Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Sejarah Islam mencatat bahwa proses turunnya ayat-ayat Al-Qur’an terjadi berangsur-angur selama hampir 23 tahun, mulai ketika Rasulullah bertahannuts – menyepi di gua Hira. Ayat-ayat yang diturunkan punya karakter yang bermacam-macam, kadang terkait dengan persoalan pribadi orang-perorang seperti perintah untuk beriman, bersikap sabar, jujur, sampai kepada aturan kemasyarakatan. Tidak jarang ada ayat yang dimulai dengan ‘mereka bertanya kepadamu tentang’, yang artinya ayat tersebut baru diwahyukan sebagai reaksi adanya persoalan yang terdapat ditengah masyarakat. Para sahabat bertanya tentang perang dibulan haram, harta yang dinafkahkan, kiamat, bahkan tentang haid, lalu Allah menurunkan ayat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Al-Qur’an juga banyak memakai istilah dan terminologi yang ada dalam kehidupan sosial yang ada, misalnya soal perdagangan, makanya kita menemukan banyak istilah tentang jual-beli, hutang, timbangan, pinjaman, dll, karena masyarakat Mekkah pada waktu itu memang kebanyakan hidup dari berdagang, surat Quraish misalnya bercerita tentang kegiatan kabilah-kabilah dagang dari Makkah yang melakukan perjalanan ke utara dan selatan untuk melakukan transaksi bisnis. Berdasarkan kenyataan ini kemudian muncul pendapat dari kalangan orientalis yang sangat sering dikutip oleh orang-orang liberal, bahwa Al-Qur’an muncul sebagai cerminan budaya Arab yang ada pada waktu itu, direkam oleh nabi Muhammad menjadi suatu ajaran. 

Sampai disini pendapat tersebut kelihatannya masuk akal, kalau kita kemudian menghentikan pengamatan terhadap perjalanan sejarah Islam. Namun pertanyaan justru muncul ketika kita melanjutkan membaca kisah selanjutnya ketika nabi Muhammad pindah ke Madinah, berhijrah membentuk suatu pemerintahan dan tatanan masyarakat berdasarkan ajaran Al-Qur’an yang dikatakan sebagai refleksi budaya Arab yang diserap beliau tersebut. Masyarakat Madinah setelah kedatangan nabi Muhammad benar-benar berbentuk sistem kemasyarakatan yang baru, dan tidak dikenal oleh sejarah panjang orang Arab ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya. Hal yang paling utama dan sangat revolusioner adalah tentang sistem kekerabatan. Sebelumnya orang-orang Arab adalah suatu kelompok yang terbentuk dalam sistem kabilah/keluarga berdasarkan garis keturunan datuk-datuk mereka. Ini tergambar dari sebutan mereka misalnya sebagai anggota bani Hasyim, bani Tamim, bani Umayah, yang merupakan nama-nama dari nenek-moyang mereka terdahulu. Interaksi antara mereka, termasuk soal perkawinan, perang, ukuran moralitas, kedudukan kaum wanita, dll selalu terkait dengan sistem ini. Di Madinah-pun juga demikian, ada suku Aus dan Khazraj yang sering berperang atas dasar fanatisme kesukuan. Ketika Rasulullah membangun suatu sistem kemasyarakatan berdasarkan Al-Qur’an, semua sistem-sistem yang sudah ada dan hidup ribuan tahun tersebut mendadak lenyap. Saya sengaja memakai kata ‘mendadak’ karena prosesnya memang hanya berjalan tidak lebih dari 15 tahun. Apakah anda bisa membayangkan kalau ini terjadi sekarang..?? ketika orang Jawa, Minangkabau, Sunda, Batak, Aceh, Irian, Maluku dalam waktu 15 tahun tiba-tiba menghilangkan sistem kekerabatan mereka, lalu melebur dalam suatu sistem baru yang sama sekali berbeda..?? 

Kita tidak bisa menyatakan Al-Qur’an merupakan cerminan budaya Arab hanya dengan bersandarkan karena didalamnya memakai istilah dan terminologi yang sama dan telah ada dalam masyarakat. Kata ‘demokrasi’ juga dipakai oleh paham kapitalisme dan komunisme, bahkan Korea Utara yang komunis memberi judul negara mereka dengan Republik Demokratik Rakyat Korea, dan jangan mimpi sistemnya berbentuk sama dengan apa yang ada dalam gambaran orang Eropah. 

Masyarakat baru di Madinah juga memakai istilah ‘ukhuwah’ untuk menyatakan persaudaraan, merupakan kata yang sama persis seperti yang terdapat dalam perbendaharaan kata orang Arab, namun pengertiannya sudah berubah, kalau bangsa Arab mengartikan kata tersebut sebagai suatu sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan kabilah, maka Al-Qur’an menyebutnya untuk menunjukkan persaudaraan berdasarkan iman. Demikian pula kalau kita bicara soal aturan moral. Siapa bilang berjilbab merupakan budaya Arab yang diadopsi oleh Islam..?? Orang Arab tidak mengenal batasan aurat dalam bentuk jilbab, mereka malah punya ritual telanjang bulat berkeliling Ka’bah. Siapa bilang aturan waris merupakan nilai-nilai Arab yang diserap dalam hukum Islam..?? Aturan waris Islam menempatkan istri sebagai salah satu pihak yang berhak menerima waris, sedangkan dalam masyarakat Arab waktu itu si istri justru ditempatkan sebagai barang peninggalan yang boleh diwariskan kepada anak laki-laki. Pihak yang sinis bilang poligami merupakan aturan primitif orang-orang Arab, mana ada budaya Arab sebelumnya memberikan batasan untuk punya istri maksimum 4 orang..?? yang ada itu mereka boleh beristri ‘sekuat tenaga’ mereka tanpa batasan. Orang bilang aturan pidana Islam seperti qishash, rajam, potong tangan merupakan hukum bangsa Arab, ketika ditelusuri lebih jauh kebelakang, aturan tersebut malah sampai kepada aturan para nabi Yahudi yang diakui Islam sebagai nabi-nabi mereka juga. Aplikasi nilai-nilai ajaran Islam yang berasal dari Al-Qur’an ternyata memunculkan sistem masyarakat yang sama sekali baru, sangat berbeda dengan apa yang telah ada dan dijalani orang Arab selama ribuan tahun. Kalaulah Al-Qur’an memang merupakan hasil ‘sinkretisasi’ dengan budaya Arab, maka seharusnya masyarakat yang dihasilkan masih memperlihatkan corak yang sama dengan sebelumnya. 

Fakta ini menunjukkan, yang disebut interaksi antara Al-Qur'an dengan budaya Arab sebenarnya tidak ada. Yang terjadi adalah proses penyerapan yang berjalan satu arah, antara nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur'an mewarnai budaya Arab yang sudah ada waktu itu, mengkoreksi nilai yang bertentangan, bersifat meluruskan yang bengkok. Kalaupun ada nilai budaya Arab yang masih dipelihara, itu bukan berarti Al-Qur'an sudah 'kemasukan' budaya Arab, tetapi merupakan nilai-nilai yang ada dalam budaya Arab yang memang tidak dipermasalahkan oleh Al-Qur'an. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an memang suatu wahyu Allah yang murni, diturunkan kepada nabi Muhammad dalam bahasa kaumnya, bahasa yang dipakai dan dimengerti oleh orang-orang disekitarnya, untuk menyebarkan nilai-nilai yang yang diinginkan Allah agar diserap oleh bangsa Arab, agar mereka bisa hidup dalam jalan kebenaran Islam. 

Ketika nabi Muhammad SAW membentuk sistem kemasyarakatan di Madinah berdasarkan Al-Qur’an, maka kita tidak bisa lagi menyebut mereka sebagai ‘orang Arab yang beragama Islam’, tapi lebih tepatnya ‘Muslim yang berasal dari Arab’, karena hal yang membedakan mereka satu sama lain hanyalah soal garis keturunan darah yang memang tidak bisa dirobah, selain itu sama saja, mereka tidak lagi memakai sistem kekerabatan yang dulu, tidak memakai aturan perdagangan sebelumnya, tidak memakai hukum waris, pidana, sosial yang telah terjadi, tapi betul-betul berubah mempergunakan sistem yang berbeda. 

Sebenarnya kita juga bisa membuktikan hal ini pada lingkungan sekitar kita. Ketika mas Sastro dari Solo dan bang Poltak dari Tarutung bersikap sebagai seorang Muslim yang kaffah/menyeluruh, maka yang membedakan mereka tinggal soal keturunan darah, logat bicara, atau yang satu pakai blangkon yang lain pakai ulos. Selebihnya sama saja. Mereka punya pandangan yang sama ketika melihat Irshad Manji yang lesbian dan malah bangga dengan kelainannya tersebut sebagai suatu kemungkaran, atau Lady Gaga yang manggung pakai kutang dan celana dalam sebagai kemaksiatan, sudut pandang mereka pasti sama. Mas Satro bukan disebut ‘orang Jawa yang beragama Islam’ tapi dikatakan sebagai ‘Muslim yang berasal dari Jawa’, sama juga dengan bang Poltak yang tidak dikatakan merupakan ‘orang Batak yang beragama Islam’, melainkan sebagai seorang ‘Muslim yang berasal dari tanah Batak’, semuanya adalah Muslim, asalnya bisa dari mana saja, Jawa, Minang, Sunda, Batak, Irian, Arab, Cina, India, Afrika, Eropah, Mongol, Aborigin..


0 komentar: