut bunyinya : Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya), Sedangkan dalam ibadah ghairu mahdhah berlaku kaidah usul fiqih : wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah (dan hukum asal dalam perkara muamalah, kebiasaan atau adat adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya).

Berdasarkan kaedah ini maka kita bisa dituntun untuk selalu bersikap mencari dalil ketika akan melakukan ibadah mahdah, tidak boleh memainkan logika dan akal pikiran sekalipun mungkin dianggap merupakan kebaikan. bahkan ketika ditemukan ada beberapa dalil sebagai panduan, setelah diteliti keshahihannya maka semua alternatif tersebut bisa dipergunakan, sesuai tingkat keyakinan kita terhadap kebenarannya. Sebaliknya untuk melakukan ibadah ghairu mahdah, terbuka peluang untuk menggunakan akal pikiran tentang suatu perbuatan yang dinilai baik, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya. Kalaupun ada aturan yang seolah-olah melarang, bisa diteliti konteksnya, urgensinya dan masa berlakunya apakah bersifat umum atau tidak,

Menurut saya, perselisihan yang sering terjadi dikalangan umat Islam adalah disebabkan mereka memakai kaedah ini secara terbalik, banyak memakai akal pikiran dan logika untuk membenarkan dalil dalam ibadah mahdah sehingga muncul bid'ah, sebaliknya menutup pintu pikiran dan wawasan dalam mempelajari dalikl-dalil terkait ibadah ghairu mahdah sehingga muncul sikap suka mengkafirkan dan menuduh sesat pihak lain yang tidak sependapat..


Orang bilang bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Ketika anda didera sakit kronis kena stroke, jantung, ginjal dan cuci darah, diabetes, dan segala macam penyakit yang menghambat aktivitas normal kita seumur hidup, penyesalan muncul dengan mengingat waktu yang berlalu ketika fisik masih prima, bebas melakukan apapun, bebas memakan makanan jenis manapun :"Koq bisa dulu saya mengabaikan kesehatan dan tidak menjaganya dengan baik..?".

Atau disaat ekonomi anda terpuruk dan jatuh miskin, semua asset sudah terjual habis, tinggal kemelaratan menghitung sen demi sen yang tersisa. Ingatan mengembara ketika dulu dimasa jaya punya harta melimpah, sering berfoya-foya, travelling keseluruh penjuru dunia :"Mengapa dulu saya tidak bisa berhemat dan menabung..?"

Namun semua penyesalan tersebut masih membuka peluang untuk diperbaiki sekalipun dikatakan terlambat. Kita masih punya sisa umur untuk kembali berusaha. Sepanjang masih menjalani hidup di dunia maka tetap terbuka peluang memperbaiki diri, minimal bertaubat menghapus dosa.

Bagaimana kalau penyesalan baru muncul dalam kondisi sudah tidak ada lagi kesempatan untuk mengkoreksi diri..? Ketika hidup di dunia tidak beriman kepada Allah, atau sekalipun beriman namun lalai mengerjakan ibadah, atau patuh melaksanakan ibadah wajib namun pelit menambahkannya dengan ibadah sunnah. Jarang berbuat baik dalam setiap kesempatan, hanya sibuk mempedulikan kepentingan pribadi..?

Al-Quran menyampaikan dalam bahasa yang lugas tentang penyesalan yang sudah tidak ada jalan keluarnya ini :

Dan berikanlah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari (ketika) azab datang kepada mereka, maka orang yang zalim berkata, "Ya Tuhan kami, berilah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul." (Kepada mereka dikatakan), "Bukankah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?
[QS. Ibrahim: Ayat 44]

Penyesalan seperti ini pasti merupakan sesuatu yang menyakitkan..


Dalam sistem demokrasi dimanapun, rakyat bebas menentukan pilihan berdasarkan kecenderungan subjektif yang mereka miliki. Di AS saja rakyat mereka dipersilahkan memilih Obama karena sama-sama berkulit hitam dan keturunan negro, atau juga memilih Hillary Clinton demi kesetaraan gender, atau memilih Trump karena sikapnya yang keras terhadap Islam. Saya juga berhak memilih seorang calon karena berasal satu kampung dengan saya.

Umat Kristen juga dipersilahkan berkhotbah di gereja mereka untuk memilih Ahok yang dikatakan sebagai anak Tuhan, dan sebaliknya tidak ada salahnya kalau umat Islam menjadikan surat al-Maidah 51 untuk hanya memilih calon pemimpin yang seagama, sebagaimana halnya mungkin ada juga Muslim yang lain mengabaikan perintah Allah dalam Al-Qur'an tersebut lalu memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim.

Tidak ada SARA disini, dan tidak ada istlah 'keterbelakangan cara berpikir'. Itu hanya cara-cara tidak fair yang dilontarkan pihak yang merasa dirugikan dengan pilihan yang dilakukan berdasarkan kebebasan rakyat tersebut..

Jadi enjoy saja kalau anda memang mau memilih pemimpin anda berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-Qur'an, itu hak anda..

Pepatah mengatakan :"Jangan menari dengan irama gendang yang ditabuh orang, menarilah sesuai irama anda sendiri..".


Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath: 29)

Apakah ayat Al-Qur'an yang sudah begitu jelas ini harus ditafsirkan lagi secara 'kontekstual'..? bahwa memang ada perbedaan sikap seorang Muslim yang dicontohkan oleh Rasulullah terhadap sesama Muslim dan orang kafir.

Namun entah disebabkan apa, sebagian Muslim justru melakukan hal sebaliknya, sangat keras dan sinis terhadap saudara seimannya yang sedang berjuang untuk membela agama sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur'an, sebaliknya begitu 'sangat memaklumi' kelakuan orang kafir yang sudah jelas-jelas menghina dan merendahkan Islam. Bahkan sebaliknya terlihat ikut mendukung pihak yang berseberangan dengan perjuangan membela Islam.

Muslim yang baik itu tidak mencari musuh, namun ketika dihina dan direndahkan orang maka ada kewajiban untuk meladeni secara proporsional..

Silahkan masing-masing memikirkannya, apa sebenarnya yang menyebabkan munculnya sikap seperti ini..

Kalau memang tidak mampu berjuang secara fisik, harta, tulisan, ide atau do'a sekalipun, mengapa tidak diam saja..? karena diam lebih baik buat anda..


Ajaran Islam memang tidak hanya soal ibadah pribadi kepada Allah saja, tapi menyangkut aturan hubungan antar manusia termasuk politik. Jadi wajar saja kalau ada fatwa ulama yang akan menyinggung kepentingan politik pihak tertentu dan sebaliknya menguntungkan pihak lain.

Ketika ada fatwa soal bagaimana ajaran Islam tentang kepemimpinan oleh wanita, PDIP bakalan ngamuk dan menuduh ulama sudah ditunggangi lawan politik mereka, ketika para ulama memfatwakan soal larangan memilih pemimpin kafir giliran Ahok ngamuk. Mungkin nanti kalau ada fatwa yang berseberangan dengan pihak pak Prabowo misalnya, pasti pendukung beliau juga akan protes, giliran lawan politiknya yang memakai fatwa tersebut untuk kepentingan mereka.

Sangat masuk akal kalau ada fatwa ulama yang kebetulan sejalan dan mendukung kepentingan politik pihak tertentu maka ini dimanfaatkan untuk menyerang lawan.

Namun ulama seperti MUI mengeluarkan fatwa mereka karena umat Islam membutuhkan kejelasan terkait kehidupan sosial mereka, apakah keputusan dan tindakan yang akan mereka ambil sesuai dengan tuntunan agama atau tidak. Apa menurut anda ulama harus diam saja ketika umat membutuhkan bimbingan agama lalu bertanya kepada mereka yang berilmu tersebut..? Atau memberikan fatwa yang ngambang, abu-abu dan mengembalikan tanggung-jawab memutuskan sesuatu kepada umat islam itu sendiri..? Ngawur namanya..

Umat bertanya, ulama menjawab, sudah benar itu.


Salah satu titik perbedaan paham dikalangan Islam terkait larangan memilih pemimpin kafir seperti yang dimuat dalam QS 5:51 adalah soal pengertian kata 'awliya'. Banyak sudah pendapat para ulama ketika kata ini diimplementasikan kedalam struktur jabatan dalam sistem kepemimpinan negara modern. Ada yang mengatakan larangan tersebut berlaku untuk pemimpin umat atau khalifah, sedangkan pimpinan pada tingkatan dibawahnya diperbolehkan, seperti jabatan gubernur, menteri, bupati, walikota, camat, lurah, dst, sampai kepada titik ekstrim lain yang menyatakan bahkan untuk sekelas ketua RT saja diharamkan untuk dipilih.

Sebaliknya dipihak non-Muslimpun muncul 'ejekan' soal larangan ini misalnya ketika mereka memuat berita kesebelasan PSSI, menunjuk Boaz Salossa yang beragama Kristen menjadi kapten tim, lalu disampaikan kalimat yang meledek :" Pemain Muslim harus protes bedasarkan Al-Maidah 51 dan harus menolak pemimpin kafir..", sampai kepada kebingungan dikalangan umat Islam sendiri ketika mereka harus menghadapi kenyataan guru di sekolah, atasan di kantor, teman akrab, adalah orang-orang yang berbeda agama.

Perlu dijelaskan bahwa ketentuan Allah tentang larangan memilih pemimpin dari kalangan orang kafir ini terkena kepada umat Islam yang memang memiliki hak untuk memilih, sesuai aturan yang berlaku. Dalam pemilu, pilpres, pilkada, masing-masing individu punya hak untuk memilih, maka larangan tersebut berlaku untuk individu. Sedangkan kepala sekolah, jabatan guru, jabatan di kantor, dll bukan dipilih melalui suara terbanyak dalam pemilihan umum, kepala sekolah diangkat oleh pemerintah daerah, manager di kantor ditunjuk oleh pemilik perusahaan ataupun direksi, kapten tim sepakbola ditentukan oleh pelatih dan manager tim. jadi tidak relevan kalau seorang Muslim harus diminta pertanggung-jawabannya dalam penentuan orang yang harus mengisi posisi ini.

Lalu soal penafsiran kata 'awliya', jabatan seperti apa yang sebenarnya bisa dikategorikan sebagai awliya..? apakah presiden, gubernur, bupati, ketua RT, manager di kantor, kepala sekolah..?

Kita mendapatkan salah satu ayat yang memuat kata ini misalnya dalam QS 60:1

yaa ayyuhaa alladziina aamanuu laa tattakhidzuu 'aduwwii wa'aduwwakum awliyaa-a
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia,

dalam ayat ini kata 'awliya' diterjemahkan dengan 'teman' atau 'teman setia', jadi dalam kondisi orang kafir tersebut merupakan orang yang bersikap memusuhi Allah dan umat Islam, jangankan dijadikan pemimpin, bahkan untuk menjadi temanpun dilarang.

Maka ketika diimplementasikan dalam struktur hirarki kekuasaan dalam negara modern, kata 'awliya' sebenarnya tergantung kepada job description dari jabatan, apakah posisi atau jabatan tersebut memiliki hak dan wewenang yang berpengaruh terhadap kehidupan keagamaan kita. dan ini bisa saja tidak sama antara satu negara dengan negara lain, antara satu wilayah dengan wilayah lain. Untuk negara tertentu misalnya jabatan presiden bisa memiliki wewenang dan kekuasaan yang besar, namun bagi negara lain presiden hanyalah simbol yang tidak punya kekuatan apa-apa, bagi satu daerah pak ketua RT hanyalah sebatas pejabat administrasi, bagi wliayah lain jabatan ini sangat berpengaruh ternasuk mengatur kehidupan beribadah dan beragama didaerahnya.

Sepanjang pejabat tersebut punya kekuasaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan dan keamanan beribadah anda, maka haram hukumnya untuk memilih mereka sebagai pemimpin. Apalagi kalau calon pemimpin tersebut ternyata orang yang sudah jelas-jelas memusuhi Islam, menghina Al-Qur'an dan ulama, berkelakuan buruk mencampuri urusan internal umat Islam, jangankan dipilih menjadi pemimpin, dijadikan teman setiapun dilarang seperti yang dimuat dalam QS 60:1 diatas..


Dalam pembelaannya terhadap ucapan Ahok di Pulau Seribu, beberapa penggiat medsos dari pendukungnya menyampaikan argumentasi seperti ini :

==Zakir Naik Menjelekkan Injil Semua Diam, Ahok Cuma Mengutip Almaidah 51 Kok Pada Marah ?==

Kita mengetahui bahwa Zakir Naik adalah mubaligh Islam terkenal yang sering memberikan ceramah dengan materi perbandingan agama, beliau banyak mengupas isi alkitab dan melakukan analisa kritis terhadap isinya, kadang pemikiran yang disampaikan membuat tidak nyaman kalangan pemeluk agama lain termasuk umat Kristen, lalu dilontarkan tuduhan bahwa Zakir Naik banyak menghina dan melecehkan ajaran Kristen.

Ini jelas perbandingannya tidak 'apple to apple'. Zakir Naik membicarakan agama lain memang dalam forum yang relevan yaitu soal lintas agama, bersifat terbuka yang dihadiri oleh semua pihak, memberi kesempatan untuk mendebat dan bertanya. Dan Zakir Naik memang memposisikan dirinya sebagai mubaligh dengan materi lintas agama. Sedangkan Ahok membicarakan ajaran Islam dalam posisinya sebagai gubernur, dalam kunjungan resmi memakai uang rakyat, berbicara bukan pada forum yang tepat, yaitu dihadapan masyarakat pulau seribu dalam konteks peresmian program pemerintah.

Sama juga kalau dituduhkan bahwa ustadz Islam dalam khotbahnya banyak menyinggung pihak Kristen ketika mereka mengatakan bahwa orang Kristen yang menyembah Yesus termasuk golongan kafir yang dilaknati Allah dan akan dimasukkan kedalam neraka. Padahal pak ustadz tersebut tidak sedang mengarang-ngarang cerita, tapi hanya menyampaikan salah satu ayat Al-Qur'an seperti :

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (Al-Maaidah: 72)

Bagaimana kita bisa mengkategorikan umat Islam yang sedang menyampaikan ayat-ayat dalam kita suci mereka dan ditujukan untuk kalangan Islam sendiri sebagai perbuatan penistaan agama..?

Jadi sebenarnya persoalan menyinggung ajaran agama lain tersebut harus dilihat pada tempat dan kondisi ketika hal tersebut disampaikan. Kalau Ahok berminat mau berdebat lintas agama, dia bisa membuka forum sendiri, atau ikut di forum-forum diskusi media sosial yang banyak tersedia di internet. Semua pihak bebas menggugat, bertanya, menyalahkan bahkan mencaci-maki pihak lawan.

Tidak ada masalah toh..?

Kelihatannya, sekalipun sudah menyampaikan permintaan maaf, namun Ahok dan para pendukungnya masih terkesan menunjukkan sikap tidak merasa bersalah, dan melakukan pembelaan untuk membenarkan perbuatannya tersebut. Untuk itu jalur pengadilan memang sarana yang tepat menyelesaikan masalah ini. Biarlah nanti hakim yang memutuskan apakah perbuatan dan ucapan Ahok di Pulau Seribu bisa dikategorikan sebagai tindakan penistaan agama islam atau tidak..

Pemerintah melalui aparatnya sebaiknya jangan menggantungkan kasus ini tanpa penyelesaian yang jelas..


Beberapa tahun lalu masjid di kompleks perumahan tempat saya tinggal punya kebiasaan yang lucu. Ketika mengerjakan shalat fardhu, para jamaah saling tengok dan dorong-dorongan untuk disuruh menjadi imam, khususnya untuk shalat Maghrib, "isya dan Shubuh yang bacaaannya memang harus dikeraskan. Kadang-kadang ini jadi masalah karena seseorang nyeletuk :"jangan saya terus donk.., giliran yang lain juga..", karena ada kebiasaan ketika seseorang bersedia jadi imam shalat, maka berikutnya dia terus-terusan yang ditunjuk. Mungkin karena hapalan terbatas akhirnya bacaan ayat Al-Qur'anya itu-itu saja.

Belum lagi kalau kebetulan yang bersedia jadi imam tersebut mempunyai bacaan yang 'ala kadarnya', selain hapalannya tidak banyak, bacaannya juga kurang pas makhrajnya, belum lagi irama bacaannya yang mirip lagunya campursari Didi Kempot..

Akhirnya DKM masjid menemukan solusi agar ini tidak terjadi lagi. Kami merekrut tenaga profesional untuk menjadi imam shalat tetap, lulusan pesantren, hapalannya banyak, irama bacaan Al-Qur'annya bagus. DKM menggaji bulanan yang diambil dari sumbangan tetap jamaah penghuni kompleks. Kebetulan untuk mengumpulkan 2-3 juta secara rutin sebulan tidak ada masalah, itu diluar infak, sadakah dan zakat lainnya.

Adanya imam shalat dengan hapalan dan bacaan yang mumpuni membuat ibadah shalat menjadi nikmat, tidak ada lagi tengok kiri-kanan sebelum shalat, semuanya tertib, merasa aman mendengar ayat Al-Qur'an dibacakan dengan benar.

Selain itu, pak Imam ternyata bermanfaat banyak bagi penghuni kompleks, selain mengimami shalar fardhu, beliau juga mengajar pada taman pendidikan baca Al-Qur'an untu anak-anak yang diselenggarakan oleh masjid, Belum lagi ada jadwal untuk memberikan les privat terhadap beberapa keluarga dalam kompleks perumahan, baik untuk anak-anak mereka maupun diri mereka sendiri.

Jumlah masjid dan mushola diseluruh Indonesia berjumlah kira-kira 730.000 buah (menurut data kemenag tahun 2013), bayangkan kalau seperempatnya mau merekrut dan menggaji tenaga profesional untuk menjadi imam shalat, bisa membuka 175 ribu lapangan kerja untuk tenaga lulusan pesantren.@


Salah satu ciri utama terhadap sikap berprasangka buruk adalah gampang membuat kesimpulan yang digeneralisir terhadap suatu peristiwa tertentu, tidak mendalami faktor yang melatar-belakanginya dengan lebih lengkap dan tidak beusaha berempati dengan membuat pertanyaan kepada diri sendiri ;"Bagaimana kalau saya berada dalam posisi dia..?".

Belakangan kita bisa melihat contoh prasangka buruk terhadap kaum Muslim yang melakukan protes membela agama mereka yang dianggap sudah dihina oleh orang kafir, lalu mereka menuntut keadilan diberlakukan dari penegak hukum di negeri ini. Reaksi tersebut dilabeli dengan tuduhan umat Islam ternyata suka membenci dan pemarah, atau juga melalui jargon :"Umat Islam itu hanya 2 macam, kalau tidak salah paham, maka pasti pahamnya salah..". Atau juga kalimat :"Memperalat ayat-ayat Al-Qur'an untuk kepentingan politik pribadi..". Tuduhan seperti ini sebenarnya sangat masuk akal kalau dilontarkan oleh orang kafir, namun justru fakta yang saya temukan banyak juga yang berasal dari sesama kaum Muslim sendiri.

Tentu saja ada kalangan umat Islam yang bersikap tidak pantas dalam memperlakukan agama mereka, mempergunakan ayat-ayat kitab suci untuk sarana mencapai tujuan mendapatkan kekuasaan, lalu ketika jabatan sudah diperoleh, mereka malah memperkaya diri dengan cara yang tidak halal, mengabaikan kepentingan umat dan tidak lagi menggubris rambu-rambu agama. Namun berpolitik adalah seni untuk mendapatkan dan mengelola kekuasaan, bertarung satu sama lain dengan melihat dan memanfaatkan kelemahan lawan dan sebaliknya mengkomunikasikan kelebihan diri sendiri. Kadang jalan yang ditempuh harus berliku dan tidak lurus ke sasaran. Maka melakukan generalisasi terhadap suatu tindakan politik jelas suatu kesalahan karena adanya prasangka buruk. Seharusnya kita bisa menilainya secara kasus per kasus.

Memang ada dikalangan umat islam yang marah dan membenci lalu melakukan tindakan ataupun mengeluarkan ucapan yang tidak baik, tapi secara umum mereka hanyalah berusaha untuk menjalankan perintah Allah membela agama yang dinistai, lalu menuntut keadilan karena pada kasus lain, penistaan serupa bisa diproses pengadilan dan pelakunya dihukum. Keresahan umat Islam muncul akibat hukum tidak dijalankan dengan sama, ketika berhadapan dengan pejabat publik yang memiliki kekuatan besar lalu mendadak menjadi tumpul.

Memanfaatkan ajaran agama tidak hanya dilakukan oleh umat Islam yang terjun ke dunia politik saja, juga dilakukan oleh siapapun. Kita menemukan misalnya ada seorang kafir yang wara-wiri masuk pesantren memakai simbol-simbol Muslim untuk memperoleh dukungan umat Islam, atau pernyataan ;"Sekalipun kafir tapi saya lebih Muslim dari orang Islam sendiri..", Ada juga tindakan ikut memberikan hewan qurban dihari raya Idul Adha padahal sudah jelas berqurban hanya bernilai kalau dilakukan oleh orang yang beriman, gembar-gembor membangun masjid, dll.

Kalau anda punya kemampuan untuk 'berjiwa besar' memaklumi segala perbuatan orang kafir sebagai hal yang baik, mampu melihat dari sisi positifnya, lalu mengapa tidak bisa hal tersebut diterapkan juga untuk menilai sesama Muslim, saudara seiman anda sendiri..?Mengapa prasanhka baik tersebut bersifat 'selektif' dan hanya berlaku untuk sebagian tapi tidak untuk yang lain..?

Bukankah ini malah bertentangan dengan teladan yang diperlihatkan oleh nabi Muhammad dan diabadikan dalam Al-Qur'an ini..?

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS 48:29)


Saya tidak fanatik memakai celana cingkrang, maka kebetulan celana saya yang ada selama ini memang tidak berukuran diatas mata kaki, maklum itu kebanyakan celana lama waktu saya masih bekerja dulu. Beberapa bulan yang lalu istri saya membelikan celana panjang yang baru, kebetulan cingkrang. Karena saat ini saya sudah tidak terikat lagi dengan aturan-aturan sosial semisal kepantasan ditempat kerja, bertemu tamu resmi, dll maka saya tidak berkeberatan untuk memakainya bergantian dengan celana 'non cingkrang' yang lama.

Sungguh.., ada perasaan berbeda ketika memakai celana cingkrang bergantian dengan yang lama, saya sendiri tidak begitu bisa merumuskannya dengan kata-kata. Ada perasaan percaya diri, kadang merasa rileks dan santai, disaat lain lebih adem dan tenang.

Entah karena ketika memakainya saya mempunya kesadaran sedang mengikuti apa yang disunnahkan oleh Rasulullah, saya sendiri tidak tahu...

Anda sekali-sekali harus mencobanya, tidak perlu fanatik dengan selalu memakainya apalagi harus memotong celana lama anda semuanya, bisa bergantian dengan celana yang biasa, atau dipakai disaat-saat tertentu saja..


Saya teringat pada suatu masa ditahun 90-an ketika dunia sedang ribut terjadinya peristiwa pembantaian massal kaum Muslim di Bosnia. Berita mengerikan tersebut cepat tersebar menyajikan gambar dan rekaman film pembunuhan ribuan warga termasuk wanita dan anak-anak Muslim disana yang dihabisi oleh tentara Serbia Bosnia. Reaksi kaum Muslim di Indonesia lalu berujung kepada banyaknya pernyataan kesediaan menjadi relawan untuk dikirim kesana, diberbagai masjid dibuka tempat pendaftaran dan sangat antusias diikuti oleh kaum Muslim.

Salah seorang sahabat, saya tahu persis bukan merupakan Muslim yang taat, suka dugem dan berbuat maksiat, jarang shalat, ternyata ikut mendaftar juga. Ketika saya tanya apa alasannya padahal ibadah pokok saja sering dia abaikan, teman tersebut menjawab dengan sungguh-sungguh :"Saya memang bajingan dan suka berbuat dosa, tapi kalau agama saya diinjak-injak saya tidak rela, mengorbankan nyawapun saya mau..".

Buya Hamka menyebut hal tersebut dengan ghirah - semangat dalam keagamaan, ternyata ghirah bisa menghinggapi siapa saja, baik kaum Muslim yang memang sehari-harinya taat beribadah maupun kalangan Muslim 'ala kadar' seperti sahabat saya tersebut. Mungkin memang dalam ruang hati yang paling dalam dari setiap orang beriman, ada keinginan untuk mentaati dan mendekat kepada Allah, sekalipun keimanan tersebut lalu ditutupi oleh dorongan hawa nafsu dari dalam, maupun bujuk rayu syaitan yang datang dari luar, lalu terjerumus bermaksiat kepada Allah. Sepanjang keimanan masih ada dalam hati, maka suatu saat dia akan kembali tampil ketika ada situasi yang mendorong ke arah tersebut.

Mungkin juga dalam relung hati yang paling dalam, manusia sebenarnya ingin mensucikan diri mereka, ketika ada kesempatan berupa 'jalan tol' untuk membersihkan diri dari dosa, misalnya berupa kematian di jalan yang benar, maka mereka serta merta menyambutnya dengan antusias. Kematian bukanlah hal yang sulit dibadingkan harus menanggung hukuman dari dosa dan perbuatan buruk yang telah dijalankan selama ini.

Semua itu manifestasi dari iman yang ada dalam hati, sekecil apapun dan tenggelam sedalam apapun karena terbungkus oleh perbuatan dosa dan maksiat.

Maka ketika anda menemukan diri sudah kehilangan ghirah dalam bersikap terkait perbuatan ofensif kaum kafir terhadap agama anda, perlu direnungkan baik-baik, apakah ini merupakan tanda kalau iman memang sudah lenyap dari hati anda, sekalipun dalam tampilan luar anda adalah orang yang tetap menjalankan ibadah dengan baik.


Saya baca di medsos, masih banyak orang, termasuk dari kalangan Muslim sendiri yang menyatakan bahwa larangan memilih orang kafir sebagai awliya dari kaum Muslim berbeda dan tidak bisa diperbandingkan dengan aturan mengharamkan makan babi ataupun larangan meminum khamar. Alasannya disebutkan karena soal pertama itu sifatnya multi tafsir dan para ulama berbeda pendapat dalam memfatwakannya, sebagian bilang tidak boleh yang lain mengatakan diperbolehkan. Beda halnya dengan aturan mengharamkan makan babi dan meminum khamar, semua ulama sepakat soal ini, tidak ada perbedaan pendapat.

Apakah memang demikian..?

Didalami penafsiran ulama soal haramnya makan babi dan minum khamar, memang semuanya sependapat kalau hal tersebut merupakan larangan, tidak ada tafsir lainnya. namun aturan makan babi memiliki penjelasan lanjutan dalam Al-Qur'an yaitu diperbolehkan dalam keadaan terpaksa, disini para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud 'keadaan yang terpaksa' tersebut karena sifatnya subjektif, tergantung siapa yang mengalami, terkait kondisi tempat dan waktu.

Bisa saja seorang Muslim masuk dalam restoran yang dia tahu kalau salah satu menunya adalah daging babi, lalu dia bilang :"Pesan makanan tidak pakai babi yaa..., karena saya Muslim..", lalu mengatakan kepada teman disebelahnya :"Yang penting saya sudah ngomong, kalau dia masih ngasih babi itu diluar tanggung-jawab saya..". lain halnya bagi Muslim yang lain, bahkan sampai sekarat mau mati kelaparanpun dia tetap tidak mau makan babi. Keadaan darurat bagi satu pihak belum tentu merupakan keadaan terpaksa bagi pihak lain.

Demikian juga soal larangan meminum khamar, semua ulama sepakat kalau meminum khamar dilarang keras dalam Islam. Namun ketika mereka menafsirkan apa yang disebut khamar terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan alkohol itu khamar, yang lain mengatakan tidak semua minuman yang beralkohol dikatakan khamar. Satu mazhab mengatakan khamar adalah minuman yang berasal dari anggur, selain itu bukan khamar tapi disebut nabidz. Ulama juga berbeda pendapat ketika khamar dijadikan sebagai obat, ada yang mengharamkan ada yang membolehkan.

Jadi tidak benar kalau dikatakan aturan Allah soal makan babi dan meminum khamar tidak punya perbedaan tafsir, namun memang perbedaan tersebut bukan terkait soal larangannya, tapi tentang kondisi darurat dan mendefinisikan objeknya.

Sama halnya dengan aturan Allah yang mengatakan 'jangan menjadikan orang kafir sebagai awliya bagi kaum Muslim'. Semua ulama tidak punya perbedaan pendapat soal ini, bahwa ayat ini merupakan larangan, sama halnya dengan pendapat mereka soal larangan makan babi dan minum khamar diatas. larangan ya larangan, pengertiannya cuma satu itu saja. Para ulama hanya berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud 'keadaan darurat' dan juga ketika mendefinisikan objeknya, apa yang dikategorikan sebagai awliya tersebut. Silahkan anda telusuri pendapat ulama yang membolehkan kaum Muslim mengangkat awliya dari kalangan kafir, pasti ujung-ujungnya akan terkait dengan soal ini, kalau tidak dalam keadaan darurat, pasti mereka mengatakan posisi jabatan tersebut tidak termasuk awliya seperti yang dimaksud dalam Al-Qur'an.

Soal ini sifatnya subjektif, setiap orang punya pemahaman yang berbeda tentang apa yang disebut dengan kondisi darurat, juga punya definisi yang tidak sama terkait jabatan dan posisi kekuasaan. sama saja dengan ketika ulama mencoba memahami larangan soal keadaan darurat membolehkan memakan babi dan mendefinisikan khamar.

Jadi kalau masih ada yang mengatakan 'analogi larangan-larangan tersebut tidak relevan, maka kita bisa mengatakan itu sangat relevan dan sudah diperbandingkan 'apple to apple'.

Tinggal semuanya berpulang kepada anda sendiri. Apakah ketika menghadapi situasi pilkada yang menyodorkan pilihannya seorang kafir, anda akan bersikap seperti seorang Muslim yang masuk ke restoran yang menyediakan babi lalu menyepelekan soal keadaan darurat, atau mengambil sikap yang kokoh untuk menghindari sekuat tenaga atas setiap tindakan pelanggaran aturan Allah tersebut.

Mudah-mudahan tulisan ini tidak dikatakan sebagai 'sudah membodohi orang pakai ayat Al-Qur'an'..


Banyak saya temukan status di FB yang menyatakan hanya gara-gara satu orang negeri ini heboh bahkan mau melakukan revolusi segala. Ini hanyalah pemicu, sama halnya konflik besar yang pernah terjadi di dunia dimulai hanya karena soal kecil. namun kondisi masyarakatlah yang mendukung terjadinya perubahan dan gejolak yang ada.

Mungkin negeri ini memang sedang sakit, ketika penguasa memanfaatkan hukum dan aparat untuk menghabisi lawan politik dan pihak yang tidak sejalan namun fasih berkata 'negara ini menjunjung tinggi hukum dan keadilan.', atau para politisi yang sering berkata 'demi kepentingan rakyat' tapi banyak melakukan hal memalukan dalam berebut kekuasaan. Aparat penegak hukum yang seharusnya bersikap adil malah lebih banyak menjadi pembela pihak pesakitan dengan alasan-alasan yang merendahkan akal sehat kita, menganggap seolah-olah rakyat tidak lebih dari sekelompok orang yang bodoh dan tidak bisa berpikir normal..

Mungkin negeri ini memang sedang sakit, disebabkan banyaknya para pejabat yang sudah 'diijon' sejak masa muda oleh pemilik modal, bohir politik, pengusaha hitam, sehingga ketika mereka sudah memegang jabatan tidak lagi berkutik memegang amanah, segala rahasia pribadinya sudah kepegang dan disandera orang.

Mungkin negeri ini memang sedang sakit, disaat para pembuat maksiat malah jadi idola, tidak lagi malu menampakkan diri di depan umum, bahkan dipuja-puja dalam setiap penampilan. Para ulama yang lebih sibuk berbicara soal toleransi dan HAM tidak peduli apakah yang dibicarakan tersebut jelas sudah berseberangan dengan nilai ajaran Islam.

Mungkin negeri ini sedang sakit, karena sebagian masyarakat mau memilih bromocorah dan penjahat hanya dengan imbalan uang puluhan ribu, tidak peduli dengan kesengsaraan bertahun-tahun yang akan dijalani dibawah pemimpin yang dia pilih sendiri.

Mungkin negeri ini memang sedang sakit, sehingga perlu 'dibekam' untuk mengeluarkan darah-darah kotor tersebut, namun harus melukai dirinya terlebih dahulu..


Pada suatu kejadian seorang petugas lalu-lintas menyetop mobil yang melanggar rambu-rambu. Pak polisi lalu memeriksa surat-surat kendaraan memberikan penjelasan bahwa pengendara tersebut telah melanggar aturan, menginformasikan prosedur tilang sampai ke proses pengadilan. Pak petuga lalu bertanya :"Bapak mau saya bantu..?". Si pengemudi heran tidak mengerti apa maksud polisi tersebut. Setelah dijelaskan bahwa daripada mengikuti proses pengadilan yang memakan waktu dan tenaga, sebaiknya urusan diselesaikan secara damai saja, tidak perlu repot, cuma kasih uang beberapa puluh ribu, urusan selesai. Itu yang dinamakan sebagai 'bantuan' pak polisi yang baik hati tersebut..

Satu kisah lain, seorang kerabat bercerita tentang tentang temannya yang anggota tentara, hidup berkecukupan kalau tidak dibilang kaya. Saudara saya mengatakan bahwa si tentara memang pintar karena dia 'memelihara' beberapa Cina untuk dikuras hartanya, memberikan setoran rutin sebagai imbalan perlindungan yang dia berikan. Ini mengherankan saya, karena biasanya yang dinamakan 'memelihara' tersebut adalah satu pihak memberikan makan, lalu yang dipelihara akan berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan. Misalnya anda memelihara seekor anjing, maka anda harus merawat dan memberi makan, selanjutnya si anjing tersebut akan menggonggong menghalang gangguan yang mungkin datang ke lingkungan anda. Entah siapa yang dipeliharan dan memelihara dalam 'simbiosis mutualisma' pak tentara dengan Cina tersebut.

Bermain kata memang sering kita temukan dalam kehidupan, membuat bercampurnya yang hak dan yang bathil, tidak jelas lagi perbedaannya, mana yang benar dan mana yang salah. Seseorang yang sudah mendzalimi dan mencaci-maki tiba-tiba menyatakan dirinya didzalimi ketika reaksi marah muncul akibat perbuatannya. Ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat hukum, malah membuai dirinya merasa sejajar dengan Nelson Mandela, tokoh perjuang apartheid di Afrika Selatan.

Bermain kata sering kita temukan dalam kehidupan kita saat ini, dan anehnya banyak yang percaya dan menerimanya begitu saja sebagai kebenaran..


Dalam bukunya 'The Road to Mecca', Muhammad Asad yang waktu itu masih kafir namun sudah banyak mendalami Al-Qur'an melalui interaksinya dengan masyarakat Arab, menceritakan pengalamanya ketika bersama istri menaiki subway disalah satu kota Eropah. Dia mengamati penumpang disekeliling, waktu itu selesai perang dunia II masyarakat Eropah sedang bangkit secara ekonomi, ada kemakmuran materi karena semua orang mengejar-ngejarnya. Dia melihat penunpang disekeliling merupakan orang-orang yang mapan dengan penampilan keren namun ketajaman pandangan matanya menemukan adanya kesuraman dibalik wajah-wajah yang dibungkus pakaian bagus, menyimpan penderitaan sangat, saking dalamnya tertanam dalam lubuk hati mereka sampai-sampai dia memperkirakan yang bersangkutan sendiri mungkin tidak menyadari kalau mereka sedang menderita.

Muhammad Asad lalu menceritakan hal ini kepada istri yang duduk disebelahnya, dan sang istri ternyata juga menangkap hal yang sama, dan keduanya takjub melihat kondisi seperti ini.

Ketika sampai dirumah, kebetulan dia mendekati meja kerja yang masih berantakan. Terdapat kitab Al-Qur'an yang belum selesai dibacanya, terbuka pada suatu halaman. Secara reflek dia lalu mengambil kitab tersebut untuk merapikan dan meletakkan ke rak buku, namun sebelum menutup Al-Qur'an yang terbuka tersebut, terbaca suatu ayat :

QS 102 :10-8 "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)."

Secara tidak sadar hatinya bergetar dan dia tidak mampu berkata-lkata karena ayat tersebut merupakan jawaban terhadap keadaan yang dia temukan dan lihat sendiri dengan mata kepalanya ('ainul yaqin). Dia lalu mengkaitkan dengan informasi tentang akan turunnya Dajal diakhir jaman, sosok makhluk yang akan memporak-porandakan manusia, dan memiliki hanya satu mata.

Muhammad Asad menyimpulkan bahwa gambaran Dajal tersebut merupakan perumpamaan yang diramalkan oleh nabi Muhammad, sosok ini bukanlah berupa manusia atau makhluk hidup, tapi merupakan suatu ideologi atau paham yang melulu memandang suatu kesuksesan hanya dari satu sisi, yaitu kesuksesan materi. manusia akan dimasuki Dajal ketika mereka menilai apapun yang ada di dunia, mengukur keberhasilan, membanggakan diri, menentukan tinggi atau rendahnya derajat seseorang berdasarkan kemampuan materi yang mereka miliki. Sikap ini memunculkan penderitaan bathin bagi orang-orang karena sudah berjalan tidak lagi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk spiritual. Manusia sudah menyingkirkan aspek ruhaniah mereka, lalu memasangnya dalam menjalani hidup.

Menurut Muhammad Asad, Dajal yang diramalkan oleh Rasulullah tersebut sebenarnya sudah datang, dia ada dalam hati banyak manusia, dan memunculkan penderitaan bathin..

Dia lalu mengatakan hal ini kepada istrinya, bahwa tidak mungkin ayat-ayat tersebut berasal dari seorang manusia karena mampu menggambarkan kejadian diabad 20 secara persis. Ini pasti datang dari suatu kecerdasan yang jauh lebih tinggi.

Setelah peristiwa tersebut Muhammad Asad dan istrinya mengucapkan syahadat, menyerahkan diri kedalam naungan Islam..


Di forum debat lintas agama muncul beberapa status dari orang kafir yang bertanya soal apa ada dalil dalam melaksanakan maulid nabi Muhammad..? Ini pertanyaan yang berulang setiap tahun. Awalnya saya agak heran mengapa orang kafir begitu peduli dengan dalil Al-Qur'an dan sunnah, namun setelah diamati dari lalu-lintas komentar yang dilakukan, baru terlihat tujuannya semata-mata untuk mengadu-domba pihak Muslim yang kebetulan menolak perayaan maulid dengan yang menjalankannya. Ketika ada pihak Islam yang mengajukan dalil menolak, maka mereka yang mendukung maulid akan diundang untuk menyampaikan komentar juga, lalu terjadi pertengkaran bahkan sampai saling kafir-mengkafirkan, yang menolak akan melontarkan tuduhan : bid'ah, musyrik, dll, sebaliknya yang menjalankan perayaan Maulid membalas : dasar ISIS, Wahabi, dll.

Memang sebenarnya mau merayakan maulid nabi atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemeluk agama lain, mereka tidak diganggu dan tidak dirugikan. 'Kepedulian' mereka tersebut merupakan kesempatan yang dipakai karena melihat potensi berkelahi dan bertengkarnya umat Islam dalam soal ini.

Mudah-mudahan kelakuan orang-orang kafir ini bisa membuat kalangan umat Islam menjadi sadar bahwa mereka tidak perlu bertikai untuk segala perbedaan. Saya tidak menganjurkan semuanya harus memiliki paham yang sama dalam menafsirkan ajaran Islam, karena perbedaan pasti terjadi karena sunatullah. Sikap yang terbaik adalah menerima ketidak-samaan tersebut secara bijaksana dan tidak mudah menghakimi.

Atau anda mau diadu-domba orang kafir..? :-(


Masih ada yang nyinyir mempersoalkan larangan memakai atribut natal dan ucapan selamat natal dengan mengkaitkannya kepada keimanan, mengatakan :"Memangnya iman umat Islam bisa terganggu atau rusak hanya gara-gara atribut dan ucapan selamat natal..? rapuh sekali keimanan mereka kalau begitu. Lihat orang kafir di Indonesia, setiap saat mendengarkan adzan dari pagi sampai malam, tidak ada tuh yang mengatakan iman mereka rusak gara-gara hal tersebut, ini membuktikan iman orang kafir lebih kuat dibandingkan kaum Muslim..".

Argumentasi ini senada dengan omongan ketua PBNU Said Aqil Siradj ketika dulu menanggapi kedatangan Lady Gaga :"Mau seribu Lady Gaga yang datang, orang nahdiyin tidak akan terpengaruh, apalagi cuma satu Lady Gaga saja...".

Soal iman dalam dada merupakan urusan Allah, Dia dengan gampang menjadikan orang yang sebelumnya sangat kafir dan membenci Islam lalu hatinya dibalik dalam sekejab menjadi beriman, demikian sebaliknya, Allah juga mampu menjungkir-balikkan hati orang yang sebelumnya beriman menjadi kafir, salah satunya karena kesombongan dan takabur atas aturan Allah. Jadi tidak usah sok tahu kalau berbicara soal keimanan, sekalipun ada dalam hati kita namun 100% berada dalam genggaman-Nya. Makanya setiap saat seorang Muslim selalu memohon :"Yaa Allah, jangan engkau cabut iman yang sudah ada dalam dada ini..".

Isi waktu untuk berusaha menjalani apa yang ditetapkan Allah, kalau boleh silahkan dikerjakan, kalau dilarang jangan cari celah untuk melakukannya, bisa kualat...


Syekh Yusuf Al-Qardhawi adalah ulama Islam berasal dari Mesir yang fatwa-fatwanya banyak dijadikan rujukan umat diseluruh dunia, namun juga tidak luput dari hujatan kelompok Muslim yang suka mengkafirkan sesama Muslim. Tapi ketika diminta tanggapannya tentang kelompok takfiri ini, lihatkan bagaimana jawaban beliau :

=="Mereka itu (orang-orang yang berpandangan salah) umumnya adalah orang-orang baik, kuat agamanya dan tekun ibadatnya, tetapi mereka dapat digoncang oleh hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan yang timbul pada masyarakat Islam. Misalnya akhlak buruk, kerusakan di segala bidang, kehancuran dan sebagainya. Mereka selalu menuntut dan mengajak pada kebaikan, dan mereka ingin masyarakatnya berjalan di garis yang telah ditentukan oleh Allah, walaupun jalan atau pikirannya menyimpang pada jalan yang salah dan sesat karena mereka tidak mengerti.

Maka, sebaiknya kita hormati niat mereka yang baik itu, lalu kita beri penerangan yang cukup, jangan mereka digambarkan atau dikatakan sebagai binatang yang buas atau penjahat bagi masyarakat. Tetapi hendaknya diberi pengarahan dan bimbingan ke jalan yang benar, karena tujuan mereka adalah baik, akan tetapi salah jalan."==

Ada sikap empati, berusaha menempatkan diri pada posisi pihak lain, sehingga yang muncul adalah kearifan memahami namun tidak berarti menyetujui, membenarkan dan mengikuti. Kearifan untuk memahami inilah yang mampu menghasilkan solusi cerdas untuk meluruskan.

Lumrah dalam kehidupan bahwa kita akan dihadapkan dengan pihak-pihak yang tidak sejalan, perbedaan sikap bisa memancing kemarahan, hujatan dibalas hujatan. Ada stempel yang dengan mudah disematkan : sesat, syiah, wahabi, salafi, fundamentalis, radikal, liberal, namun kesemuanya tidak melahirkan solusi untuk mengajak kepada kebenaran.

Mungkin Syekh Yusuf Al-Qardhawi ini bisa dijadikan salah satu contoh cara berpikir yang bermartabat, alih-alih ikut sibuk dalam pertempuran dan saling menyalahkan, beliau mampu mengangkat dirinya berada`diatas kegelapan awan, melihat dari susut pandang yang jernih tentang akar permasalahan, lalu merumuskan solusi yang tepat untuk mengatasinya..


Seorang pengacara yang handal bukan hanya mereka yang mengetahui aturan hukum tapi lebih dari itu punya kemampuan untuk mencari celah dalam sistem hukum tersebut, lalu mampu meloloskan klien dari jeratan hukum melalui cara yang tidak melanggar hukum.

Namun seorang Muslim yang baik bertolak-belakang ketika berhadapan dengan hukum Allah, alih-alih mau mencari celah agar hukum tersebut bisa diperalat untuk bisa menyalurkan hawa nafsunya, Muslim yang baik akan selalu berusaha mencari cara untuk mematuhi aturan hukum Allah dengan meninggalkan yang subhat/keraguan yang muncul dari penafsiran akal pikirannya.

Ketika Allah dan rasul-Nya mengatakan 'jangan memilih kafir jadi awliya', atau 'haram memakan babi' atau 'jangan bertindak menyerupai orang kafir', dll, maka larangan adalah larangan, tidak usah akal pikiran kemudian mempermak aturan hukum tersebut sehingga kata 'jangan' menjadi 'boleh'.

Kalaupun anda berada dalam keadaan memaksa yang tidak bisa mengelak untuk melakukan apa yang dilarang, maka silahkan dikerjakan berdasarkan kalkulasi subjektif anda terhadap kondisi tersebut, karena Allah menetapkan hukumnya memang sebatas kemampuan kita untuk menjalankannya, haramnya makan babi juga ada keringanan, boleh dalam keadaan terpaksa. Anda kebetulan merupakan tokoh politik atau tokoh masyarakat yang harus berusaha berdiri diatas semua golongan, dan terpaksa harus mengucapkan selamatan natal, atau takut kehilangan pekerjaan sehingga harus memakai atribut natal, atau terpaksa memilih pemimpin kafir karena tidak punya pilihan lain, silahkan lakukan, tapi tidak perlu mencari-cari dalil lalu menyesuaikan penafsiran agar mendukung kondisi keterpaksaan tersebut menjadi sesuatu yang dibenarkan, bahkan ikut berusaha meyakinkan orang lain yang belum tentu punya situasi keterpaksaan yang sama dengan anda.

Tidak perlu memelintir hukum Allah dalam usaha untuk 'menenteramkan hati' seolah-olah pelanggaran yang dilakukan punya landasan dalil.

Jangan berlagak seperti pengacara handal dalam berhadapan dengan hukum Allah, karena aturan Allah adalah 'kebanggaan' kita, untuk dilaksanakan sekuat tenaga, makin sempurna kita menjalankannya makin membuktikan adanya rasa bangga kita terhadap hukum Allah tersebut. Sebaliknya ketika kita mempermak dan memelintir aturan-aturan tersebut agar bisa mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan manusia, makin luntur kebanggaan kita.

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Al-Mukminuun: 71)


Ketika kita merasa tidak mampu menjalankan aturan Allah, maka sikap yang terbaik adalah mengakui kelemahan diri. lalu meminta ampun setiap waktu, karena faktanya ada orang lain yang sanggup untuk mematuhinya.

Seorang muslimah tidak sanggup memakai jilbab sampai sekarang..?, faktanya ada muslimah lain yang sanggup. Jangan malah mencari-cari dalil untuk membenarkan kelemahan kita sendiri misalnya dengan 'mengolah otak' menyimpulkan jilbab adalah budaya Arab, yang penting 'jilbab hati', dll.

Ketika sebuah negeri tidak sanggup menerapkan hukum qishash, tidak usah 'terlalu kreatif' memakai akal pikiran dengan mengatakan itu adalah bentuk hukuman primitif dijaman dulu, bertentangan dengan HAM. Akui saja kelemahan diri karena tidak mampu menerapkannya disaat ada negeri lain yang mampu.

Kalau anda tidak sanggup menahan diri untuk memilih pemimpin kafir, memakai atribut perayaan agama lain, menonton film porno, dll, tidak perlu mengakali ayat-ayat Al-Qur'an lalu membuat dalil yang membolehkan kesalahan yang anda lakukan tersebut. Akui saja kelemahan diri lalu banyak-banyak meminta ampunan dan memohon agar Allah memberikan kekuatan agar kita bisa mengendalikan diri dimasa yang akan datang.

'Kehebatan' kita untuk mendebat aturan Allah ini sering dilakukan pada saat kita kuat, tubuh sehat dan kehidupan sejahtera, namun ketika sampai waktunya diri terkapar ditempat tidur dengan nafas satu-satu, mendekati sakharatul maut, sudah muncul bayangan malaikat maut, tidak ada lagi apapun atau siapapun yang bisa membantu, maka kepasrahan tiba-tiba ditujukan hanya untuk Allah..

Anda tidak percaya hal tersebut akan terjadi..? tunggu saja tanggal mainnya...


Beberapa waktu belakangan menyebar berita dan video tentang NU dan Said Aqil Siradj yang menerima syahadat 2 orang Jepang untuk masuk Islam lalu dilengkapi dengan judul berita 'Bukan mengkafirkan, tapi meng-Islam-kan'.

Mungkin ucapan yang tepat buat Said Aqil Siradj dan NU adalah, ucapan syukur dan terima kasih karena sudah menyediakan waktu dan tempat bagi calon mualaf ini untuk berikrar mengucapkan syahadat di kantor PBNU, namun saya pikir jauh dari istilah 'meng-Islam-kan'. Saya tidak tahu persis apakah kedua calon tersebut memang sering datang dan berdiskusi dengan ketua NU, bertukar pikiran soal ajaran agama, lalu hatinya yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka melihat cahaya Islam. Kalau itu yang terjadi maka kita memang bisa mengatakan Said Aqil Siradj dan NU telah meng-Islam-kan orang, tapi kalau hanya sekedar tempat berikrar, sedangkan proses berimannya si mualaf dilakukan ditempat dan melalui orang lain, maka yang meng-Islam-kan tersebut bukan SAS dan NU.

Secara positif kita harus menyambut baik apa yang dilakukan NU ini, dan menyarankan dimasa yang akan datang agar organisasi ini mau bahu membahu dan bekerjasama dengan lembaga yang selama ini berada di 'pos terdepan' dalam berinteraksi dengan kaum kafir seperti lembaga mualaf, gerakan anti pemurtadan, dll. Merekalah yang telah 'bertarung' dengan adu argumentasi, mengajak berinteraksi, bahkan ada yang langsung datang ke gereja-gereja untuk berdiskusi soal ketuhanan, menyampaikan kebenaran ajaran Islam secara terbuka dan berterus-terang. Kalau ini yang terjadi maka gerakan penyebaran Islam akan bisa lebih kuat dan terkoordinasi dengan baik.

Satu lagi, sebaiknya jangan terlalu gampang menyatakan 'telah meng-Islam'kan orang', karena berimannya orang kafir atau sebaliknya kafirnya orang beriman semata-mata menjadi urusan Allah..

Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab? (Az-Zumar: 37)

Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (Al-A'raaf: 186)


Kaget juga mendengar cerita tentang asal-usul suku bangsa yang ada di Malaysia. Ternyata yang disebut sebagai penduduk asli negeri Malaysia ini adalah 'Orang Asli' (sejajar dengan suku Kubu atau Talang Mamak di Sumatera, mereka animisme dan jumlahnya sedikit). Sedangkan yang dikatakan Orang Melayu dengan jumlah dominan merupakan komunitas yang hidup dan memiliki kegiatan disekitar selat Malaka yang meliputi wilayah Malaysia, Riau, dll, lalu memunculkan identitas bangsa Melayu.

Penduduk Malaysia juga banyak yang berasal dari Minangkabau, Jawa dan Bugis yang sudah berdiaspora dan tinggal di semenanjung jauh sebelum adanya negara Malaysia dan Indonesia, lengkap dengan budaya dan sistem kehidupan yang persis sama dengan daerah asalnya. Interaksi antara suku-suku yang tinggal di semenanjung Malaysia dan wilayah Indonesia sudah terjadi sejak dulu, mereka melakukan perdagangan, misalnya orang Minangkabau membawa emas dari daerah Sumatera Barat lalu ditukarkan dengan porselen dari Cina dan tekstil dari India, di pelabuhan Malaka.

Terpisahnya orang Minang yang ada di Indonesia dengan Minang yang ada di Malaysia, orang Jawa yang ada dipulau Jawa dengan orang Jawa yang ada di Malaysia, orang Bugis yang ada di Makassar dengan orang Bugis yang ada di Malaysia, bahkan orag Melayu di malaysia dengan Melayu di Riau, dll merupakan hasil karya penjajah Inggeris dan Belanda, sehingga terjadi perpecahan, sukunya sebenarnya sama, asal-usulnya juga sama, tapi dicitrakan berbeda.

Maka saat ini yang muncul : anda orang Malaysia, saya orang Indonesia..


Ketika membaca ayat Al-Qur'an yang kebetulan tidak sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya seperti Al-Maidah 51 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

'kemampuan intelektualnya' langsung muncul dan mengatakan :"Kita harus memiliki ilmu yang cukup untuk memahami Al-Qur'an, jangan menafsirkan ayat secara tekstual, tapi harus konseptual.". Lalu untuk mendukung 'kemampuan intelektualnya' tersebut, kaum liberal ini mengutip ayat lain  Al-Maidah 8 : 

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kali ini membaca ayatnya tidak pakai kontekstual, tidak perlu adanya kemampuan intelektual dan cukup memahami apa yang tertulis atau menafsirkan secara tekstual. Karena kebetulan dengan cara tersebut bunyi ayat Al-Qur'an sudah sejalan dengan keinginan hawa nafsunya sendiri..

Kesimpulan : mau kontekstual atau tekstual, mau melengkapi dengan ilmu atau tidak, dilihat kondisinya. Ini yang namanya memperalat ayat-ayat Al-Qur'an.


Menarik untuk mencermati dan mendalami fatwa salah satu lembaga Islam di Mesir tentang kebolehan memilih pemimpin kafir dikalangan umat Islam : Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ al-Mishriyyah) mengeluarkan fatwa pada 12 Oktober 2016 tentang bolehnya pemimpin non muslim dan perempuan.

“Konsep penguasa/pemegang wewenang (al-hakim) dalam negara modern telah berubah. Dia sudah menjadi bagian dari lembaga dan pranata (seperti undang-undang dasar, peraturan perundang-undangan, eksekutif, legislatif, yudikatif) yang ada, sehingga orang yang duduk di pucuk pimpinan lembaga dan institusi seperti raja, presiden, kaisar atau sejenisnya tidak lagi dapat melanggar seluruh aturan dan undang-undang yang ada. Maka itu, pemegang jabatan dalam situasi seperti ini lebih mirip dengan pegawai yang dibatasi oleh kompetensi dan kewenangan tertentu yang diatur dalam sistem tersebut. Pemilihan orang ini dari kalangan Muslim maupun non Muslim, laki-laki maupun perempuan, tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariah Islam, karena penguasa/pimpinan ini telah menjadi bagian dari badan hukum (syakhsh i’itibari/rechtspersoon) dan bukan manusia pribadi (syakhsh thabi’i/natuurlijke persoon).”

Ketika kita coba untuk mengaplikasikan fatwa ini dalam kehidupan politik nyata dalam sistem negara modern, maka terlihat bahwa justru kebolehan untuk mengangkat pemimpin kafir oleh umat Islam ini akan lebih aman dilakukan di negara yang sudah memakai aturan syariah, dan akan berbahaya kalau diterapkan untuk negara seperti Indonesia ini.

Mari kita berpikir...

Apabila suatu negara sudah menjadikan syariat Islam dan nilai-nilai Islam sebagai landasan kehidupan politik dan sosialnya, maka berdasarkan fatwa tersebut si pemimpin, apakah itu presiden, gubernur, sampai ke bupati, camat dan walikota, mereka akan diikat oleh aturan Islam dan tidak bisa keluar dari rambu-rambu nilai Islam. Sekalipun misalnya orang kafir yang dipilih menjadi pejabat, tidak ada masalah dan membahayakan kehidupan umat Islamnya. Semuaprogram kerja, proyek pembangunan, pengembangan sistem pendidikan, agama, dll pasti akan sesuai dengan ajaran Islam.

Sedangkan apabila fatwa tersebut diterapkan dalam negara seperti Indonesia, dengan sistem nilai terbuka, bisa dimasuki oleh nilai-nilai ajaran agama apapun, kebolehan untuk memilih pemimpin dari kalangan kafir akan berpotensi membahayakan kehidupan umat Islamnya. Bisa terjadi anggota legislatifnya terdiri dari orang kafir yang ironisnya dipilih oleh rakyatnya yang Islam, lalu membuat undang-undang yang bertentangan dengan nilai Islam, lalu eksekutifnya juga orang kafir yang menjalankan aturan non-Islami tersebut.

Bisa terjadi munculnya ketentuan untuk membolehkan perjudian dan kompleks pelacuran dengan alasan yang dikesankan masuk akal, bisa terjadi kelonggaran untuk peredaran khamar yang menurut aturan agama lain tidak diharamkan, lalu pemimpin eksekutifnya menjalankan ini sesuai aturan hukumnya. Ini menimbulkan potensi bahaya terhadap Islam.

Maka dalam negara yang memiliki sistem terbuka seperti di Indonesia ini justru umat Islamnya harus menyelamatkan diri dengan cara mematuhi ajaran Islam soal larangan menjadikan kafir sebagai pejabat publik disektor dan ditingkat manapun, sesuai Al-Maidah 51, tetap berpegang teguh dengan rambu-rambu yang diberikan Allah tersebut.

Pilihlah anggota legislatif yang punya wewenang untuk menghasilkan undang-undang dari kalangan Muslim, pilihlah presiden, gubernur, bupati, walikota, camat bahkan ketua RT sekalipun dari kalangan sesama Islam, agar kehidupan keagamaan anda bisa terjamin.

Keberpihakan kita terhadap aturan Islam tidak bisa dikatakan telah membatasi atau juga berlaku tidak adil kepada warga negara lain yang tidak seagama. Mereka tentu saja tidak dilarang untuk memilih saudara seiman mereka, orang kafir tidak dihalangi untuk memakai hak suara mereka untuk memilih sesama kafir menjadi presiden, gubernur, dll.

Karena pada akhirnya dalam sistem demokrasi, keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas, semua pihak harus mematuhi dan mengakui apapun hasilnya..