Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Kalau anda sempat mendengarkan kesenian 'saluang' di Minangkabau, suatu alat musik tradisi yang terbuat dari bambu atau talang, anda pasti akan menyimpulkan kalau orang Minang adalah masyarakat yang suka melantunkan lagu melankolis, 'melow' istilah anak-anak jaman sekarang. Hampir semua nada yang diiringi oleh bunyi saluang memang demikian, sekalipun kalau disimak isi pantun yang disampaikan tidak melulu bicara soal kesedihan, patah hati, jatuh cinta atau kena musibah, banyak justru pantunnya berisi nasehat tentang bertingkah-laku dan sikap terhadap kampung halaman. Anda tidak akan pernah menemukan irama semacam lagu Maju Tak Gentar atau Halo-Halo Bandung dalam nyanyian yang diringi saluang ini. Sulit untuk menelusuri asal-muasal mengapa orang Minang suka 'bersedih-sedih' dalam melantunkan nyanyian dengan iringan saluang. Seorang budayawan dari Padang Panjang pernah menyampaikan teori bahwa kegemaran ini sebagai penyeimbang dari kehidupan mereka yang tenteram dan makmur karena adanya dukungan alam yang tergolong indah, suatu teori yang tentu harus didalami kebenarannya. 

Para tokoh asal Minangkabau yang sukses dirantau, sering punya kebiasaan ketika pulang kampung untuk sejenak duduk mendengarkan orang memainkan saluang, menyimak pantun yang dilontarkan dengan seksama. Bung Hatta misalnya, biasa menyuruh orang untuk 'basuliang' - begitu istilah beliau untuk menyebut alat musik saluang, yang jelas-jelas sudah salah kaprah karena saluang tidak sama dengan suling, beliau lalu menyimak pantun dan menikmati nada-nada yang dilontarkan. 

Interaksi orang Minang dengan kampung halaman melalui kesenian saluang ini menggambarkan hubungan yang cukup mendalam dan bernuansa melankolis, campuran antara kesenangan, keindahan dan keharuan. Ada kesan ketika 'urang awak' yang sudah lama merantau, berjuang untuk memenuhi kebutuhan materi di negeri orang dengan konsepnya yang terkenal : kalau sanak pai marantau ibu cari dunsanak cari induak samang cari dahulu - kalau anda pergi merantau, ibu dicari, saudara dicari, tapi carilah induk semang terlebih dahulu - menunjukkan tujuan utama mereka untuk merantau didasari faktor ekonomi. Memang motivasi merantau dari orang Minang saat ini sudah mengalami beberapa pergeseran, bahwa kebiasaan tersebut bukan hanya melulu berlandaskan motif ekonomi semata, banyak para pemuda Minang meninggalkan kampung halaman dengan tujuan melanjutan sekolah, terutama ke perguruan tinggi di luar Ranah Minangkabau. Ini disebabkan untuk sementara orang-tua Minangkabau, kebutuhan mereka untuk menyekolahkan anak-anak tidak terpenuhi dengan keberadaan sekolah dan perguruan tinggi yang sesuai harapan di negeri sendiri. Namun setelah para pemuda tersebut selesai menamatkan pendidikan, mereka jarang yang kemudian kembali ke kampung halaman untuk mencari nafkah disana. Para pemuda perantau lebih memilih untuk 'berjibaku' di negeri orang, dan interaksi dengan kampung halaman dimanifestasikan melalui kiriman uang buat orang-tua dan kerabat yang masih ada disana. Dan tentu saja sekali-sekali ada kegiatan untuk pulang kampung. 



Hampir semua orang Minang mengetahui konsep dasar adat mereka 'Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah. Syara' mangato adat mamakai', semuanya akan mengutip dengan fasih pepatah tersebut. Namun dari perdebatan yang sering dilakukan oleh orang-orang Minangkabau untuk mencari rumusan yang tepat tentang pengertiannya, mereka kelihatannya berbeda pendapat. Ada pertanyaan krusial terkait dengan hal ini seperti yang pernah dikemukakan oleh budayawan Wisran Hadi. Proses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam adat Minangkabau misalnya dipertanyakan : 

"Jika adat Minangkabau yang dilestarikan merujuk kepada ajaran Islam, maka mazhab yang mana yang harus dijadikan rujukan. Semua serba tak pasti dan tidak mau memastikannya. Namun pelestarian itu terus diusahakan untuk dapat diberlakukan sampai sekarang. Dapat dikatakan bahwa orang Minang kini sedang melestarikan suatu adat yang kabur rujukannya, atau orang Minang sedang melestarikan suatu kekaburan". (Wisran Hadi, Sekali lagi tentang; ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH - Kegagalan dalam menafsirkan sebuah rujukan, tahun 2000) 

Dalam tulisannya yang lain, beliau menyatakan bahwa 'way of life' orang Minang tersebut juga bukan merupakan suatu rumusan yang pasti, hitam diatas putih seperti halnya undang-undang dasar suatu negara : 

"Hampir semua orang Minang beranggapan bahwa ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH (selanjutnya disingkat ABS-SBK) adalah hasil kesepakatan antara alim ulama, ninik mamak dan candiak pandai di Bukit Marapalam dipenghujung Perang Paderi. Namun sampai sekarang, tidak seorangpun ahli sejarah apalagi para penghulu yang dapat menyodorkan manuskrip atau naskah kesepakatan itu kepada kita. Para ahli sejarah maupun para penghulu pun tidak berani menentukan hari, tanggal, bulan dan tahun bila lahirnya kesepakatan itu. Juga mereka tidak dapat menyajikan kepada kita daftar nama-nama para ulama, ninik mamak dan cadiak pandai yang hadir dan menyetujuinya. 

Boleh jadi ABS-SBK hanya sebatas konsensus saja, hasil dari suatu konspirasi. Mungkin ada beberapa orang penghulu dan beberapa ulama mencari “sitawa sidingin” mendamaikan kedua pihak (ulama dan ninik mamak) yang telah babak-belur dalam perang saudara yang panjang itu"

Rumusan yang 'menyelipkan' kata 'syara' diantara adat dan kitabullah-pun menjadi pertanyaan, karena syara' yang berarti hukum, maka ini bisa ditafsirkan hukum dalam bentuk apapun, bisa hukum agama ataupun hukum negara, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Makanya pernah usaha yang dilakukan oleh beberapa penghulu untuk melihat korelasi antara adat dengan Pancasila lalu dirumuskan adat Minangkabau adalah Pancasila. 



Ketika masih mahasiswa di Bandung puluhan tahun lalu, saya pernah mengikuti forum diskusi yang diadakan oleh suatu kampus. Sebagaimana umumnya yang terjadi pada saat itu, saat dunia poilitik dibawah kekuasaan Orde Baru, forum-forum diskusi mahasiswa banyak yang bertema perlawanan terhadap kekuasaan otoriter. Dalam satu session tanya jawab seorang peserta yang kebetulan berasal dari Sumatera Barat mengajukan pernyataan sebaiknya karakter pemimpin Indonesia bisa mencontoh apa yang ada di Ranah Minangkabau, suatu sistem demokratis yang memunculkan juga pemimpin demokratis. Pernyataan ini lalu dijawab dengan 'ketus' oleh salah seorang tokoh mahasiswa yang menjadi pembicara utama di forum tersebut, dia berkata :"Itu jaman dulu, sekarang ini orang Minang tidak kalah feodalnya dengan orang Jawa, 'tingkat merendahkan diri' mereka terhadap pejabat pemerintahan lebih hebat dibandingkan rakyat Jogya terhadap Sultan mereka..". 

Pernyataan ini subjektif memang, disimpulkan tanpa melalui survey ilmiah yang bisa dipertanggung-jawabkan, namun tidak urung saya merenungkan kampung halaman saya, ketika menilai situasi terkini yang terjadi disana. 

Sudah berjalah bertahun-tahun, sejak pemerintah Orde Baru dengan aturan bentuk pemerintah daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, masyarakat Minangkabau harus menerima suatu bentuk pemerintahan yang dirasa asing bagi mereka. Sampai ke pelosok negeri ada kabupaten, kecamatan dan kelurahan, lengkap dengan perangkat pemerintah : pak Bupati/Walikota, pak Camat dan pak Lurah, beserta sekretaris-sekretarisnya. Sebelumnya sistem pemerintahan sangat dipengaruhi oleh wilayah adat, ada : kenagarian yang nyaris mirip seperti 'negara kota' pada jaman Yunani kuno, lalu ada yang namanya resort dan jorong. Proses pengambilan keputusan yang menentukan hitam-putihnya nagari melibatkan unsur-unsur kaum cerdik-pandai, alim ulama dan pemangku adat. Orang Minang menjulukinya sebagai 'tungku tigo sajarangan', suatu idiom yang sangat tepat untuk mengambarkan adanya harmonisasi dan kesetaraan dalam mengambil keputusan. Tungku tigo sajarangan' maksudnya adalah sebuah tungku perapian yang disokong oleh 3 buah kaki dengan posisi, panjang dan jarak yang sama sehingga kedudukannya menjadi kokoh.