Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Ada ungkapan yang sering sekali kita dengar yang berasal dari seorang kafir ketika bicara tentang takdir :"Sebelum semuanya terjadi Tuhan sudah menetapkan takdirnya, maka sikap saya yang tidak percaya kepada Tuhan jelas merupakan ketetapan-Nya juga. Lalu mengapa harus saya yang disalahkan dan dihukum kalau Dia memang sudah menetapkan saya menjadi orang kafir..?". 

Ketika melontarkan 'pembelaan diri' agar orang ini tetap bisa melanjutkan hidup dalam kekafirannya dan menyalahkan takdir - artinya menyalahkan Allah - atas pilihan hidup yang sedang dijalaninya, sebenarnya sudah terjadi kesalah-pahaman dalam melihat takdir. Awal mula takdir adalah menyatu dengan iradah/kehendak Allah, berada dalam ilmu Allah, artinya bersemayam dalam 'kecerdasan' Allah dan menyatu dengan eksistensi Allah. Islam mengajarkan bahwa kehendak Allah tersebut dicantumkan dalam suatu kitab yang dinamakan Lauh Mahfudz, suatu kitab yang mencatat semua peristiwa yang terjadi di alam semesta dari dulu, sekarang dan masa yang akan datang, Al-Qur'an menyatakan : "dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering.." (QS 6:59), dan dari sana mengalir menuju alam kehidupan semua makhluk. Bagaimana bentuk catatan yang ada dalam Lauh Mahfudz kita juga tidak tahu persis, apakah dalam bentuk tulisan seperti halnya kalimat dan sebuah buku, atau berbentuk program aplikasi yang memiliki rumus logika 'jika A maka B' lalu melakukan interaksi dengan proses kehidupan. Yang pasti keberadaan lauh Mahfudz tersebut sangat dekat dan 'menempel' dengan alam semesta, makanya diistilahkan sebagai suatu 'blueprint' yang nyata. 

Bisa dilihat bahwa takdir merupakan suatu proses yang bergerak dinamis dan bukan bersifat statis. Kita bisa mengibaratkan bahwa takdir itu seperti sebuah film dan bukan merupakan potret, sekalipun ketika 'dipreteli', suatu gulungan film sebenarnya merupakan rangkaian potret yang diputar secara cepat dan menghasilkan gambar yang bergerak. Pernyataan orang kafir tentang takdir Allah tersebut merupakan suatu kesalahan ketika memperlakukan sebuah film seperti melihat potret, ini menjadi kesalahannya yang pertama. 


Para ulama kemudian merumuskan takdir yang berproses tersebut menjadi 'qadha' dan 'qadar', dengan definisi sederhananya : "Qadar adalah ketentuan Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi". Disini bisa dilihat bahwa sebenarnya objeknya itu-itu juga, ketetapan yang dibuat Allah itu-itu juga dan perbedaannya terletak pada saat apa kita 'memotret' objek tersebut. Para ulama mengambil sebuah film dan mereka lalu 'mempreteli' proses takdir tersebut, mengambil potret dari bagian-bagiannya lalu memberikan rumusan. Dari alur proses takdir, kita bisa menyimpulkan bahwa ketika takdir tersebut disebut sebagai 'qadar' maka itu menjadi domain dari Tuhan, berada dalam kehendak Tuhan dan bersatu dalam 'kecerdasan'-Nya. Umat Islam memiliki tuntunan kalau sudah berbicara soal ini, mereka disuruh untuk beriman terhadap keberadaan/eksistensi, dan dilarang untuk memikirkan bagaimana 'cara kerja', atau beriman kepada 'what' dan jangan bertanya 'how'. Kita diberi kebebasan untuk memikirkan takdir tersebut ketika sudah masuk dalam tatanan kehidupan, ulama mengistilahkan dengan 'qadha' atau yang sering disebut 'nasib'. Ketika menjalani proses sebagai 'qadha' inilah lalu terjadi interaksi antara kehendak Allah dengan usaha kita sebagai manusia yang menjadi objek dari takdir tersebut. Kesalahan kedua si kafir yang memberikan pernyataan diatas adalah mengambil 'qadar' lalu memperlakukannya sebagai 'qadha'. 

Sebagai pihak yang terlibat dan menjadi objek dari proses takdir, seharusnya manusia hanya membatasi diri untuk berpikir tentang apa yang bisa dilakukannya untuk 'berperan' dalam sebuah film yang sudah ditetapkan Allah, bukan malah sibuk untuk memikirkan apa yang ada dalam 'kecerdasan' Allah yang sudah pasti tidak akan sanggup untuk dipikirkan. 

Ada satu ayat yang sangat populer dalam Al-Qur'an ketika menjelaskan tentang hubungan takdir dengan perubahan kehidupan manusia : 

inna allaaha laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi-anfusihim wa-idzaa araada allaahu biqawmin suu-an falaa maradda lahu wamaa lahum min duunihi min waalin. 

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Ar-Ra'd: 11) 

Menarik untuk dilihat dalam bahasa aslinya, ternyata ayat tersebut sama sekali tidak memakai kata 'qadar' atau 'qadha'. Kata 'keadaan' pada ayat tersebut berasal dari bahasa aslinya dalam bentuk kata sambung 'maa' - apa, untuk menghubungkan kata 'yughayyiruu' - merubah, dengan kata 'biqawmin' - pada suatu kaum. Kata pertama ada pada domain Ketuhanan yang tidak bisa dipikirkan bagaimana cara kerjanya, apa maksudnya merubah, apanya yang berubah dan bagaimana cara kerja perubahannya, sedangkan ketika perubahan tersebut 'berpindah prosesnya' dan bergerak dalam suatu kaum, itulah yang kemudian dijadikan objek berpikir. Ayat selanjutnya menimbulkan pertanyaan :"Mengapa Allah memberikan peringatan dalam bentuk negatifnya 'apabila Allah menghendaki keburukan', mengapa tidak berupa hal positifnya..?? misalnya 'Apabila Allah menghendaki kebaikan', atau supaya seimbang, mencantumkan dua-duanya. Kalau kita pakai dalam bahasa sehari-hari, ayat tersebut ibarat berbunyi :"Urus saja dirimu sendiri dan tidak usah pikirin apa yang saya lakukan, kalau saya mau bikin kamu sengsara, maka kamu pasti sengsara sekarang juga..". Ini adalah suatu peringatan 'tersembunyi' bahwa dalam soal kehendak yang ada dalam diri Allah, kita tidak usah meributkannya, pikirkan saja bagaimana caranya kita berusaha agar kehendak-Nya tersebut bisa dalam bentuk yang positif bagi hidup kita. 

Makanya dalam catatan hadits, ada beberapa kejadian yang memperlihatkan Rasulullah marah dan mengecam ketika sahabat mempertanyakan soal takdir yang ada dalam kehendak Allah ini : 

Musnad Ahmad 6381: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu Hind dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata; Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam pernah keluar rumah dan orang-orang saat itu sedang membicarakan masalah qodar. Dia berkata; dan seakan-akan pada wajah beliau Shallallahu 'alaihi wa Salam terdapat merahnya buah delima karena marah. Lalu beliau berkata kepada mereka: "Kenapa kalian membenturkan sebagian ketentuan Allah dengan sebagian yang lain? Dengan permasalahan inilah orang-orang sebelum menemui kebinasaan." … 

Khalifah Umar bin Khattab ketika mengadili seorang pencuri juga sangat marah mendengar si terdakwa tersebut melakukan pembelaan :"Saya mencuri karena memang sudah ditakdirkan Allah..", Alih-alih memberikan kebebasan, si pencurinya malah diperberat hukumannya, satu kesalahan karena mencuri, kesalahan yang lain karena telah menghina Allah. 

Maka terkait dengan pembelaan diri seorang kafir yang menyatakan dia menjadi kafir karena sudah ditakdirkan Allah, Al-Qur'an telah 'menyiapkan' jawaban yang 'telak' dan akan membungkam pernyataan tersebut : 

Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. (Az-Zumar: 71) 

Jadi kalau anda kafir dan masih berusaha untuk mempertahankan kekafiran anda, jawaban dari pertanyaan anda sudah disampaikan Allah sekarang juga dalam bentuk pertanyaan balik :"Apakah anda sudah menerima petunjuk Allah berupa Al-Qur'an dan hadist agar anda bisa keluar dari kekafiran..? apakah sudah ada saudara-saudara anda yang Muslim datang untuk membacakan ayat-ayat tersebut kepada anda..?". Apapun yang anda alami kelak memang sudah merupakan kehendak yang ada dalam ilmu dan 'kecerdasan' Allah, dan itu tidak perlu anda pikirkan, sekarang ini pikirkanlah kehendak Allah yang sampai kepada anda, dan anda tinggal membuat pilihan. Alangkah malangnya kalau anda bersikeras menunggu pertanyaan balik tersebut disampaikan oleh para penjaga neraka nanti diakhirat..


0 komentar: