Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Berdasarkan hitung-hitungan, pergantian bulan dalam kalender Hijriyah terjadi ketika posisi bulan sudah berada diatas cakrawala. Penyusunan kalender selama satu tahun juga berdasarkan hal ini, sebab jika kalender disusun berdasarkan ru’yah (melihat bulan secara langsung) maka umat Islam tidak akan bisa menyusun penanggalan dalam periode setahun, tiap akhir bulan harus terlebih dahulu melakukan ru’yah, lalu awal bulan berikutnya ditetapkan setelah sang bulan bisa dilihat dengan mata telanjang. Kalau cara ini yang dipakai tentu bisa bikin repot, orang akan bingung kapan ngasih gaji, kalau pembayaran didasari perhitungan tahun Hijriyah. Harus menunggu sampai ‘last minute’, jangan-jangan malah keputusannya harus pakai ‘injury time’, bisa manyun para pegawai yang sudah berharap memperoleh gaji lebih cepat. 

Masalahnya makin pelik ketika soal ini dikaitkan dengan aturan beribadah, terutama untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Ada yang ketakutan karena Rasulullah menyatakan haram hukumnya masih berpuasa di Hari Raya, tapi dilain pihak juga ketakutan kalau tidak berpuasa di bulan yang masih Ramadhan. Mungkin inilah yang menyebabkan masing-masing pihak yang berbeda dalam penentuan peralihan bulan ini ngotot untuk mempertahankan pendapatnya, khususnya dalam kasus penetapan awal dan akhir Ramadhan, dan tidak pada bulan-bulan lainnya. Buktinya bisa kita lihat, mana ada umat Islam ribut tentang pergantian bulan Rabiul Awal kepada Rabiul Akhir..?? atau Muharram ke Syafar..? sekalipun ini juga penting untuk sementara ‘muslim koplo’ untuk menerapkan ilmu ‘gathuk-gathuk’ terkait hari pernikahan, yang menyatakan tidak baik melangsungkan pernikahan di bulan Syafar karena bersamaan dengan musim anjing kawin. Sorry, ini cuma guyonan, namun intinya memang tidak ada orang yang ribut soal pergantian bulan tersebut. 


 
Sekarang lagi musim munculnya ‘intelektual muda’, biasanya mereka mencantelkan diri kepada ormas Islam yang mempunyai citra sebagai organisasi yang diisi dan diurus oleh ‘orang-orang tua’ yang sudah mapan, baik dalam pemikiran maupun dalam status sosial di masyarakat. Maka kita akan sering menemukan seseorang disebut sebagai : intelektual muda NU, intelektual muda Muhammadiyah, mungkin besok lusa akan bermunculan orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai intelektual muda FPI, FBR, Pemuda Pancasila, atau juga yang berorientasi kepada daerah asal : intelektual muda Batak, intelektual muda Urang Awak, intelektual muda Ambon. Kita juga tidak tahu siapa sebenarnya yang menyematkan status sebagai intelektual muda, apakah diri mereka sendiri, atau orang lain. Tidak juga jelas apa kriteria seseorang bisa dikatakan termasuk kategori intelektual muda, berapa batas usianya, hasil karya apa yang bisa dijadikan patokan. 

Yang pasti kiprah intelektual muda ini bermacam-macam, namun pada umumnya kelakuan mereka terkesan cukup progresif dan ‘berani tampil beda’, maka hasil pemikiran mereka banyak bersinggungan dengan kaum liberal. Dikatakan munculnya gejala intelektual muda ini disebabkan beberapa anak-anak muda yang berorientasi kepada ormas Islam tertentu seperti NU dan Muhammadiyah merasa gelisah menghadapi isu-isu yang muncul disekitar mereka, sedangkan konsep-konsep yang diwarisi dari generasi tua dalam organisasi tersebut sudah ketinggalan jaman, dan dianggap tidak mampu lagi meresponse permasalahan yang muncul. Namun disisi lain, menurut saya, ini juga terkait dengan ‘marketing strategy’, agar bisa muncul dan dikenal masyarakat, lalu menampilkan sosok diri yang memancing perhatian, melawan arus pemikiran ‘mainstream’. Kalau kicauan yang dikeluarkan tidak ada bedanya dengan apa yang selama ini disampaikan orang, bisa jadi tidak bakalan ada yang menggubris atau mengundang masuk televisi. 



Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. (al-Mu’minun 102-103) 

Al-Qur’an mengajarkan kita bahwa kelak di akhirat segala amal kebaikan yang dilakukan atas dasar keimanan kepada Allah akan ditimbang dengan keburukan dan dosa yang dikerjakan di dunia. Ketika amal kebaikan tersebut ternyata lebih berat dibandingkan kejahatan dan dosa, maka kita dikatakan sebagai orang yang beruntung karena kebaikan yang banyak tersebut menutupi dosa, istilahnya : masih ada surplus pahala. 

Namun kenyataannya, kita tidak gampang untuk menghitung-hitung berapa sebenarnya jumlah pahala yang telah kita tabung, sebaliknya juga tidak mudah untuk mengkalkulasi berapa banyak dosa yang telah kita lakukan, yang akan kita bawa disaat kita mati kelak. Sebagai satu contoh sederhana, katakanlah mulai minggu depan anda melakukan puasa Ramadhan. Allah mengatakan bahwa pahala berpuasa menjadi urusan-Nya, dialah yang akan memberikan penilaian terhadap puasa yang kita lakukan. Lalu sejauh mana anda bisa yakin kalau puasa tersebut diterima oleh Allah dengan sempurna..? bagaimana kalau hanya limapuluh persennya saja..? atau bahkan sama sekali tidak diterima. Rasulullah mengingatkan kita. 

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa ini shohih ligoirihi -yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya-) 



Setiap datangnya bulan Ramadhan, kenangan selalu kembali kemasa kecil ketika saya masih tinggal disuatu kota di Sumatera Barat dengan masyarakat yang relatif homogen, hampir semuanya memeluk Islam. Makanya suasana Ramadhan sangat terasa. Siang hari terlihat hampir semua orang yang berada di jalanan bersikap lebih ‘adem’ dibandingkan saat-saat diluar bulan puasa. Dalam ‘pandangan bathin’ kesan yang ditimbulkan adalah : lebih tenang dan lebih pelan. Hampir semua warung dan restoran tutup dan mereka merubah waktu membuka dagangan, biasanya mulai dari sore sampai waktu sahur. Kehidupan bergeser ke malam hari. Memang terdapat beberapa warung yang tetap buka menerima pengunjung, biasanya tidak dilakukan terang-terangan dan ditutup kain, alasan mereka :”Untuk pihak non-Muslim yang tidak menjalankan puasa”, namun saya sering menemukan beberapa teman-teman Muslim yang keluar dari warung tersebut dengan mulut berminyak. Kami biasa menyebut mereka ‘cina hitam’, karena umumnya non-Muslim yang ada dikota tersebut berasal dari etnis Cina. Ada juga beberapa teman yang menjalankan ritual puasa dengan mengeluarkan ‘fatwa’ sendiri, menyatakan ikut berpuasa makan dan minum, tapi tidak untuk merokok, katanya karena merokok tidak mengenyangkan, tapi merokok tidak dilakukan terang-terangan. Pada umumnya suasana Ramadhan memang sangat terasa. 

Lain lagi ketika saya pindah ke Bandung dan Jakarta, atau juga di kota-kota besar lainnya. Tidak ada bedanya suasana dibulan Ramadhan dengan bukan Ramadhan. Gerak kehidupan masyarakat tidak berubah, tetap ‘grasa-grusu’ sibuk mencari nafkah, warung-warung buka seperti biasa, tukang jualan cendol dan gorengan masih ‘pada posisi semula’, padahal mereka juga umat Islam, dan pembelinya juga umat Islam. Tidak ada rasa malu untuk menyatakan diri tidak berpuasa lalu memamerkan makan-makan di depan umum. Pergilah ke mall…, sama sekali tidak ada perubahan. Serombongan orang yang lagi istirahat siang di kantor bergerombol makan dan ngobrol di teras café dan restoran, tidak mungkin semuanya non-Muslim yang tidak ikutan menjalankan ibadah puasa. Orang bilang ini buah dari liberalisme dan sekularisme, urusan puasa menjadi urusan hak asasi masing-masing. 


 
Pertanyaan sering diajukan tentang model pakaian dan atribut laki-laki yang mewakili nilai-nilai Islam :”Pakaian seperti apa yang bisa dikatakan sebagai pakaian Muslim..??”. Sebagian memakai ghamis Arab lengkap dengan ‘keffiyeh’ menutup kepala, lalu mereka merasakan diri sudah memakai pakaian Muslim. Yang lain pakai baju Yaman atau model mujahidin Afganistan, lalu menganggap itulah pakaian ‘ala’ Islam. Ada lagi yang pakai baju Pakistani, atau model baju Maroko yang sering dipakai oleh ustadz Jeffry (Uje), itu juga dikatakan model yang Islami. Yang ‘made in dalam negeri’ juga tidak ketinggalan, baju koko lengkap dengan sarung dan kopiah, bisa berwarna hitam atau putih., padahal baju koko sejatinya berasal dari Cina, sama sekali tidak ada urusannya dengan Islam. Bahkan saya pernah menemukan pakaian Islam kombinasi baju ghamis dengan sarung dan kopiah di kepala, saya sampai meledek dengan menjulukinya model ‘nuwahabi’ alias campuran gaya nahdiyin dengan wahabi. Kalau dalam pernak-pernik ajaran kedua kelompok ini sering berseberangan, ternyata dalam model pakaian malah bisa akur. 

Semua model pakaian tersebut dalam batas-batas tertentu dianggap masyarakat umum mewakili cara berpakaian yang Islami, sekalipun tidak tepat. Orang Arab memakai baju ghamis karena baju tersebut memang merupakan produk budaya Arab, jadi Arab Muslim, Kristen, bahkan atheis sekalipun pakai baju tersebut. Karena merupakan baju orang Arab, maka semua lapisan masyarakat Arab menjadikan ghamis sebagai baju mereka, tidak peduli ulama, pejabat, tukang copet, pemerkosa, semuanya akan mengatakan ghamis adalah baju mereka. Namun di Indonesia dan mungkin juga di beberapa negara non-Arab, ghamis sudah kadung dilekatkan dengan Islam, mungkin karena persepsi yang muncul dalam masyarakat kita Islam adalah Arab, maka model pakaian mereka juga ikut-ikutan memuat nilai Islam. ‘Keffiyeh’ buat sementara orang dianggap mewakili gaya pejuang Palestina, dan karena Palestina, maka itu adalah simbol Islam, padahal duta besar palestina di Indonesia, Fariz Mehdawi, pernah menyatakan 50% penduduk Palestina sebenarnya adalah orang Yahudi. Namun ini juga tidak masalah, persepsi masyarakat umum di Indonesia tersebut sudah melekatkan nilai Islami terhadap baju ghamis atau keffiyeh, maka seseorang yang mengenakannya pasti punya niat untuk menunjukkan diri sebagai seorang Muslim. Demikian juga dengan baju model lain, mulai dari Pakistani, Maroko, sampai ke baju koko, sarung dan kopiah. Sepanjang di wilayah tersebut hidup persepsi yang sama tentang model suatu pakaian dan terkait dengan nilai Islam, maka si pemakainya akan dikatakan berusaha menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim. 



Dalam perdebatan lintas agama, khususnya antara Islam dan Kristen, sering kita jumpai salah satu pihak mengutip ayat-ayat pada kitab suci pihak lain untuk membenarkan ajarannya, baik bagi pihak Muslim terhadap alkitab, maupun pihak Kristen terhadap Al-Qur’an. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan salah satu topik ‘favorit’ dari Kristen tentang adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukung tentang ketuhanan Yesus. Saya berharap bahwa apa yang saya sampaikan tidak ditanggapi dengan ‘kepala panas’ karena sebagai seorang Muslim, saya merasa punya hak untuk memberikan pembelaan iman, selain berguna untuk menjelaskan kepada pihak Kristen yang mungkin merasa benar tentang hal ini, maupun kepada sesama umat Islam yang bertanya-tanya. Apalagi topik ini sering diulang-ulang dalam berbagai forum debat, sekalipun sudah dijawab tapi tetap saja diulang kembali pada kesempatan yang lain. Saya tidak bermaksud mempermasalahkan apa yang tercantum dalam alkitab dan bagaimana penafsirannya, tapi lebih fokus untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikutip. 

Biasanya ‘jurus’ yang umum dipakai oleh pihak Kristen yang berusaha mencari rujukan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengakui ketuhanan Yesus dimulai dengan surat al-Faatihah 6 :”Tunjukilah kami jalan yang lurus…”, lalu Kristen mengkaitkannya dengan ayat alkitab, Yoh 14:6 Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”. Pertautan antara 2 ayat ini bermaksud untuk mengatakan bahwa ‘jalan yang lurus’ yang selalu dimohonkan setiap Muslim, diulang-ulang dalam shalat fardhu adalah Yesus Kristus sendiri, sesuai dengan apa yang disampaikannya dalam alkitab.

Penjelasannya sebenarnya gampang, karena pihak Kristen memakai surat al-Fatihah untuk dijadikan dalil tentang ketuhanan Yesus, maka kita juga memakai ayat yang sama untuk membantahnya, ayatnya kita kutip saja secara lengkap untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘jalan yang lurus’ tersebut : 

"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".



Saya akan bercerita bagaimana suatu simbol bekerja mempengaruhi persepsi dan tindakan manusia. Silahkan lihat foto disebelah ini.. 

Bayangkan diri anda suatu ketika bermain-main ke mall yang ramai di Jakarta, tempat nangkring anak-anak muda termasuk para wanita tuna susila (WTS) pencari mangsa yang gampang kita temui disana. Kalau anda belum tahu soal ini, sekarang saya kasih tahu, tapi sssttt... ini informasi khusus buat anda saja, jangan disebar-sebarin sama orang lain. Mall adalah tempat yang biasa dipakai oleh WTS untuk mencari mangsa, selain mereka punya tempat lokalisasi untuk menunggu pelanggan, istilahnya mereka juga punya strategi 'jemput bola', berusaha mendekatkan diri ke lokasi customer. Sulit untuk membedakan mereka dengan 'wanita biasa' karena para WTS ini memakai pakaian (artinya memakai simbol) yang sama dengan wanita lain, atau mungkin juga sebaliknya, saya kurang tahu. Disamping itu mall juga suka dijadikan ajang buat para laki-laki pencari mangsa, yang mengincar wanita-wanita muda yang memang banyak bertebaran disana. Jadi kalau anda melihat ada oom-oom lagi duduk sendiri di teras sebuah cafe, dengan mata jelalatan kiri-kanan memelototi perempuan yang melintas lewat, kemungkinan itu orangnya. Ini ibarat 'botol ketemu tutup', ada demand ada supply, maka transaksi bisa terjadi. 

Anda dipersilahkan berpakaian seperti Obama, memakai jas lengkap dengan dasi, lalu duduk-duduk diteras sebuah café sendirian, kalau perlu letakkan gadget mahal dan kunci mobil Mercy atau BMW anda diatas meja, tunggulah beberapa waktu. Saya perkirakan kemungkinan besar anda akan dihampiri oleh perempuan pencari mangsa untuk diajak kenalan dan ngobrol, minimal ada lirikan-lirikan genit yang mengundang anda untuk bereaksi duluan. Berpakaian ‘ala’ Barack Obama seperti ini sudah tertanam dalam pikiran masyarakat sebagai cara berpakaian orang yang ‘kemungkinan bisa diajak kencan’, layaknya pakaian yang biasa dikenakan oleh playboy-playboy Hollywood, nilai tersebut sudah melekat kepada simbol. Sekarang coba anda ganti gaya berpakaian meniru apa yang dipakai oleh imam besar masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub yang ada disebelah Obama, bedanya tidak banyak, cuma menambahnya dengan memakai peci, lalu lakukan hal yang sama ketika anda berpakaian ‘ala’ Obama tadi. Saya jamin perempuan-perempuan nakal yang bertebaran di mall tersebut tidak akan ‘hinggap’ di meja anda, boro-boro mau ngajak kencan, dipanggilpun mereka akan berpikir panjang, takut bakalan diceramahin. 



Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-asmaaul husna (nama-nama yang baik), (Surat Thaha 2-8)

Marilah kita mulai membaca ayat ini pelan-pelan, satu persatu. Kita mengambil posisi berhadapan dengan Al-Qur’an, membaca informasi yang ada didalamnya.

Pertama kita baca kalimat 'Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ,dst, dst', ketika membaca kalimat tersebut, kita diposisikan oleh si Penulisnya untuk mengambil tempat berhadapan dengan-Nya, Dia bicara langsung kepada kita karena memakai kata ganti orang pertama, lalu ketika melanjutkan membaca 'yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan langit dan bumi', ketika itu posisi sudah berpindah, si penutur kalimat seolah-olah berada disamping, menceritakan tentang Allah 'disana' si Pencipta langit dan bumi, kita seolah-olah berada disatu ketinggian melihat luasnya langit dan bumi yang diciptakan-Nya, berinteraksi dengan alam raya sebagai bukti tentang keberadaan Allah. Kalau dibayangkan sebagai suatu shooting adegan film, posisi kamera yang sebelumnya berada dibelakang kita, mewakili mata kita untuk menatap sipenutur cerita telah berpindah, posisinya sekarang beralih berada disamping untuk mengarahkan pandangan kearah alam semesta, keberadaan kita tidak lagi tampak dalam layar, namun tergambar melalui mata kamera, sama-sama memandang alam yang ditangkap oleh kamera tersebut. 



Ini juga merupakan pertanyaan yang sering diajukan oleh pihak non-Muslim yang tidak memahami konsep Islam soal kesesatan manusia. Al-Qur’an jelas menyatakan bahwa setiap kesesatan yang terjadi memang merupakan kehendak-Nya, dan apabila Dia berkehendak untuk menyesatkan manusia, tidak ada sesuatupun yang sanggup untuk menyelamatkan manusia tersebut : 

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. ‪(An-Nahl: 93) 

Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ‪(Ibrahim: 4) 

dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorangpun yang akan memberi petunjuk. ‪(Ghaafir: 33)‪ 

dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. ‪(Al-Kahf: 17) 

Pernyataan Al-Qur’an ini sangat jelas, bahwa kesesatan yang dialami manusia merupakan ‘hasil kerja’ Allah sendiri yang memang mengehendaki manusia tersebut tersesat, dan ketika Dia sudah menyesatkan manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun yang mampu memberikan pertunjuk agar manusia tersebut bisa diselamatkan. Menanggapi soal ini, biasanya non-Muslim akan langsung bereaksi :”Tuhan seperti apa yang telah membuat manusia tersesat..??”, lalu mulai ‘berpromosi’ untuk mengajukan alternatif konsep ketuhanan mereka dengan menyatakan :”Tuhan kami Maha Kasih, Dia selalu mengharapkan agar manusia yang tersesat untuk kembali, bahkan Dia mau mengorbankan diri untuk itu. Tuhan yang benar adalah Tuhan yang menyelamatkan ketika tahu ada manusia yang tersesat, bukan malah mempergunakan kekuasaan dan kehendak-Nya untuk menyesatkan manusia..”. Sampai disini logikanya terkesan benar, namun terbentur kepada satu pertanyaan :”Kalau bukan atas dasar kehendak dan kuasa Tuhan, lalu atas kuasa siapa seseorang bisa menjadi tersesat..?? atas kehendak siapa seorang manusia bisa tersesat..?? Apakah ada kekuasaan dan kehendak diluar kuasa dan kehendak Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk itu..??”. Kalau dikatakan kesesatan seseorang diakibatkan oleh kehendaknya dan kuasanya sendiri, maka ini bertentangan dengan fakta, bahwa bisa terjadi seseorang yang telah berusaha untuk menyesatkan dirinya namun atas kuasa dan kehendak Allah, dia tetap tidak akan tersesat. Kalau dikatakan kesesatan manusia tersebut merupakan kehendak dan kuasa syaitan dan Iblis, maka apabila Tuhan berkehendak agar manusia tersebut tidak tersesat, kuasa dan kehendak syaitan dan Iblis tidak akan bisa direalisasikan. Ini adalah pikiran yang masuk akal dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 



Tentang adanya kisah kaum terdahulu yang dimuat dalam Al-Qur’an merupakan satu topik yang juga sering dipermasalahkan oleh umat Kristen, karena banyak terdapat kesamaannya, baik dengan kisah yang dimuat dalam alkitab maupun tercantum dalam kitab-kitab apokripa, yaitu dikategorikan sebagai cerita rakyat (folklore) Yahudi yang tidak dimasukkan dalam ayat-ayat alkitab. Kita sampaikan saja contohnya : Kisah soal burung gagak yang dijadikan contoh oleh Qabil bagaimana cara menguburkan mayat Habil yang dibunuh (al-Maaidah 31) mirip dengan kitab Tradisi yahudi kuno tulisan Pierke rabbi Eleazer (150M-200M) dan Jewish Mishnah Sandhedrin 4:5 yg ditulis pada abad 2, kisah Nabi Sulaiman dan singgasana ratu Bilqis (an-Naml 17-44) berkesuaian dengan Tarqum II Ester yang ditulis abad ke-2 SM, kelahiran Maryam (Ali Imran 35-37) mirip dengan buku apokripa The Protevangelion’s James the Lesser 4:4, 5:9 dan 7:4, cerita nabi Ibrahim menghancurkan berhala (as-Saaffaat 91-97) sama dengan yang dimuat dalam cerita rakyat Yahudi abad II Masehi yang dikarang oleh Midrash Rabbah hampir 4 abad sebelum Al-quran, Isa Almasih bicara dalam ayunan (Maryam 29-30) persis informasi yang tercatat dalam buku apokripa/dongeng Mesir abad II yang berjudul :”First Gospel of the Infancy of Jesus Christ” (kitab pertama tentang masa kanak-kanak yesus Kristus), mukjizat yang dilakukan Isa Almasih (Ali Imran 49) menghidupkan burung pipit sama dengan buku apokripa/dongeng abad II yang berjudul “Thomas’s Gospel of The Infancy of Jesus Christ” (Buku Thomas tentang masa kanak-kanak Yesus Kristus), kisah kehamilan Maryam dan kelahiran Isa Almasih (Ali Imran 45-47 dan Maryam 19-21) sama dengan cerita alkitab pada Lukas 30-35. 

Perlu diketahui bahwa tidak ada seorang Muslimpun membantah beberapa cerita dalam Al-Qur’an mempunyai kesamaan dengan kisah yang terdapat dalam khazanah Yahudi, baik dalam maupun diluar alkitab, karena kenyataannya memang demikian. Islam mengakui nabi-nabi terdahulu yang datang dari kaum Yahudi, orangnya itu-itu juga dan tentu saja cerita mereka tetap sama. 

Apa itu dongeng, apa itu folklore atau cerita rakyat..?? Sejak SD kita umumnya telah mendapat pelajaran sastra, yang membahas tentang dongeng (para ahli soal ini biasanya menyebut istilah : Folklore). Masih terekam dalam ingatan bahwa guru SD kita pernah menjelaskan, dongeng terdiri dari beberapa jenis. Ada yang namanya : fabel, yaitu dongeng yang ada dalam masyarakat bersumber dari cerita tentang hewan, misalnya : sang kancil, burung gagak dan srigala, lalu ada yang namanya : legende, yaitu dongeng yang berhubungan dengan tempat-tempat tertentu, misalnya : kisah Sangkuriang di Tangkuban Perahu, Situ Bagendit, Loro Jonggrang, ada juga dongeng berasal dari cerita disekitar dewa-dewi yang dinamakan : mite, misalnya Dewi Sri, lalu ada dongeng yang dikembangkan dari kisah sejarah yang benar-benar terjadi dinamakan : sage, misalnya : Joko Tingkir, Ken Arok dan Ken Dedes, Hang Tuah. 


 
Si Fulan adalah lulusan perguruan tinggi negeri yang sempat menjadi karyawan sebuah kantor pemerintah. Beberapa bulan lalu, dia dipecat kantornya karena terlampau sering bertengkar (bukan berdiskusi) soal-soal agama dengan teman sesama kantor, bahkan beberapa kali adu jotos. Pemegang kebijakan di kantor melihat kelakuan Fulan sudah tidak dapat ditolerir, dan menganggapnya sudah tidak pantas dipertahankan lagi sebagai karyawan. Usut punya usut, persoalan bermula ketika belakangan si Fulan aktif terlibat dalam kegiatan agama yang terlampau banyak menjejalkan klaim-klaim kepada jemaahnya. Fulan terlampau sering mendengar indoktrinasi klaim-klaim kebenaran agama yang tidak memberi peluang buat orang lain mendebatnya. Agama yang dikenal Fulan adalah agama yang penuh klaim, bukan agama yang menyapa akal sehatnya. 

Sebatas itu tidak jadi soal. Hanya saja, Fulan tidak mencukupkan versi kebenaran yang ia terima untuk dirinya sendiri, tapi berkali-kali menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham dengannya secara sengit. Dalam fantasinya, hanya dia yang konsisten mengikut jejak para leluhur Islam yang saleh (salafush sholeh) dan dengan begitu cukup dia saja yang punya tiket ke surga, sementara yang lain tidak. Itulah yang berulang-ulang dipersoalkan Fulan. 

Tidak hanya teman kantor yang merasa kejanggalan mental dan kejiwaan Fulan. Isterinya pun heran karena Fulan tak pernah menyesal kehilangan mata pencarian. Dia tetap kokoh, dan menafsirkan semua petaka itu sebagai konsekuensi jihad yang tak akan luput dari cobaan duniawi. Baginya itu bukan soal, sampai pun isteri dan anaknya harus ikut menanggung akibat. Isterinya mengeluh, karena perlakuan Fulan terhadap dirinya kini semakin otoriter, bahkan Fulan semakin ringan tangan. Tapi Fulan tak perduli; dia tetap berkelana membawa paham agamanya; makin jarang tinggal di rumah, apalagi memberi nafkah. 


 
Masjid di kompleks kami punya seorang tenaga kerja harian, pak Sarip namanya. Beliau penduduk kampung sebelah yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah. Masjid lalu mengupah pak Sarip untuk membersihkan kamar mandi, tempat wudhu dan jalanan disekitar diluar jam kerjanya sebagai tukang sampah, biasanya beliau hadir setiap maghrib dan shubuh. Hampir setiap shubuh saya selalu bertemu dengan pak Sarip yang sedang mengepel lantai teras, menyapu jalanan, membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu. Namun selain itu beliau adalah jamaah yang rajin, selalu ikut shalat berjamaah. Hebatnya masih sempat berganti baju yang rapi, lengkap dengan kopiah dan sarung. Setiap pengajian dan ceramah pak Sarip juga hadir, kadang-kadang ikut mengajukan pertanyaan dengan bahasa yang sering mengundang tawa, jauh dari kedalaman intelektual. Tidak jarang pula ketika tiba saatnya waktu shalat dan kebetulan tidak ada orang yang adzan, pak Sarip-lah yang melantunkan adzan, dan lagi-lagi dengan lafadz yang tidak begitu sempurna. 

Tidak sulit untuk membaca keadilan Allah dalam urusan ini. Seandainya surga disediakan hanya untuk orang beriman yang pintar, banyak membaca buku, ilmu yang dalam, menguasai bahasa Arab, punya banyak referensi kitab para mufassir, tidak lupa dilengkapi dengan kajian orientalis, maka tidak ada tempat buat pak Sarip di surga. Namun surga disediakan bagi orang yang bertaqwa, dengan tingkat dan kemampuan berpikirnya masing-masing bisa merasakan takut dan tunduk kepada Allah, lalu mengerjakan semua perintah dan menghindari semua larangan atas dasar rasa takut dan tunduk tersebut. Surga disediakan buat orang yang punya koneksi dengan Allah sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an : 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal 2-4) 


 
Suatu ketika, kejadiannya beberapa tahun lalu ketika saya masih tinggal di Cinere. Ibu tetangga saya bercerita bahwa kemaren sore mobilnya dibaret oleh supir angkot di pasar Pondok Labu. Kalau anda pernah melewati pasar tersebut, anda pasti akan mengalami kemacetan karena ruas jalan yang menyempit akibat banyaknya pedagang dan orang yang berbelanja. Si ibu tersebut kebetulan lewat disana dan didepan ada angkot yang ngetem dijalanan sehingga mobil-mobil yang ada dibelakang tidak bisa jalan, lalu dia membunyikan klakson, disitulah terjadi malapetakanya. Si sopir angkot yang jelas-jelas salah dan telah berlaku dzalim tersebut keluar dari kendaraannya lalu membawa sepotong paku mendatangi mobil si ibu yang kebetulan menyetir sendirian. Dengan ganas si sopir angkot membaret mobil dan berteriak marah :”Situ orang kaya, enak-enak dalam mobil ber A/C. Jangan coba-coba mengusik rakyat seperti saya yaa..!!”. malang nasib tetangga saya tersebut, tidak berani melawan dan hanya diam ketakutan, berhadapan dengan ‘rakyat’ yang lagi marah. 

Disuatu kejadian lain diwilayah BSD – Bumi Serpong Damai. Seorang yang hendak pindah kerumahnya yang baru, disebuah kompleks perumahan yang kebetulan bertetangga dengan wilayah penduduk asli. Sebagai orang baru maka calon penghuni rumah ini berinisiatif untuk melakukan silaturahmi dengan para tetangga, ngajak berbincang-bincang, tidak lupa shalat bersama di musholla penduduk. Ketika tiba saatnya dia pindah rumah lalu datang dengan membawa barang-barang perabot, anak-anak muda tetangganya tersebut mengerumuni dengan muka tidak ramah, mereka bilang :”Kami yang berhak untuk menurunkan barang-barang dari truk, bapak harus peduli kepada penduduk setempat untuk memberikan mereka pekerjaan..”, padahal calon penghuni tersebut sudah membawa kuli sendiri. Kalau dia menolak dan memaksa untuk memakai kuli yang sudah dibawa, bakalan ada keributan, bisa terjadi perkelahian karena pemuda setempat merasa jatahnya direbut orang lain, bahkan kehidupan si penghuni rumah bisa tidak aman, karena bisa sewaktu-waktu dilempari batu. Akhirnya ditemukan jalan keluar, duit upah tetap diberikan kepada para pemuda setempat, namun pekerjaan tetap dilakukan oleh kuli yang sudah dibawa karena orang tersebut khawatir barangnya akan rusak kalau diurus oleh para pemuda setempat. Orang ini terpaksa mengeluarkan biaya ekstra untuk ‘uang preman’. Rupanya buat para pemuda kampung tersebut ada prinsip ‘apapun kudu jadi duit, tidak peduli memeras tetangganya sendiri’. 


 
Bagaimana kriteria seseorang bisa dikategorikan sebagai orang miskin..?? PBB menyatakan seseorang dikatakan sebagai miskin apabila punya penghasilan dibawah 2 dollar perhari, atau sekitar 19 ribu rupiah, apabila duit yang masuk kantong anda berjumlah dibawah itu maka PBB akan memandang anda sedang megap-megap menjalani hidup. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) memakai ukuran seseorang yang hanya mampu menyediakan konsumsi untuk dirinya setara dengan 2.100 kalori perhari, apabila anda hanya mampu makan dibawah jumlah tersebut..? BPS akan menilai anda kelaparan. 

Namun sebenarnya ukuran kemiskinan sangat subjektif dan tidak jelas. Kita mendengar berita beberapa tahun lalu, anggota DPR yang punya gaji puluhan juta sebulan menjerit-jerit minta kenaikan gaji, mereka merasa sangat miskin karena penghasilan yang kelihatannya besar tersebut sudah dipotong sana-sini, sekian persen harus disetor ke partai, sekian juta untuk melayani konstituen dari dapil masing-masing, belum lagi untuk memenuhi permintaan sumbangan ini-itu yang tidak bisa ditolak. Dengan kondisi demikian anggota dewan menganggap posisi keuangannya menjadi tekor alias defisit, akhirnya mereka berteriak-teriak minta agar gaji mereka ‘disesuaikan’. Kita boleh mengatakan bahwa sebenarnya para anggota DPR sudah termasuk kategori orang miskin. 

Sebaliknya banyak kita temukan orang-orang pinggiran yang dilihat dari sudut pandang kita berada pada kehidupan yang paling bawah, pemulung, kuli bangunan, tenaga kerja serabutan, jualan cendol dan gorengan, tukang service sepatu, hidup didaerah yang sederhana. Boleh jadi mereka mampunya hanya mengkonsumsi makanan dibawah 2.100 kalori perhari perkapita, namun soal meminta-minta menjadi pantangan, hidup melarat tapi tidak pernah menyusahkan orang lain, apa yang didapat itu yang dimakan, kalau tidak ada makanan maka mereka berpuasa. Ini bukan kisah romantisme dan hanya ada di skenario sinetron, anda bisa menemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau begitu, sulit untuk kita menyatakan orang-orang pinggiran ini sebagai orang miskin.