Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.


Terdapat beberapa pendapat kalangan ulama Islam tentang status orang-orang yang tidak menentukan pilihannya dalam pemilu 2014 ini, baik sikap mereka dengan pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Sebagian bahkan memfatwakan haram hukumnya. Kelihatannya mengkaitkan persoalan ini dengan halal atau haram merupakan suatu yang terkesan agak berlebihan, karena ini lebih banyak berurusan dengan perbuatan dosa atau amal kebaikan. Sedangkan sikap tidak memilih dalam pemilu tidak bisa dilihat dari kacamata tersebut. 

Memilih ataupun tidak memilih bisa bernilai baik atau malah sebaliknya berdosa. Ketika anda menetapkan pilihan berdasarkan nepotisme atau iming-iming uang atau bahkan karena tidak peduli dengan akhlak orang yang dipilih, pokoknya dilandasi semangat kelompok, 'right or wrong, my party', itu bisa dinilai suatu dosa. Pada sisi yang lain, memutuskan tidak memilih karena tidak peduli atau masa bodoh padahal melihat adanya potensi yang membahayakan umat kalau hal tersebut dilakukan juga bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak pada tempatnya. 

Mungkin pemahaman yang lebih tepatnya adalah : ini merupakan kalkulasi dalam menilai manfaat atau mudhoratnya keputusan untuk menjadi golput atau ikut-serta dalam pemilu, dan karena berdasarkan pertimbangan seperti itu tentu saja penilaian akan bersifat subjektif tergantung sudut pandang kita dalam melihat permasalahannya. Bagi para ulama yang menyatakan golput adalah haram, mereka mungkin menetapkan bahwa sikap ini - dalam kondisi sekarang - dapat menimbulkan mudhorat dan bencana yang lebih besar bagi keselamatan umat, ketimbang ikut memilih sekalipun nanti bakalan kecewa karena ternyata si calon yang telah ditunjuk tersebut tidak amanah. 

Pada dasarnya tidak memilih atau golput juga merupakan suatu pilihan yang memiliki konsekuensi yang sama ketika kita memutuskan untuk memilih calon yang ada. Ikut mencoblos dalam pemilu mengandung resiko baik dan buruk, dikatakan baik kalau si calon tersebut bekerja sesuai amanah yang diberikan, dan disebut tidak baik kalau dia berkhianat. Sebaliknya tidak memilihpun mempunyai resiko yang buruk juga, gara-gara kita tidak memilih, maka yang terpilih justru orang-orang yang memiliki prinsip dan nilai bertentangan dengan apa yang kita anut. 




Jaringan TV kabel HBO Amerika Serikat (AS) menayangkan film dokumenter yang mengisahkan kehidupan umat Islam di AS. Film berjudul The Education of Muhammad Hussein ditayangkan pada Senin 7 Januari 2014 malam. Film tersebut menceritakan kehidupan Mohammad Hussein (10 tahun) seorang siswa Muslim di kota Detroit yang menerima perlakuan diskriminasi oleh teman-teman di sekolahnya. ”Mereka mengatakan Muslim itu sebagaimana Mohammed Hussein, seorang siswa di Al-Ikhlas Training Academy kotor dan teroris,” tulis Detroit Free Press. Hussain menceritakan perasaan yang ditanggungnya selama ini. Ia getir dengan perlakuan terhadap komunitas Islam. Sejumlah orang di Detroit tak menerima kehadiran Muslim. Dalam adegan lain orang-orang itu mengatakan ” Mereka dapat meledakkan barang-barang kami , tapi kami tidak dapat membakar kitab suci mereka?” 

Bagian dari umat islam yang paling merasakan perlakuan buruk karena keyakinan mereka adalah kaum wanita. Mungkin ini disebabkan oleh beberapa hal : (1) Wanita memang kaum yang dianggap lemah dan tidak akan mampu melakukan pembalasan ketika mendapat perlakuan tidak menyenangkan (2) Wanita Muslim mudah dilihat ciri-cirinya yang membedakan mereka dengan wanita non-Muslim karena memakai jilbab dan burqa. Pada tahun 2006 - 2009 setidaknya ini dialami enam perempuan Muslim Jack Straw, dari Kejaksaan Tinggi, mengatakan bahwa ia meminta perempuan Muslim yang mengunjungi konstituensi di Blackburn untuk membuka jilbab mereka. Dalam satu insiden seorang perempuan Muslim berusia 20-an ditarik lepas jilbabnya dan dilemparkan ke tanah oleh seorang pria kulit putih sementara ia berada di stasiun Tube Canning Town di timur London. Serangan terjadi pada hari yang sama ketika seorang cadar perempuan Muslim dilepaskan dengan paksa dari wajahnya oleh seorang pria kulit putih yang mengucapkan kata-kata bermuatan pelecehan rasial saat ia menunggu di bus-stop di distrik Liverpool's Toxteth. Bahkan wanita muslimah ada yang sampai terbunuh ketika Marwa el-Sarbini, seorang keturunan Mesir yang ditikam berkali-kali oleh seorang kafir yang telah melakukan pelecehan sebelumnya dengan menarik lepas jilbab yang dikenakannya. Berita-berita ini -sekalipun sering dimuat - hilang bak angin lalu, diganti dan ditutupi dengan lontaran tuduhan yang menyebutkan Islam adalah agama kekerasan. 




Ini sebuah cerita tentang penulis Islam terkenal, Muhammad Asad (sebelumnya bernama Leopold Weiss - seorang Yahudi keturunan Austria-Hongaria) yang baru saja masuk Islam, lalu melakukan perjalanan ke Timur Tengah dengan sebuah kapal laut. Diatas kapal itu dia berkenalan dengan serombongan orang Yaman.. 

"Diantara orang-orang Yaman yang ada di kapal tersebut, ada seorang yang bertubuh pendek, kurus dan memiliki hidung seperti elang yang membuat wajahnya terlihat sangar, tapi gerakannya sangat tenang dan terukur. Ketika dia mengetahui bahwa saya adalah seorang mualaf, dia menunjukkan perhatian yang sangat khusus kepada saya. Untuk beberapa waktu kami duduk bersama diatas dek kapal sementara dia berbicara tentang kampungnya di daerah pegunungan di Yaman, namanya : Muhammad Saleh. 

Pada suatu malam, saya mengunjungi tempatnya yang berada di dek paling bawah, salah seorang temannya terbaring sakit, tergeletak pada sebuah tempat tidur besi. Dan saya di beritahu oleh mereka ternyata dokter kapal enggan untuk datang ketempat mereka. Kelihatannya temannya tersebut terserang malaria. Lalu saya memberinya beberapa butir pil kina. Sementara saya sedang sibuk dengan si sakit, orang-orang Yaman tersebut berkumpul di sudut lain berkeliling mengitari Muhammad Saleh dan sambil sesekali melirik kepada saya, Muhammad Saleh memberikan penjelasan kepada rekan-rekannya. Pada akhirnya salah seorang dari mereka maju mendekati saya -seorang pria tinggi dengan wajah berwarna zaitun coklat dan mata yang hitam dan tajam, dan dia menyodorkan seikat uang kertas Franc yang kusut lalu berkata :"Kami tadi telah mengumpulkan ini., sayangnya tidak begitu banyak, terimalah ini sebagai tanda penghargaan dari kami..". 

Saya melangkah mundur, kaget, dan menjelaskan bahwa bukan karena uang tersebut saya bersedia menolong temannya yang sakit. Orang yaman tersebut menjawab :"Tidak..tidak.., kami tahu itu, tapi terimalah uang ini, ini bukan bayaran melainkan hadiah dari saudara-saudara anda. Kami sangat bahagia melihat anda, oleh karena itu kami bermaksud memberi anda uang ini, anda adalah seorang Muslim dan saudara kami, anda bahkan lebih baik daripada kami semua, karena kami ini terlahir sebagai Muslim, nenek moyang kami adalah Muslim, namun anda menerima Islam dengan hatimu sendiri. Terimalah uang ini saudaraku, demi Rasulullah..". 



Katakanlah anda sebagai orang-tua menginginkan anak anda yang masih SD berprestasi di sekolah, lalu anda mengatakan :"Nak.., kalau kamu bisa jadi juara tahun ini, ayah akan membelikan kamu lukisan asli karya Rembrandt yang harganya milyaran, untuk kamu pasang di dinding kamarmu..". Pertanyaannya : apakah iming-iming hadiah anda tersebut akan memacu si anak untuk berusaha menjadi juara..? Lukisan Rembrandt mungkin bernilai mahal, namun seorang anak SD lebih suka diberi hadiah Play Station keluaran terbaru, atau gadget paling mutakhir yang harganya jauh lebih murah, karena kebutuhan dan keinginan anak SD bukanlah sebuah lukisan mahal. 

Apakah untuk melatih seekor harimau peliharaan anda supaya bisa main sirkus, anda lalu mengiming-iminginya dengan seikat rumput disaat harimau tersebut berhasil menjalankan perintah..?? atau seekor lumba-lumba yang anda latih akan anda berikan handphone karena dia berhasil melakukan atraksi sesuai keinginan..?? Anda dipastikan sudah salah kaprah menilai keinginan dan kebutuhan hewan peliharaan anda kalau melakukan hal tersebut.. 

Janji surga juga demikian.... 

Ketika Tuhan menciptakan manusia, lalu menginginkan mereka untuk menjalani hidup dalam kepatuhan dan ketaatan kepada perintah dan larangan, janji surga seperti apa yang akan 'diiming-imingi'-Nya agar manusia bisa terdorong untuk mengikutinya..? Sebagai pencipta manusia, Tuhan tentu saja mengetahui apa yang ada dalam diri manusia, menyangkut kebutuhan dan obsesi manusia tersebut, karena Dia telah mendesainnya berdasarkan ilmu-Nya. Bahkan dipastikan Tuhan jauh lebih mengetahui manusia melebihi pemahaman manusia tersebut terhadap dirinya sendiri. Tuhan menciptakan kita lengkap dengan nafsu dan keinginan, lalu bagaimana mungkin ketika Dia menjanjikan surga, lalu Tuhan mengatakan :"Aku akan menjadikan kamu hidup seperti malaikat yang tidak punya keinginan lagi..". Siapakah manusia - yang sudah menjalani hidup lengkap dengan keinginan dan bisa merasakan nikmatnya ketika keinginan tersebut terpenuhi - merasa tertarik untuk hidup menjadi malaikat..?. Siapakah manusia yang selama ini bisa merasakan kenikmatan hubungan seksual akan terpesona ketika dijanjikan nanti tidak akan lagi punya keinginan tersebut, tidak kawin dan dikawinkan..? Kecuali kalau berhubungan seksual bukan sesuatu hal yang nikmat bagi manusia, tapi lebih berbentuk sebagai siksaan, maka janji 'tidak kawin dan dikawinkan' bisa dikatakan sebagai sesuatu yang didambakan. Kita bisa mengatakan bahwa Tuhan telah salah memberikan janji, seolah-olah Dia tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan dan harapan hamba-Nya. 



Disebutkan dalam peristiwa sejarah bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pada sebagian peperangan terluka karena terkena anak panah. Anak panah itu menghujam hingga menyentuh tulangnya. Meski telah diusahakan untuk mencabut anak panah tersebut namun tidak kunjung berhasil. Orang-orang berkata, “Hanya tatkala daging dan kulitnya dicabut dan tulang dipatahkan, anak panah tersebut akan dapat dicabut.” Para sahabat berkata, “Apabila demikian adanya, kita harus bersabar hingga tiba waktu shalat karena tatkala menunaikan shalat sedemikian larut dalam shalat sehingga beliau tidak tahu-menahu tentang kondisi di sekelilingnya.” Mereka pun bersabar menantikan hingga beliau menunaikan shalat. Setelah beliau menunaikan shalat dan mengerjakan sunnah-sunnah shalat, beliau mulai mengerjakan shalat-shalat sunnah. Tabib datang, menarik daging, mematahkan tulang dan mencabut anak panah tersebut dan Ali masih tetap khusyu' mengerjakan shalat. Tatkala beliau memberikan salam, beliau berkata, “Sekarang lukaku agak ringan.” Orang-orang berkata, “Anda telah menjalani pengobatan sementara Anda tidak mengetahuinya.” Imam Ali berkata, “Pada waktu itu, aku tengah bermunajat kepada Allah Swt, sekiranya dunia terbalik atau orang-orang memukulkan paku dan tombak maka hal itu tidak akan mengusik munajatku kepada Allah Swt.” (diadaptasi dari Tafsir Kasyf al-Asrar Maibad, tercantum juga dalam beberapa buku : rsyad al-Qulub Dailami, al-Anwar al-Nu’maniyah, al-Manaqib al-Murtadhawiyah, Hilyat al-Abrar, Muntaha al-Amal, al-Mahajjat al-Baidha demikian juga pada buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqa) 

Entah cerita tersebut benar atau tidak, karena tidak terdapat pada kitab-kitab hadits derajat pertama seperti : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dll. namun barangkali ini untuk menunjukkan bagaimana konsentrasinya Ali bin Abi Thalib ketika melakukan shalat sehingga bisa melupakan keadaan yang terjadi disekitarnya. Ini mungkin dianalogikan ketika kita asyik dengan suatu pekerjaan, lalu kita sampai lupa makan atau beristirahat. 

Seorang teman pernah bergurau tentang kisah ini, dia berkata ;"Saya juga pernah melakukan shalat seperti itu, memfokuskan diri melupakan apapun yang ada disekeliling, hanya ada diri dengan Allah, berdialog berdua saja diruang hampa. Saking konsentrasinya, saya malah lupa sudah sampai rakaat berapa...". 

Apa yang dimaksud shalat khusyu'..?? bagaimana kita bisa memastikan kalau shalat yang kita lakukan sudah mencapai tingkatan khusyu' atau setengah khusyu' atau sama sekali belum khusyu'..? Para 'ahli' shalat sampai perlu untuk membuat pelatihan soal ini, bahkan harus membayar biaya sekian juta 'untuk mengganti sewa ruangan pelatihan'. Pelatihan tersebut bertujuan untuk 'menghadirkan Allah dihadapan kita', begitu kira-kira bahasanya. Entah bagaimana hasilnya, saya tidak tahu.. 




Pernahkah anda sekali waktu mencoba melakukan 'diet ketat' terhadap akhlak anda dalam akitifitas sehari-hari, katakanlah hanya untuk 1 hari saja anda 'memaksa' diri untuk 100% menjadi hamba Allah yang taat. Dalam sehari tersebut anda selalu tersenyum ketika menghadapi sikap atau peristiwa yang tidak menyenangkan, menyatakan kepada diri sendiri bahwa itu adalah ujian dari Allah, atau keberuntungan sebagai faktor penghapus dosa, menghindar ketika ada pandangan yang bisa mengundang syahwat baik di televisi maupun di dunia nyata, memakan makanan dengan rasa syukur atas karunia yang diberikan Allah, mengucapkan perkataan yang menyenangkan orang lain, banyak membantu meringankan beban orang disekitar, tidak berlaku curang disaat ada kesempatan, beribadah dengan 'kualitas terbaik' semisal shalat berjamaah ke masjid, sedang melakukan puasa sunnah Senin-Kamis, bahkan juga tidur dengan terlebih dahulu meminta ampunan atas dosa-dosa yang mungkin dilakukan siang harinya. Pokoknya anda merasa ketika sudah mulai terbaring untuk beristirahat, ada keyakinan selama sehari penuh anda telah berusaha keras mendisiplinkan diri untuk menjadi hamba Allah yang saleh, dan sebaliknya percaya bahwa sedikit sekali berbuat sesuatu yang tidak disukai Allah, kalaupun ada maka anda sudah cepat-cepat beristighfar dan mohon ampunan-Nya.

