Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Baru-baru ini Gus Hamid dari MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) menyatakan bahwa selama ini para ulama Islam tidak ada yang memfatwakan kelompok Syiah sebagai kafir, tapi pernyataannya adalah : mereka sudah sesat (dholal). Ini dilontarkan beliau karena adanya pertanyaan yang menggelitik dari para pendukung Syiah :”Kalau memang Syiah dikategorikan sesat, lalu mengapa masih diperbolehkan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci..?”, kita tahu bahwa Makkah dan Madinah diharamkan untuk dimasuki orang-orang non-Muslim. Dalam pernyataannya yang disampaikan kepada Arrahmah, Gus Hamid berucap :” "Kalau mau bijaksana, substansinya saja, kita tidak mengkafirkan, kita hanya mengatakan dholal (sesat), orang sesat boleh saja naik haji, ini kan yang selalu dijadikan alasan" tukasnya membantah pendapat bahwa syiah boleh pergi haji berarti tidak sesat. 

Kita memang menemukan fakta bahwa kaum Syiah setiap tahunnya selalu bisa berada bebas di Masjidil Haram dalam masa-masa pelaksanaan haji maupun umroh. Pemerintah Arab Saudi sendiri tidak pernah mencekal mereka dengan alasan bukan bagian dari umat Islam dan sudah kafir. Dalam beberapa alasan yang saya temukan dari penjelasan umat Islam mengapa hal ini sampai terjadi, salah satunya menyebut sangat sulit untuk membedakan kaum Muslim yang datang ke Makkah, apakah Syiah atau bukan, karena dalam identitas mereka yang tercantum hanyalah mereka beragama Islam. Apalagi kalau didalami lagi bahwa dikalangan Syiah sendiri banyak terdapat aliran-aliran, sebagian dikatakan tidak menyimpang dari ajaran Islam dan yang lainnya disebut sudah tersesat. Namun peristiwa berhajinya Presiden Iran Ahmadinejad yang dilakukan tahun 2007 atas undangan raja Abdullah sendiri membuktikan bahwa memang tidak ada ketentuan pemerintah Arab Saudi untuk melarang kaum Syiah mendatangi tanah suci, ini berbeda dengan keputusan mereka terhadap kelompok Ahmadiyah yang memang dilarang untuk memasuki Makkah, karena fatwa kekafiran mereka ditetapkan dalam konferensi Rabitah Alam Islamy yang diadakan di Makkah tahun 1394 H, penetapan status kafir ini juga disampaikan oleh Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia dan Lembaga Ulama Senior Saudi Arabia dan Mujamma Fiqih yang menginduk kepada Rabithah dan Mujamma Fiqih Islam yang menginduk kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Mujamma Riset Islam di Al-Azhar. 


 
Disaat remaja dulu saya penggemar berat cerita silat Kho Ping Hoo. Saya ingat sepulang sekolah banyak menghabiskan waktu di toko penyewaan komik untuk membacanya, bahkan ini yang menyebabkan saya tidak berhasil mengkhatam pelajaran membaca Al-Qur’an di TPA, karena ‘secara naluri’ langkah saya berbelok dari seharusnya menuju masjid untuk belajar Al-Qur’an menjadi ‘nyangkut’ ditempat komik. Ada kesempatan yang hilang, karena sekarang saya tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan semurna, namun ada juga hal berharga yang saya dapatkan : kebebasan berimajinasi. 

Membaca buku cerita membuat imajinasi kita terbang bebas, gambaran yang disampaikan melalui tulisan ditafsirkan oleh otak kita secara unik dan sangat personal. Bisa saja semua orang membaca cerita yang sama, namun gambaran yang muncul dalam kepala pasti berbeda-beda. Ketika saya baca serial kisah Pendekar Pulau Es, misalnya, ada gambaran tentang situasi pulau Es tempat berdiamnya sang pendekar satu kaki Suma Han. Saya juga berimajinasi bagaimana ketika para penghuninya keluar masuk pulau memakai perahu menebus badai, atau menggunakan tenaga ginkang dan gwakang. Demikian juga ketika diceritakan soal Bu Kek Siansu, seorang istimewa sejak kecil yang dianugerahi bakat mampu mengendalikan hawa nafsu sehingga menjadi manusia suci, hidup sampai tua dan suka muncul tiba-tiba mengajarkan ilmu silat kepada siapapun yang membutuhkan. Penjelasan berupa tulisan tidak akan mampu membatasi imajinasi yang muncul dalam pikiran.

Beberapa tahun lalu, salah satu stasiun televisi di Indonesia memfilemkan cerita silat Kho Ping Ho ini dalam tayangan serial dan hasilnya saya sangat kecewa. Imajinasi yang selama ini menempel di ingatan sangat berbeda dengan visualisasi yang dibuat oleh sutradaranya. Ketika si Suling Emas berlari kencang menggunakan ‘ilmu ringan tubuh’, apa yang disajikan di film tidak sama dengan apa yang saya bayangkan selama ini.