Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Sekali waktu sambil menunggu waktu shalat di Masjdil Haram, saya membuka-buka kitab Al-Qur’an yang saya bawa dan membacanya pelan-pelan. Suasana di masjid terbesar di dunia tersebut memang biasa seperti ini, apalagi di bulan Ramadhan. Al-Qur’an adalah kitab yang paling banyak dibaca orang, ada yang membacanya dalam hati, atau sambil berbisik, ada juga yang agak rada keras sehingga terdengar kiri-kanan. Ada yang membaca dengan lancar, ada yang terbata-bata dan salah-salah. Ada yang iramanya ikut Syeikh Sudais atau Syeikh Maher al-Muaiqly, imam shalat Masjidil Haram yang kondang itu, atau pakai ‘gaya’ sendiri, mencatut irama lagu Manuk Dadali ataupun campur Sari-nya Didi Kempot, pokoknya lengkap, ada semuanya. 

Tiba-tiba seorang Arab, belakangan saya tahu dari Mesir, mencolek bahu saya dan berkata dalam bahasa Arab campur Inggeris campur bahasa Tarzan, intinya dia berkata :”Saya takjub mendengar kamu yang bukan orang Arab membaca Al-Qur’an seperti itu, koq mau-maunya membaca kitab dalam bahasa lain..”. lalu dia melanjutkan dengan bertanya apakah saya mengerti artinya. Saya berterus-terang menjawab bahwa sebagian besar dari ayat Al-Qur’an yang dibaca tersebut sama sekali tidak mengerti artinya, cuma membaca saja sesuai dengan kemampuan bahasa Arab saya. Si Arab jadi nyengir, mungkin dia merasa makin heran mengapa orang mau repot-repot membaca sesuatu yang tidak dia mengerti. Saya lalu memperlihatkan handpone saya yang kebetulan punya aplikasi program Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa Indonesia, lalu bilang :”Kalau mau memahami Al-Qur’an, saya biasanya melihat dari program ini, ada terjemahan ayat-per ayatnya..”. Saya lalu melanjutkan :”Di Indonesia saya sering berdiskusi tentang Islam termasuk dengan pemeluk agama lain, dan untuk memberikan penjelasannya saya sering juga memakai kitab Fi Zhilaali al-Qur’an. Si Arab dari Mesir ini kelihatannya agak bingung dan bertanya :”Kitab apa itu..??”. Sekarang giliran saya yang nyengir lalu menjelaskan bahwa kitab tersebut merupakan tafsir Al-Qur’an kontemporer karangan Sayyid Quthb, seorang ulama terkemuka Ikhwanul Muslimin yang ada di Mesir, yang mati syahid dihukum mati oleh pemerintah Nasser. Ternyata ada juga orang Mesir yang tidak kenal kitab karangan beliau tersebut. 



Saya ingat cerita guyonan ayah saya ketika masih kecil dulu tentang lailatul qadar. Seseorang terbangun tengah malam dimasa-masa akhir bulan Ramadhan untuk melakukan shalat tahajud, dia pergi kepancuran air yang ada diluar rumah untuk berwudhu. Agar tidak basah kena air, maka orang tersebut melepas kopiahnya dan menggantungkan di dahan sebuah pohon. Ketika wudhu selesai dan dia menjulurkan tangan bermaksud meraih kopiah dari dahan pohon dengan mata tertutup karena masih basah oleh air, namun kopiah tidak ada ditempat semula. Ketika orang ini membuka matanya, ternyata dahan pohon tempat kopiahnya tergantung sudah berpindah tempat, membengkok kearah lain. Malam itu lailatul qadar, langit yang tadinya gelap gulita mendadak terang-benderang, langit terbuka, malaikat turun kebumi berbondong-bondong, dan semua makhluk termasuk pohon tadi, bersujud kearah kiblat, makanya dia tidak menemukan kopiahnya ditempat semula, ikut-ikutan terbawa dahan pohon yang sedang bersujud tersebut. 

Cerita ini mempengaruhi persepsi saya tentang lailatul qadar sampai sekarang, bahwa malam istimewa tersebut ditandai dengan fenomena alam yang bisa dilihat semua orang, yang kebetulan terjaga pada waktu itu. Alam semesta memperlihatkan diri secara menakjubkan dan malaikat yang turun kebumi bisa disaksikan dengan mata telanjang, sampai kemudian saya merenung di Masjidil Haram di bulan Ramadhan tahun ini. Pada umumnya semua orang yang datang untuk melakukan umroh dibulan puasa kesana mengharapkan bisa bertemu dengan lailatul qadar, bisa menjadi saksi saat-saat beberapa menit malam yang penuh berkah tersebut, bernilai lebih dari seribu bulan. Jadwal kegiatan di Masjidil Haram sangat mendukung agar kita bisa bertemu dengan lailatul qadar. Mulai dari maghrib ketika berbuka puasa dan melakukan shalat, lalu dilanjutkan dengan shalat ‘Isya dan tarawih sampai jam 11 malam, pada sepuluh hari terakhir ketika Rasulullah memberi petunjuk lailatur qadar akan terjadi pada masa-masa tersebut, kegiatan ibadah ditambah lagi mulai jam 1 tengah malam untuk bertahajud bersama-sama sampai jam 3 pagi, tidak berapa lama shubuhpun datang. 


 
Tadinya saya tidak mau menuliskan catatan terkait dengan kepergian saya ke tanah suci untuk menjalankan umroh selama bulan Ramadhan disana, biasa.., takut termasuk kategori riya sehingga pahala ibadah saya menjadi tidak berarti, Allah akan menjadikannya bagai debu-debu yang berterbangan ditiup angin. Namun pengalaman yang didapatkan kelihatannya mendesak saya harus banyak bercerita, terutama untuk menyampaikan informasi yang berimbang terkait dunia Islam, bahwa ketimpangan informasi yang selama ini terjadi, ketika media massa lebih banyak menyampaikan orang-orang yang antri sembako dan zakat fitrah sampai ada yang mati terinjak-injak, disetiap Ramadhan dan Idul Fitri, menghasilkan pandangan yang sudah mengkristal dari dulu sebagai suatu ‘bagian integral’ dari umat Islam. Soal riya biarlah menjadi urusan saya dengan Allah, karena toh Al-Qur’an juga menyampaikan : [QS 93:11] Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. 

Entah disengaja atau tidak, ketika orang-orang membicarakan tentang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, maka gambaran dan informasi yang selalu diulang-ulang adalah soal kemiskinan umat Islam, diumbar lewat pemberitaan penduduk miskin kota yang sedang antri untuk menerima zakat fitrah, lalu sebagian misionaris Kristen misalnya mulai ‘jualan obat’ untuk menimbulkan pencitraan negatif :”Lihat tuh umat Islam, mereka indentik dengan kemiskinan dan kemelaratan..”, padahal susah untuk dilacak indentitasnya, apakah orang-orang yang antri tersebut memang berasal dari pemeluk Islam atau bukan. Sedangkan berita sebaliknya jarang diungkapkan. Pada tahun ini saja diperkirakan ada 6 juta umat Islam diseluruh dunia membanjiri tanah suci, jauh lebih banyak dari pengunjung di musim haji yang tidak sampai 4 juta orang. Biaya umroh dari Indonesia berkisar antara USD 1500 sampai USD 3000, bahkan ada yang sampai mendekati 5000 dolar. 



Saya membayangkan, pada satu saat setelah selesainya bulan Ramadhan malaikat turun kebumi membawa sertifikat yang telah ditanda-tangani, telah dicap stempel akherat, disana tertulis nama saya. Pernyataan dalam sertifikat tersebut : “Telah berhasil menjalani ibadah puasa dibulan Ramadhan dengan hasil memuaskan, dan untuk itu yang bersangkutan telah dianugerahi ketaqwaan dan dinyatakan telah bersih dari dosa seperti bayi yang baru lahir, demikianlah sertifikat ini dibuat dan diberikan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya”. Apa reaksi logis yang akan saya lakukan..?? apa yang akan anda perbuat kalau itu terjadi dengan diri anda..?? 

Saya pasti akan mencari pigura yang bagus, kalau bisa terbuat dari emas, berukir indah dengan hiasan permata, sertifikat tersebut akan saya gantung di dinding untuk bisa saya nikmati setiap waktu dengan bangga, tidak lupa saya akan mengadakan selamatan mengundang teman-teman, kalau perlu mengundang band D’masiv atau wayang kulit semalam suntuk, sebagai tanda syukur atas hadiah yang sudah diberikan. Lalu…?? Yaa…cuma sampai disitu, setelah itu saya akan kembali melanjutkan kehidupan dengan cara yang sama seperti sebelum Ramadhan, toh ketaqwaan sudah saya dapatkan dan saya sudah menikmatinya, nanti pada Ramadhan ditahun depan, saya akan bikin program lagi agar kembali bisa mendapatkan sertifikat yang sama. 

Namun untungnya, ketaqwaan tidak ada sertifikatnya, selesai Ramadhan kita sama sekali tidak mengetahui apakah kita sudah berhasil menjalankan ibadah puasa tersebut dengan standard yang telah ditentukan oleh Allah, apakah Dia sudah menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa sesuai apa yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an, ketika Ramadhan selesai kita hanya bisa berharap :”Semoga Allah menerima ibadah yang kita lakukan selama ini – taqabbalallahu minna wa minkum…”, atau sebaliknya kita hanyalah seseorang yang rugi seperti yang disampaikan oleh Rasulullah : “Berapa banyak orang yang puasa, tapi tidak dapat apa-apa kecuali haus dan lapar.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim). 



Beberapa hari menjelang Lebaran biasanya orang sudah mulai sibuk berbelanja terutama pakaian. Hal ini sudah merupakan bagian dari budaya. Tidak ada yang salah dari semua itu, justru menambah dinamika selagi tidak berlebihan. 

Menarik untuk dicermati, sebagaimana banyak pemberitaan di berbagai media seperti televisi ketika meliput pusat perbelanjaan, dengan mudah akan menjumpai fenomena menarik yaitu busana dengan nama sejumlah artis yang tampil dalam sinetron Religi selama Ramadhan ataupun penampilan pada acara-acara lain, tidak terkecuali gosip. 

Apa yang dikenakan si Artis sepertinya menjadi acuan desainer atau pedagang untuk menarik pembeli atau mengenalkan tren terbaru. Kitapun tahu di akhir tayangan produk mode yang menjadi sponsornya. Yang sepertinya sudah melihat prilaku masyarakat/konsumen yang lebih menempatkan TONTONAN menjadi TUNTUNAN (panutan). Lantas sayapun berfikir "SINETRON atau FASHION SHOW?". Memang sinetron bukanlah satu-satunya hiburan yang kemudian menjadi role model pemirsanya, tapi cukup menjadi wakil karena intesitasnya yang tinggi, hingga pemirsa seringkali menjadi kecanduan. 

Seakan sudah menjadi tradisi begitu memasuki bulan Ramadhan maka banyak sekali tanyangan2 berbau Religi, namun sayangnya acara seringkali tidak menekankan pesan Islami bahkan seolah hanya ganti casing dimana muatannya tidak jauh beda dengan tayangan pada hari-hari lainnya.