Lalu pada dua pertiga malam anda bangun untuk melakukan shalat tahajud.. 

Barangkali disaat itulah kita bisa merasakan Allah itu sangat dekat, seolah-olah membayangkan Dia 'tersenyum' menerima kita bersujud pada saat orang-orang lain tertidur, berimajinasi tentang Tuhan yang sedang membangga-banggakan hamba-Nya kepada para malaikat, seakan-akan Allah berkata kepada kita : "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya..." (Al-Fajr 27-28) 

Pada saat lain anda mungkin melakukan hal yang sebaliknya. Seharian berbuat tidak baik, lepas kontrol dalam berucap, mata 'dibiarkan' untuk menikmati pemandangan yang mengundang syahwat, berbohong, memelihara kedengkian dan iri hati kepada orang lain dan tidak berusaha untuk beristighfar, banyak membuang-buang waktu, membelanjakan uang untuk sesuatu yang tidak berguna dan mubazir. Katakanlah anda tetap menjalankan ritual ibadah wajib seperti shalat 5 waktu namun dengan hati yang terpaksa. Lalu dimalam hari anda kelelahan dan tertidur. 

Dan anda bangun pada dua pertiga malam untuk melakukan shalat tahajud... Apakah kita masih 'ge-er' berimajinasi kalau disaat itu Allah masih 'tersenyum'..? apakah ada dalam bayangan anda Dia membangga-banggakan anda dihadapan para malaikat..? membuka 'tangan-Nya' menyambut hamba yang terbaik..? 



Ada ungkapan yang sering sekali kita dengar yang berasal dari seorang kafir ketika bicara tentang takdir :"Sebelum semuanya terjadi Tuhan sudah menetapkan takdirnya, maka sikap saya yang tidak percaya kepada Tuhan jelas merupakan ketetapan-Nya juga. Lalu mengapa harus saya yang disalahkan dan dihukum kalau Dia memang sudah menetapkan saya menjadi orang kafir..?". 

Ketika melontarkan 'pembelaan diri' agar orang ini tetap bisa melanjutkan hidup dalam kekafirannya dan menyalahkan takdir - artinya menyalahkan Allah - atas pilihan hidup yang sedang dijalaninya, sebenarnya sudah terjadi kesalah-pahaman dalam melihat takdir. Awal mula takdir adalah menyatu dengan iradah/kehendak Allah, berada dalam ilmu Allah, artinya bersemayam dalam 'kecerdasan' Allah dan menyatu dengan eksistensi Allah. Islam mengajarkan bahwa kehendak Allah tersebut dicantumkan dalam suatu kitab yang dinamakan Lauh Mahfudz, suatu kitab yang mencatat semua peristiwa yang terjadi di alam semesta dari dulu, sekarang dan masa yang akan datang, Al-Qur'an menyatakan : "dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering.." (QS 6:59), dan dari sana mengalir menuju alam kehidupan semua makhluk. Bagaimana bentuk catatan yang ada dalam Lauh Mahfudz kita juga tidak tahu persis, apakah dalam bentuk tulisan seperti halnya kalimat dan sebuah buku, atau berbentuk program aplikasi yang memiliki rumus logika 'jika A maka B' lalu melakukan interaksi dengan proses kehidupan. Yang pasti keberadaan lauh Mahfudz tersebut sangat dekat dan 'menempel' dengan alam semesta, makanya diistilahkan sebagai suatu 'blueprint' yang nyata. 

Bisa dilihat bahwa takdir merupakan suatu proses yang bergerak dinamis dan bukan bersifat statis. Kita bisa mengibaratkan bahwa takdir itu seperti sebuah film dan bukan merupakan potret, sekalipun ketika 'dipreteli', suatu gulungan film sebenarnya merupakan rangkaian potret yang diputar secara cepat dan menghasilkan gambar yang bergerak. Pernyataan orang kafir tentang takdir Allah tersebut merupakan suatu kesalahan ketika memperlakukan sebuah film seperti melihat potret, ini menjadi kesalahannya yang pertama.