Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
 
Al-Qur’an memakai banyak istilah untuk roh/nyawa/jiwa (untuk selanjutnya saya memakai istilah : nyawa), sebagai ‘sesuatu yang non-materil’ yang ada dalam diri kita, yang bersatu dengan jasad dan membuat kita menjadi hidup. Kadang-kadang memakai kata ‘nafs’, dilain waktu memakai istilah ‘ruh’. Namun kata ‘nafs’ tidak selalu merujuk kepada unsur non-materil tapi juga bisa dipakai untuk menunjukkan diri manusia secara keseluruhan, baik jasad maupun nyawa yang ada didalamnya, misalnya pada ayat ini : 

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (al-Maadiah 32) 

Kata ‘membunuh manusia’ diterjemahkan dari bahasa Al-Qur’an ‘qatala nafsan - membunuh nafs – tentu saja yang dimaksud disini bukan nyawanya yang dibunuh, karena nyawa tidak bisa mati, maka kata ‘nafs’ disini berarti manusia secara keseluruhan, manusia hidup yang terdiri dari jasad dan nyawa. Demikian pula dengan istilah ‘ruh’, kata tersebut juga memiliki banyak pengertian, juga diartikan sebagai : malaikat Jibril (al-Qadr 4), Al-Qur’an (asu-Shura 52), rahmat Allah (al-Mujadalah 22), disamping untuk menunjukkan nyawa yang ada dalam diri kita. 

Istilah ‘hidup’ diartikan ‘bersatunya nyawa dengan jasad’ sedangkan kata ‘mati’ berarti sebaliknya, yaitu terpisahnya nyawa dengan jasad manusia. Dalam ayat lain Allah menjelaskan soal proses kematian : 

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" (al-An’aam 93) 

Jelas dikatakan ketika seseorang dalam keadaan skharatul maut, maka malaikat mencabut nyawa dengan penggambaran perkataan ‘akhrijuu anfusakum’keluarkanlah nafs-mu – untuk menunjukkan proses terpisahnya nyawa dengan jasad, proses ini dikatakan sebagai kematian. Sebaliknya dalam menjelaskan soal ‘kehidupan’, Al-Qur’an menyatakan : 

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajadah 7-9) 



Islam mengajarkan, disaat kita mati maka semua manusia membawa 2 koper bekal untuk dipertanggung-jawabkan pada fase kehidupan selanjutnya. Kedua koper tersebut masing-masing berisi pahala dan dosa, sebagai nilai ‘konversi’ dari perbuatan baik maupun buruk yang kita lakukan selama hidup di dunia. Semua manusia tanpa terkecuali membawa bekal tersebut, bedanya mungkin terletak pada kuantitas dan kualitas pahala dan dosa. Ada manusia yang koper pahalanya terisi penuh dan sebaliknya koper dosanya cuma terisi setengahnya. Ada juga yang membawa dosa namun karena sempat bertaubat dan diterima Allah maka bekalnya tersebut kelak sudah tidak lagi diperhitungkan. Namun semuanya pasti membawa kedua koper tersebut. 

Islam juga mengajarkan bahwa manusia yang masuk kategori sebagai penghuni surga bukanlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah berbuat dosa, sebaliknya calon penghuni neraka juga bukan manusia yang tidak pernah berbuat kebaikan. Al-Qur’an menginformasikan bahwa semua perbuatan kita, sekalipun sebesar ‘zarrah’ akan dihitung tanpa terkecuali. Maka selain keimanan yang ada dalam qalbu, semua catatan perbuatan baik dan buruk tersebut akan ditimbang, ada proses ‘off-set’ antara pahala dan dosa, pahala menghapus dosa, dan sebaliknya dosa juga menghapus pahala, lalu kita tinggal menunggu bagaimana hasil akhirnya. Menghitung keseimbangan pahala dan dosa juga tidak hanya berurusan dengan soal kuantitas dari perbuatannya saja, kualitas juga memegang peranan. Jangan menganggap remeh dosa kecil, anda misalnya menganggap menyebarkan paku di jalanan hanya perkara sepele, namun bisa membuat bus yang isinya puluhan orang terguling, atau melukai seseorang dan berakibat kena tetanus, orang tersebut kemudian menderita bertahun-tahun karenanya. Bisa dibayangkan berapa catatan dosa yang mesti anda terima.. 

Pahala bukan hanya hasil dari perbuatan baik semisal menolong orang, rajin beribadah, shalat, puasa, zakat, infaq, sedekah, tapi juga ketika kita ikhlas dan sabar menerima musibah dan cobaan yang ditetapkan Allah, apapun bentuknya.. 

Ini adalah ajaran yang masuk akal, sederhana dan gampang diterima oleh siapapun. Sekalipun orang tersebut bukan pemeluk Islam atau bahkan penganut atheisme sekalipun, mereka dengan mudah bisa menerima konsep ini dan berkata :”Kalau memang prosesnya demikian, memang sangat masuk akal..”. 



Rasululllah bercerita tentang seorang pengembara yang telah melakukan perjalanan jauh, berambut kusut dan pakaian berdebu. Kondisinya menunjukkan bagaimana penderitaan yang sudah diterimanya dalam waktu sekian lama, perjalanan jauh menunjukkan bahwa dia tidak memiliki tempat berdiam yang nyaman dan tetap, rambut kusut menggambarkan sudah tidak ada lagi waktu memikirkan diri sendiri, dan pakaian lusuh dan berdebu memperlihatkan kefakirannya. Ditengah padang pasir tandus dia menengadahkan kedua tangannya kelangit, memasrahkan diri kehadirat ilahi, seraya berseru :”Wahai Rabb…, wahai Rabb….”, namun do’a tidak berjawab… Para sahabat yang mendengar kisah tersebut berkata :”Tidak mungkin Allah tidak mendengarkan do’a hamba-Nya yang sengsara tersebut, dia sudah berjalan jauh mencari Allah, mengalami penderitaan yang sangat berat, tidak lagi sempat memikirkan dirinya sendiri….”. Rasulullah berkata :”Bagaimana Allah mengabulkan do’a orang tersebut karena dalam dirinya mengalir darah dari minuman yang haram, dalam dagingnya mengendap makanan yang haram, tenaga dan pikirannya dihasilkan dari sesuatu yang haram…??”. 

(Cerita bebas bersumber dari hadist Rasulullah) 

Dari Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah –Shallalahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: 

“Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih” (QS. Al-Mukminuun: 51). 

“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172). 



Ketika Abrahah menjalankan ekspedisinya ke Mekah untuk menghancurkan Ka’bah, pasukannya beristirahat di suatu tempat bernama Mughammis yang jauhnya beberapa mil dari Mekah. 

Mereka merampas apa saja yang mereka temukan diperjalanan, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib, si penjaga Ka’bah. Abrahah lalu mengirim utusan untuk menemui pemimpin penduduk disana. Ia berpesan bahwa mereka datang bukan untuk berperang, melainkan hanya ingin untuk menghancurkan Ka’bah. Dan jika ingin menghindari pertumpahan darah, maka pemimpin Mekah harus menemuinya di kemahnya. 

Pemimpin yang mewakili penduduk Mekah adalah Abdul Muthalib, ketika Abrahah melihat kedatangan Abdul Muthalib kekemahnya, dia sangat terkesan, sampai turun dari singgasananya dan menyambutnya dan duduk bersama dia diatas karpet. Ia menyuruh juru bicaranya menanyakan kepada Abdul Muthalib permintaan apa yang hendak diajukan. Abdul Muthalib meminta agar 200 ekor untanya yang telah dirampas oleh pasukan Abrahah agar dikembalikan. Abrahah sangat kecewa mendengarkan permintaan tersebut karena menganggap Abdul Muthalib lebih mementingkan unta-untanya ketimbang Ka’bah yang sedang terancam untuk dihancurkan.. Abdul Muthalib menjawab :”Aku adalah pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya”. “Tapi sekarang ini Dia tak akan mampu melawanku”, kata Abrahah. “Kita lihat saja nanti,” jawab Abdul Muthalib, tapi kembalikan unta-unta itu sekarang”. Dan Abrahah memerintahkan agar unta-unta tersebut dikembalikan. 

Dalam ekspedisinya, Abrahah mempunyai seorang penunjuk jalan dari suku arab, bernama Nufayl dari suku Khats’am. 


 
Tulisan ini pernah dimuat dalam forum debat lintas agama Swaramuslim yang sudah tutup, karena saya lihat masih banyak pertanyaan dari non-Muslim terkait soal ini, saya muat kembali.. 

Pendapat umum yang diungkapkan netters Kristen tentang surga dan keselamatan dalam Islam adalah ibarat juragan pemilik angkot dengan sang sopir angkot, si sopir ditargetkan oleh si pemilik untuk mengusahakan kendaraan miliknya untuk mendapat jumlah uang tertentu, lalu si sopir memperoleh imbalan dari setoran yang dia berikan kepada sang juragan, bedanya mungkin kalau si pemilik angkot ikut mendapatkan bagian dari setoran tersebut, maka Tuhan akan mengembalikan semua ‘setoran’ hamba-Nya untuk kemanfaatan dan kenikmatan dari hamba itu sendiri. Makanya sering kita dengar tuduhan netters Kristen yang mengatakan bahwa umat Islam bertindak seperti robot, melakukan ibadah yang ‘kering’ dengan iman, yang penting mengisi hidup dengan semua aturan yang ditetapkan Tuhan, lalu tinggal menghitung-hitung apakah semua perbuatan tersebut sudah layak diganjar dengan surga. Tuhan, dalam pandangan seperti ini seolah-olah ‘tidak bisa berbuat lain’ dan harus memberikan imbalan sesuai apa yang Dia janjikan sendiri, karena kalau tidak, artinya Tuhan sudah menyalahi janji-Nya kepada kaum Muslim. 

Sebaliknya netters Kristen membanggakan diri mereka (terutama yang Protestan) dengan mengatakan bahwa surga semata-mata merupakan anugerah Tuhan dan semua perbuatan baik kita tidak akan mampu membuat kita masuk kesana, maka yang menentukan seorang Kristen mendapat keselamatan dan surga adalah karena iman, hati yang selalu dekat dengan Tuhan, mungkin juga melalui adanya roh kudus yang bersemayam didalam dada. 



Mumpung lagi ribut soal sepakbola piala Eropah, kesempatan saya ingin bicara soal sepakbola… 

Dalam suatu kesebelasan yang sedang bertanding, faktor perubahan kondisi setiap pemain selalu menentukan. Lumrah dalam jangka waktu 2 x 45 menit seorang pemain punya performance yang tiba-tiba menurun dalam beberapa menitnya, lalu pada masa selanjutnya mendadak menjadi ‘beringas’, demikian silih berganti untik setiap pemain. Bisa terjadi ketika si striker dalam kondisi letih lesu, gelandang menyerangnya yang ‘on-fire’, maka serangan dan tendangan ke arah gawang lawan akan banyak dilakukan oleh si gelandang menyerang tersebut. Lalu pada menit-menit berikutnya keadaan berubah, giliran striker yang segar-bugar, si gelandang yang ‘adem-ayem’, si striker yang bakalan dikasih umpan-umpan matang untuk menjebloskan gawang lawan. Pemain sayap kiri mendadak bengong, serangan dialirkan lewat sayap kanan, giliran yang kanan mandeg, bola lebih sering dioper ke pemain kiri. Disitulah letak dinamika suatu team kesebelasan, sehingga pertandingan enak ditonton. Ketika suatu kesebelasan mampu mengelola dinamika turun-naiknya performance para individu yang terlibat didalamnya, maka hasil akan dicapai berupa kemenangan yang manis. Siapa yang akan menikmati kemenangan tersebut..?? seluruh pemain, bahkan pemain cadangan juga ikut. Ketika pemilik club memberikan bonus sebagai hadiah atas kemenangan tersebut, semuanya kebagian, semuanya happy.. 

Sekarang mari kita berpindah kepada shalat berjamaah. Orang-orang pasti paham bahwa ketika melakukan shalat, apakah itu sendirian atau berjamaah, seorang Muslim juga akan mengalami turun-naiknya ‘performance’, kita akan mengatakannya ‘tingkat kekhusu’an’. Dalam mengerjakan shalat kadang-kadang kita bisa berkonsentrasi, merasakan kehadiran Allah yang mengamati, lalu pada menit-menit berikutnya pikiran melayang entah kemana, lalu balik lagi untuk kembali khusu’ mendekat kepada Allah. Tidak ada seorangpun dalam shalatnya yang bisa khusu’ terus-menerus, sebaliknya juga tidak juga ada orang yang melamun melulu, pasti antara khusu’ dan melamun terjadi silih-berganti. Ketika anda mengerjakan shalat sendirian, saat-saat khusu’ menjadi milik anda, sama juga ketika anda melamun maka itu juga menjadi tanggungan anda. Katakanlah dalam waktu shalat yang berjalan 10 menit, diantaranya 5 menit anda pakai buat melamun, sisanya bisa anda lakukan dengan khusu’, maka nilai shalat anda tersebut hanyalah 50% saja, itu hitung-hitungan diatas kertasnya. 



Seorang Arab Badui bermimpi, diperlihatkan kepadanya gambaran surga. Si Arab betul-betul terpesona karena situasi yang terlihat memenuhi 'dahaga terhadap kenikmatan' dia sebagai manusia gurun, yang setiap hari melihat padang pasir dan batuan padas. Surga yang dilihatnya dalam mimpi berupa 'jannah', taman, kebun yang subur diisi pohon rindang, bunga yang harum dan embun dikala pagi. Dia menemukan banyak pohon buah-buahan siap dipetik, ada jeruk, apel, pepaya, semangka tergantung di dahan yang merunduk seolah-olah mengundang untuk diraih. Tidak lupa didalam surga tersebut mengalir sungai-sungai nan jernih, alirannya menimbulkan suara gemercik yang menyegarkan. 

Tatkala terbangun, si Arab merasa sangat bahagia dan dia bersyukur karena sebagai muslim Tuhannya telah memberikan gambaran surga begitu indah yang salah satunya tercantum dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah 25 : 

..bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu,

Pada suatu kesempatan, si Arab datang ke Indonesia untuk berlibur, dari berbagai kunjungannya ke objek-objek wisata, dia menyempatkan diri mengunjungi satu taman bunga di puncak. Tentunya dia sangat terpesona karena hal ini tidak pernah dilihatnya dikampung halamannya. Dengan penuh rasa bahagia si Arab menyapa seorang bapak penjaga taman : " Indah sekali taman ini, seperti gambaran surga yang pernah saya impikan..". Penjaga taman berpaling dengan rasa ingin tahu : "bagaimana gambaran surga yang ada dalam mimpi Anda?" tanyanya kepada si Arab. Berceritalah si Arab tentang mimpinya, bagaimana surga yang di lihat itu penuh dengan bunga-bunga dan buah-buahan beserta sungai-sungai yang mengalir di dalamnya.. 

Mendengar cerita tersebut, penjaga taman terlihat tidak begitu antusias, dia berkata : "Surga dalam mimpi Anda tidaklah mempesonakan saya, apa enaknya?. Saya disini sudah melihat bunga dan buah setiap hari, selalu menghirup udara segar dipagi hari, dan masalah sungai, Tahukah Anda rumah saya dekat dari sini, berada dipinggir sungai yang jernih, setiap bangun pagi saya selalu mendapatkan suara gemercik air, lantas apa enaknya surga seperti mimpi Anda?..." 



"Anakku, memilih pasangan hidup merupakan ketrampilan dalam menyeimbangkan kalkulasi rasional dengan hasrat emosional. Berat ke kalkulasi rasional bisa membuat rumah-tanggamu ibarat mengarungi padang gurun kering kerontang, sebaliknya, dominan kepada hasrat emosional akan menjadikannya seperti melayari lautan penuh gelombang besar.."

Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini bukan membahas persoalan nikah beda agama dari aspek kajian fiqih, jadi bakalan tidak ada pernyataan soal boleh atau tidak, halal atau haram. Ini semata-mata melihat pernikahan beda agama melalui akal sehat, dan tentu saja akan banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jauh masuk ke relung hati, bertanya kepada keimanan kita.. 

Pernahkan anda melihat pasangan tetangga anda, yang menganut agama yang berbeda (dalam konteks ini, salah satunya adalah Muslim), menjalani hidup mereka sehari-hari dengan penuh ketenteraman, saling menghargai, saling mengasihi selama bertahun-tahun, tidak terdengar adanya konflik yang berarti, jarang bertengkar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, dari kecil dididik untuk tenggang rasa, penuh toleransi dan setelah dewasa diberi kebebasan penuh untuk memilih keyakinannya sendiri. Anak-anak tersebut tumbuh menjadi seorang penganut agama yang toleran dan punya kemampuan menghargai kepercayaan lain yang berbeda. Sedangkan anda sendiri, sekalipun pasangan anda sama-sama penganut Islam, termasuk kategori taat beribadah, tapi sering terlibat pertengkaran (ukuran sering atau tidaknya tentu tergantung anda sendiri) sehingga rumah serasa neraka, punya anak-anak bandel yang shalat wajibnya bolong-bolong. Apakah Islam bisa menjamin terciptanya rumah tangga yang berbahagia? Mengapa justru pernikahan beda agama terlihat punya potensi untuk menumbuhkan sikap toleran dan saling menghargai perbedaan..?? 

Saya pastikan apa yang anda saksikan tersebut tidak akurat. Mana ada rumah tangga yang selalu dalam kondisi damai dan tenteram terus-menerus..?? sebaliknya juga tidak akan ada rumah-tangga yang seratus persen diisi oleh pertengkaran dan perkelahian. Lumrahnya sebuah rumah tangga, pertengkaran dan kasih sayang, cinta dan marah, bahagia dan susah, selalu datang silih berganti, dan ketika anda menengok tetangga anda, si pasangan beda agama yang rukun, mungkin muncul pertanyaan tersebut. Kita tidak akan bisa melihat kehidupan orang lain 24 jam dalam sehari sehingga saat-saat pertengkaran kemungkinan besar tidak terlihat, dan memang wajar, semua orang juga akan menyembunyikannya dan yang tampak adalah kondisi damainya saja. Setiap keluarga memiliki problemnya masing-masing, maka dalam menjalaninya selalu akan muncul dinamika dan perjuangan untuk melakukan ‘sinkronisasi’, yang tidak menutup kemungkinan harus melewati diskusi dan perbedaan pendapat yang ‘hangat’. Itu terjadi kepada semua orang. 



Pemilihan umum untuk memilih presiden di negeri ini masih 2 tahun lagi, namun kasak-kusuknya sudah hangat. Kita setiap hari melihat, membaca dan mendengar di media massa manuver-manuver politik yang dilakukan oleh partai maupun tokoh-tokoh yang namanya masuk dalam bursa untuk memantapkan posisi. Ada yang sibuk menyusun dukungan langsung ke partai, ada juga yang mengambil sikap meningkatkan pencitraan. Sarana apapun dipakai, mulai dari naik kendaraan umum sampai beriklan dijalanan memasang poster besar menjual tampang yang diperkirakan ‘masih makanan kamera’ layaknya artis sinetron. Sistem politik yang telah kita pilih memang mendukung kelakuan-kelakuan seperti ini, karena berhasilnya seseorang menjadi pemegang pucuk pimpinan tertinggi harus melalui mekanisme : diusulkan oleh partai politik dan dipilih oleh rakyat, yang satu perlu menguasaan real, menjadi ketua partai atau dewan pembina, sedangkan untuk menarik minat rakyat perlu ‘product design’ dan ‘brand image’. Kedua langkah ini saling berinteraksi, ‘produk’ dan ‘image’ yang sudah tertanam baik dipikiran masyarakat akan menentukan keputusan partai untuk memilih siapa yang pantas untuk dimajukan sebagai calon, sebaliknya orang yang berhasil menguasai partai diharapkan bisa secara bersamaan menguasai persepsi masyarakat. Namun pengalaman yang terjadi sebelumnya, faktor ‘product design’ dan ‘brand image’ si calon lebih dominan untuk memenangi pertarungan, makanya pencalonannya bisa saja diusulkan oleh koalisi partai-partai gurem yang memenuhi syarat minimum yang telah ditetapkan undang-undang, dan bisa memenangi pemilihan presiden. 

Mengenai peluang untuk memperoleh hasil yang diharapkan, setiap calon pasti merasa ‘pede’. Disamping setiap hari dikelilingi banyak orang yang menyatakan dukungan sehingga menganggap mayoritas rakyat juga mendukung, pengalaman kehidupan berdemokrasi di negara lain bisa dijadikan benchmark, misalnya di Amerika Serikat. Sejarah politik kita mencatat yang bisa menduduki posisi presiden di negeri ini adalah orang Jawa, maka bagi calon yang bukan orang Jawa akan menghibur diri :”Seratus tahun yang lalu orang negro adalah kaum budak di AS, dianggap setengah manusia, buktinya toh mereka bisa jadi presiden..”, dengan contoh tersebut maka optimisme si calon tetap menyala-nyala, bukan tidak mungkin orang Batak, Minang, Palembang, Lampung, Sunda, Makasar, Maluku sampai Papua bisa juga jadi presiden di Indonesia. Selanjutnya tentu saja konfigurasi pencalonan bisa berubah terkait dengan prinsip ‘take and give’, ada yang mundur dan berkompromi untuk mendukung calon lain, namun menurut saya berdasarkan karakter para pemimpin kita selama ini, dalam bernegosiasi soal kekuasaan, mereka lebih cenderung untuk ‘ngetake’ ketimbang ‘ngegive’, artinya jarang ada yang mau mengalah, maka kemungkinan nanti pada pemilu presiden tersebut rakyat akan dibikin bingung dengan banyaknya calon yang maju. Sikap irrasional untuk tidak mau mengalah ini akan membuat sikap si calon tetap ‘keukeuh’ untuk maju sekalipun mungkin menyadari dirinya tidak bakalan menang, prinsipnya :”Kali-kali saja nasib baik…”. 



Pada suatu kesempatan memberikan ceramah, ustadz Athian Ali dari Bandung bercerita soal ulama. Katanya istilah ‘ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, artinya : orang yang berilmu, dalam istilah ini yang dimaksud dengan ilmu, tidak terbatas hanya kepada ilmu agama saja tapi semua ilmu, tidak peduli apakah itu ilmu yang baik atau buruk, ilmu putih atau hitam. Ketika sekumpulan orang-orang berilmu, atau ‘alim tersebut berkumpul, maka kelompok tersebut dinamakan ‘ulama. Jadi kalau serombongan ahli copet atau maling berkumpul maka mereka sudah berhak dipanggil dengan ‘ulama, kumpulan orang berilmu copet atau maling. Lalu kelompok maling tersebut membuat suatu organisasi, wadah tempat mereka melakukan kegiatan, ada ketua dan sekretaris, pakai AD/ART dan program kerja, kita akan menyebutnya dengan majelis, yaitu organisasi tempat berkumpulnya ‘ulama, para ahli copet/maling tadi. Dan karena perkumpulan tersebut didirikan di Indonesia, tidak ada salahnya kalau kemudian organisasi tersebut diberi judul Majelis ‘Ulama Indonesia, disingkat dengan MUI, sudah sah menurut arti kata dan bahasanya. 

Lelucon tersebut disampaikan ustadz Athian disekitar tahun 80’an, ketika beliau masih muda, terkenal dengan ceramah yang ‘menyikut’ kiri-kanan. Kebetulan ketika itu disampaikan dimasjid Istiqomah – Bandung, lokasinya pas di sebelah kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) – Jawa Barat, pengurusnya diisi oleh para ulama senior. Saya tidak tahu apa kejadian selanjutnya, soalnya ceramah beliau disampaikan lengkap dengan pengeras suara sehingga terdengar kemana-mana. termasuk ke kantor MUI. Waktu itu dijaman Orde Baru, lagi hangat-hangatnya sorotan kepada MUI yang dituduh hanya merupakan stempel pemerintah setelah ditinggalkan oleh buya HAMKA. Pandangan umat Islam, terutama para mahasiswa terhadap MUI benar-benar sudah berada pada titik nadir. 

Yang jelas saat ini ustadz Athian Ali juga dikenal sebagai ulama, pihak yang disindirnya dulu, beliau mengetuai FUUI – Forum Ulama Ummat Indonesia. Entah sejak kapan ustadz Athian Ali memiliki status sebagai ulama. 



Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (al-Anfaal 2) 

Dulu saya pernah mendapat satu pertanyaan tentang Tuhan :”Apakah bisa Tuhan yang Maha Berkehendak dan Maha Adil untuk berkehendak tidak adil..?”. Ini pertanyaan khas orang yang kurang kerjaan memang, sama seperti halnya pertanyaan :”Apakah Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa bisa menciptakan sebuah batu yang tidak kuasa untuk diangkat-Nya..?”. 

Al-Qur'an sendiri menyatakan bahwa pemahaman tentang keberadaan Tuhan dalam diri manusia sudah ditanamkan sejak manusia belum dilahirkan : 

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (al-A’raaf 172) 

Al-Qur'an punya pemilihan kata yang akurat tentang sebutan Tuhan dalam ayat ini, karena Tuhan disebut dengan 'rabb' :"Bukankah Aku ini rabb-mu..?", Al-Qur'an tidak menyatakan 'illah', sebagai suatu kata lain bahasa Arab yang juga diartikan sebagai Tuhan. 'Rabb' memiliki arti sebagai Tuhan Sang Pencipta, sedangkan 'illah' lebih diartikan 'Tuhan Yang Disembah'. Kita tentu boleh bertanya :"Lho...saya nggak ingat bahwa sebelumnya saya pernah mengadakan perjanjian dengan Tuhan..", lalu kita menyimpulkan bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada, sekalipun itu adalah suatu sikap yang 'konyol', karena banyak juga peristiwa dan kejadian ketika kita masih kecil yang terlupa namun tidak membuat peristiwa tersebut dikatakan tidak pernah ada, sesuatu dikatakan pernah/tidak pernah terjadi bukan tergantung kita ingat atau tidak. Lagipula Tuhan menempatkan 'kesepakatan' tersebut bukan pada kesadaran kita, tapi pada alam bawah sadar kita. Naluri manusia adalah makhluk yang beriman kepada Tuhan. Seseorang bisa saja menyangkal keberadaan Tuhan, menjadi atheis, namun pada saat yang sama dia otomatis telah memper-Tuhan-kan yang lain. Orang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan, yang ada hanyalah materi, maka 'materi' telah berfungsi menjadi Tuhan bagi dirinya. Bahkan ketika seseorang menyatakan 'Tidak ada Tuhan' maka kondisi 'Tidak ada Tuhan' sudah berfungsi sebagai Tuhan bagi dirinya, karena dia kemudian akan menggantungkan semua hasrat dan harapannya kepada kondisi tersebut. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari naluri sebagai makhluk yang ber-Tuhan. 



Boleh dikatakan hampir semua Muslim mengetahui tentang perang Uhud, salah satu perang yang dilakukan oleh Rasulullah dan pengikutnya setelah kemenangan gemilang perang sebelumnya, perang Badar. Pada awalnya, dengan strategi yang jitu menempatkan para pemanah di suatu bukit sehingga kelebihan jumlah pasukan musuh menjadi tidak berguna akibat bertempur pada front yang terbatas, membuat musuh mati kutu dan mengalami kekalahan. Namun kemenangan yang diperoleh pasukan Muslim hanyalah sementara karena para pemanah yang ditempatkan di bukit tidak mampu menahan dorongan hawa nafsunya untuk ikut merebut pampasan perang yang ditingggalkan musuh, mereka lalu meninggalkan posisi dan membuat area pertempuran kembali terbuka. Kita juga mengetahui kisah selanjutnya, ketika pasukan Quraisy berbalik melewati jalur yang terbuka tersebut, menyerang pasukan Muslim yang sibuk memungut harta pampasan perang. Tercatat 70 tentara Muslim tewas dalam pertempuran, tentunya termasuk para pemanah yang telah meninggalkan pos mereka. 

Pertanyaan muncul :”Apakah para pemanah yang telah lalai dan melanggar perintah Rasulullah tersebut bisa dikatakan mati syahid..?”. Boleh jadi ketika mereka berangkat dari Madinah dihati mereka tertanam kerelaan dan keikhlasan untuk berjuang dijalan Allah, sekalipun dengan resiko harus tewas di medan pertempuran. Semangat dan niat tersebut tentu masih ada ketika mereka menempatkan posisi sebagai pemanah. Namun kita bisa menduga bahwa ketika mereka meninggalkan pos mereka untuk ikut ‘cawe-cawe’ memungut harta pampasan perang, mungkin ada niat yang berubah dalam hati, dan pada saat itulah mereka kemudian ikut tewas dalam pertempuran. Lalu apakah kemudian Rasulullah memberikan statement bahwa mereka tidak mati syahid..?? bahwa mereka telah melakukan ‘jihad yang salah’..??, tidak ada catatan adanya pernyataan Rasulullah tersebut, yang ada justru hadist yang mengatakan Rasulullah memperlakukan jenazah mereka sebagai orang-orang yang mati syahid : 

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. : bahwa Nabi Muhammad Saw mengumpulkan setiap dua orang yang mati syahid dalam perang Uhud di dalam selembar kain, kemudian bertanya, “siapa di antara mereka yang lebih mengetahui tentang Al Quran?” ketika salah seorang dari mereka ditunjukkan, Nabi Muhammad Saw memasukkan orang itu terlebih dahulu ke dalam kubur dan berkata, “aku akan bersaksi untuk mereka di hari kiamat”. Nabi Muhammad Saw memerintahkan untuk mengubur mereka tanpa membersihkan darah mereka lebih dahulu dan Nabi Muhammad Saw tidak memandikan maupun menshalatkan mereka. 



Peristiwa ini selalu menjadi topik yang ‘hangat’ dalam perdebatan lintas agama, bahkan termasuk juga di kalangan internal umat Islam sendiri. Bedanya mungkin kalau dalam konteks debat lintas agama, tujuannya tidak lain untuk menyampaikan penghinaan dan hujatan kepada pribadi Rasulullah. Sekalipun hal ini sudah dijawab berulang-ulang oleh umat Islam, namun tetap saja dipermasalahkan oleh pihak non-Muslim. Jawaban yang paling sering kita temukan adalah dengan mengkaji dan menganalisa sanad dari hadits yang menginformasikan bahwa ketika menikah, Aisyah berusia 6 tahun dan hidup serumah (diartikan telah melakukan hubungan suami istri) pada umur 9 tahun. Secara keseluruhan terdapat beberapa hadits yang mencatat jelas soal umur Aisyah ini, termasuk dalam shahih Bukhari dan Muslim, artinya kedua ahli hadits ini ketika mengumpulkan hadits, menemukan cerita yang sama dari beberapa orang, lalu ketika ditelusuri jalur periwayatannya, mereka berkesimpulan bahwa orang-orang yang terlibat dalam ‘menurunkan’ kisah tersebut layak dipercaya. Makanya Bukhari dan Muslim mencatat hadits ini dengan kategori shahih. Masalahnya, sekalipun ketika imam Bukhari dan imam Muslim memperoleh banyak sumber yang menceritakan umur Aisyah tersebut, jalur periwayatannya ternyata mengerucut kepada 1 orang, yaitu : Hisyam, yang lahir tahun 61H (jadi tidak bertemu dengan Aisyah yang wafat tahun 57H). Hisyam sendiri mendapatkan cerita tersebut dari bapaknya : Urwah bin Zubair, salah seorang sahabat yang hidup di jaman Nabi Muhammad SAW, dia memperoleh kisah tersebut sebagaimana yang diceritakan Aisyah kepadanya. Jadi sekalipun imam Bukhari dan Muslim menemukan banyaknya orang yang menceritakan hadits ini, sumbernya adalah 1 orang, melalui Hisyam, sebagai satu-satunya orang yang memperoleh informasi dari bapaknya Urwah. Redaksi hadits tersebut menunjukkan Aisyah bercerita kepada Urwah ‘face to face’, tidak ada orang lain, lalu beberapa tahun kemudian Urwah juga menceritakan ‘face to face’ kepada anaknya, Hisyam, setelah itu barulah Hisyam menyampaikan informasi kepada banyak orang. 



Pengadilan para koruptor di negeri ini memberikan bukti kepada kita bahwa tidak ada persahabatan sejati dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Ketika seorang tertuduh kasus korupsi diseret ke pengadilan, dia akan segera mempertahankan diri dengan cara berusaha mengalihkan sasaran tembak kepada orang lain yang terlibat, minimal berupaya untuk tidak dihukum sendirian. Persahabatan yang dijalin dalam kemungkaran memang memiliki bentuk ikatan yang sangat rapuh karena sudah kodratnya, menjadi terkesan akrab dan baik karena sama-sama mendapat keuntungan. Ketika keuntungan sudah tidak lagi ada, maka jalinan kekompakan tersebut juga akan hancur berantakan. Korupsi yang dilakukan berjamaah (dan umumnya memang selalu dilakukan berjamaah) memunculkan ‘rasa persahabatan’ yang erat antara pelaku-pelakunya, ada sikap saling melindungi dan menutup kuat rahasia, karena semuanya mendapat manfaat dan bagian masing-masing. Kalau bisa sikap saling menjaga dilanjutkan sampai akhir hayat. Siapa sih yang mau mengambil resiko membuka rahasia..?? karena pelaku-pelakunya juga sadar akan menyeret semua pihak yang terlibat, termasuk dirinya sendiri. Lalu disaat mereka bernasib sial, perbuatannya terbongkar, mungkin mulai dari satu orang, maka tidak pernah kejadian orang tersebut akan ‘menelan’ sendiri semua penderitaan, sedangkan koleganya yang lain selamat meneruskan hidup menikmati harta hasil korupsi tersebut, kecuali mungkin diantara mereka ada deal yang dirasakan bisa menutupi pengorbanannya sebagai kompensasi, itupun pasti membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Makanya dalam suatu skenario korupsi, setiap oknum didalamnya pasti sudah memasang jerat yang saling mengikat satu-sama lain, sebagai ‘kunci pengaman’ kalau kelak kebusukan tidak bisa lagi ditutupi. Ini adalah suatu tindakan yang masuk akal… 

Anda punya teman akrab dalam bermaksiat..?? Al-Qur’an menginformasikan bahwa pada saat tidak ada lagi kemampuan untuk menutupi dosa, ketika Allah membuka seluruh aib-aib kita secara terang benderang, maka diantara rekan akrab tersebut akan saling salah-menyalahkan : 

Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri".Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. (Ibrahim 21-22) 

 
Kalau boleh saya menyebutkan siapa manusia yang paling beruntung di dunia, maka itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Bukan karena dia konglomerat kaya, orang saleh, tokoh Islam, khalifah bahkan dinyatakan Rasulullah sebagai salah seorang yang diinformasikan akan masuk surga, tapi keberuntungan Abu Bakar karena sejak kecil dia memiliki seorang teman yang sangat ‘berkualitas’, yaitu Rasulllah. Apakah anda bisa membayangkan memiliki seorang sahabat, yang selalu datang paling duluan ketika anda mendapat kesulitan dan kesusahan, selalu bersikap ramah dan peduli dengan keselamatan anda, memberi nasehat ketika anda salah jalan dengan cara yang santun, tidak menghakimi. Sahabat anda tersebut mungkin suatu waktu bersikap keras dan tegas, namun anda bisa merasakan bahwa apa yang dia lakukan semata-mata untuk kepentingan anda sendiri, tidak ada maksud tersembunyi dalam dirinya yang ujung-ujungnya mau mengambil manfaat bagi keuntungan pribadinya. Ketika sahabat anda tersebut muncul di pintu rumah anda, perasaan anda sangat gembira karena tahu bahwa dia datang bukan membawa suatu kepentingan sendiri, murni sekedar ingin mendengar berita tentang diri anda, kesehatan anda, apakah anda baik-baik saja, cuma itu.. 

Saya yakin, sahabat yang demikian selalu anda harapkan kehadirannya.. 

Adalah hal yang menakjubkan ketika kita membaca hadits yang berisi catatan para sahabat tentang tingkah-laku dan ucapan Rasulullah, ketika sahabat menyampaikan dari mulut ke-mulut apa yang dia dengar dari Rasulullah ketika dirinya ada didekat beliau. Tidak ada satupun kesan antara nabi Muhammad SAW dengan si perawi hadits tersebut memiliki jarak, misalnya antara atasan dengan bawahan, atau boss dengan anak buah. Setiap catatan ucapan Rasulullah selalu terkesan disampaikan dalam kondisi kedekatan beliau dengan sahabat. Tidak ada satupun catatan yang memberitakan dalam persahabatan nabi Muhammmad SAW dengan orang-orang di sekelilingnya ada kelompok ‘inner-cirle’, atau istilah politiknya, ring-1, ring-2, atau ring berapapun. Dalam perjalanan hidupnya Rasulullah berteman sejak kecil dengan Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu setelah masa kenabian muncul Umar bin Khattab yang menjadi dekat dengan Rasulullah setelah dia masuk Islam. Bahkan banyak para sahabat yang baru menjadi sahabat beliau setelah penaklukan Mekkah, yaitu mereka yang dulunya musuh-musuh Islam. Kalau anda simak bagaimana semua sahabat tersebut menyampaikan omongan Rasulullah dalam hadits, sulit membedakan apakah itu bentuk omongan kepada sahabat sejak kecil atau pertemanan yang baru terjalin pada masa dewasa. 



Dari dulu orang-orang selalu ribut tentang batas aurat, mana yang bisa dikategorikan sebagai suatu bentuk pornografi atau pornoaksi dan mana yang tidak. Inul Daratista bisa saja bilang gerakan ngebor yang dilakukannya tidak lebih hanya merupakan gerakan yang ‘enerjik’, namun bang Haji Rhoma Irama dengan tegas mengatakan itu perbuatan yang sengaja mengundang syahwat. Orang-orang ribut foto telanjang Anjasmara ala Adam dan Hawa di surga, para seniman bilang itu hanyalah pengungkapan suatu nilai seni. Umat Islam mengatakan jilbab - menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan - diwajibkan agar kaum wanita terpelihara dari tindakan pelecehan oleh kaum laki-laki , pihak yang menentang bilang :”Jilbab tidak berguna, ngeliat jempolnya doank gue bisa nafsu koq..”. Yang lainnya mengatakan :”Belum tentu laki-laki bakalan terangsang lihat cewek pakai bikini atau bahkan telanjang sekalian, itu tergantung pikirannya kotor atau tidak…”. Lalu muncul usulan yang seolah-olah bijaksana :”Batas aurat diserahkan saja kepada nilai-nilai kesopanan masyarakat..”, kalau ini yang dilakukan maka orang Papua bakalan ribut dengan orang Jawa karena batas kesopanan di Papua cukup ditutup dengan koteka, sesuatu batasan yang tidak akan pernah diterima di Jogyakarta. 

Maka batasan aurat, bagian mana dari tubuh manusia yang bisa menimbulkan nafsu syahwat dan mana yang bukan, tidak bisa diserahkan kepada pendapat manusia, urusannya nggak bakalan selesai. Ketika ajaran Islam memerintahkan aturan jilbab bagi kaum wanita dengan batasan yang jelas tercantum dalam Al-Qur'an, ini merupakan perintah yang masuk akal. Kita bisa menerima dengan gampang bahwa Allah tentu lebih mengetahui mana batasan tubuh manusia yang boleh dipertontonkan dan mana yang harus disembunyikan, karena Allah mengetahui tentang diri manusia lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, tentu saja artinya Allah juga mengetahui apa isi hati orang yang menyatakan bisa bernafsu hanya dengan melihat jempol wanita tadi. 



Agak sulit kita menempatkan kedudukan musik dan nyanyian dalam ajaran Islam. Kajian fiqih menunjukkan terjadi perbedaan pendapat para ulama untuk menyatakan musik atau nyanyian sebagai sesuatu yang diperbolehkan atau dilarang, halal atau haram, semuanya punya dalil-dalil yang kuat. Tercatat dalam hadits, suatu ketika Rasulullah mengingatkan tentang bahayanya musik dan nyanyian, pada saat lain tidak mempermasalahkan ketika ada yang bermain musik, bahkan ada catatan beliau malah memerintahkan menabuh rebana ketika mengumumkan suatu pernikahan. Saya sampaikan contohnya : 

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590]. 

Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. 

Sebagian orang menafsirkan boleh memainkan alat musik dengan membatasi kepada alat musik tertentu karena nash-nya menyebutkan secara jelas, ini juga menjadi pertanyaan karena memang dulu dijaman Rasulullah yang ada hanya ada rebana, bagaimana kalau ketika itu sudah ada gitar listrik dan piano..?? Kajian fiqih terkesan memberikan kesimpulan bahwa musik dan nyanyian diletakkan pada posisinya yang mubah, merupakan pilihan untuk mengerjakan atau meninggalkan tanpa implikasi pahala atau dosa. Dalam bahasa sekarang, musik dan nyanyian pada dasarnya bersifat netral, tergantung isi dan tujuan dilakukan. Ibarat pisau, bisa menjadi haram ketika dipakai buat membunuh, dan halal saat dipergunakan di dapur untuk memotong sayur. Pisau itu itu sendiri tidak punya status, yang akan menentukan nilainya adalah perbuatan yang terkait dengan alat tersebut. Mungkin ini pengungkapan yang lebih tepat untuk menilai musik dan nyanyian. 



Sejarah Islam mencatat bahwa proses turunnya ayat-ayat Al-Qur’an terjadi berangsur-angur selama hampir 23 tahun, mulai ketika Rasulullah bertahannuts – menyepi di gua Hira. Ayat-ayat yang diturunkan punya karakter yang bermacam-macam, kadang terkait dengan persoalan pribadi orang-perorang seperti perintah untuk beriman, bersikap sabar, jujur, sampai kepada aturan kemasyarakatan. Tidak jarang ada ayat yang dimulai dengan ‘mereka bertanya kepadamu tentang’, yang artinya ayat tersebut baru diwahyukan sebagai reaksi adanya persoalan yang terdapat ditengah masyarakat. Para sahabat bertanya tentang perang dibulan haram, harta yang dinafkahkan, kiamat, bahkan tentang haid, lalu Allah menurunkan ayat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Al-Qur’an juga banyak memakai istilah dan terminologi yang ada dalam kehidupan sosial yang ada, misalnya soal perdagangan, makanya kita menemukan banyak istilah tentang jual-beli, hutang, timbangan, pinjaman, dll, karena masyarakat Mekkah pada waktu itu memang kebanyakan hidup dari berdagang, surat Quraish misalnya bercerita tentang kegiatan kabilah-kabilah dagang dari Makkah yang melakukan perjalanan ke utara dan selatan untuk melakukan transaksi bisnis. Berdasarkan kenyataan ini kemudian muncul pendapat dari kalangan orientalis yang sangat sering dikutip oleh orang-orang liberal, bahwa Al-Qur’an muncul sebagai cerminan budaya Arab yang ada pada waktu itu, direkam oleh nabi Muhammad menjadi suatu ajaran. 

Sampai disini pendapat tersebut kelihatannya masuk akal, kalau kita kemudian menghentikan pengamatan terhadap perjalanan sejarah Islam. Namun pertanyaan justru muncul ketika kita melanjutkan membaca kisah selanjutnya ketika nabi Muhammad pindah ke Madinah, berhijrah membentuk suatu pemerintahan dan tatanan masyarakat berdasarkan ajaran Al-Qur’an yang dikatakan sebagai refleksi budaya Arab yang diserap beliau tersebut. Masyarakat Madinah setelah kedatangan nabi Muhammad benar-benar berbentuk sistem kemasyarakatan yang baru, dan tidak dikenal oleh sejarah panjang orang Arab ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya. Hal yang paling utama dan sangat revolusioner adalah tentang sistem kekerabatan. Sebelumnya orang-orang Arab adalah suatu kelompok yang terbentuk dalam sistem kabilah/keluarga berdasarkan garis keturunan datuk-datuk mereka. Ini tergambar dari sebutan mereka misalnya sebagai anggota bani Hasyim, bani Tamim, bani Umayah, yang merupakan nama-nama dari nenek-moyang mereka terdahulu. Interaksi antara mereka, termasuk soal perkawinan, perang, ukuran moralitas, kedudukan kaum wanita, dll selalu terkait dengan sistem ini. Di Madinah-pun juga demikian, ada suku Aus dan Khazraj yang sering berperang atas dasar fanatisme kesukuan. Ketika Rasulullah membangun suatu sistem kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur’an, semua sistem-sistem yang sudah ada dan hidup ribuan tahun tersebut mendadak lenyap. Saya sengaja memakai kata ‘mendadak’ karena prosesnya memang hanya berjalan tidak lebih dari 15 tahun. Apakah anda bisa membayangkan kalau ini terjadi sekarang..?? ketika orang Jawa, Minangkabau, Sunda, Batak, Aceh, Irian, Maluku dalam waktu 15 tahun tiba-tiba menghilangkan sistem kekerabatan mereka, lalu melebur dalam suatu sistem baru yang sama sekali berbeda..??