Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Hampir semua orang Minang mengetahui konsep dasar adat mereka 'Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah. Syara' mangato adat mamakai', semuanya akan mengutip dengan fasih pepatah tersebut. Namun dari perdebatan yang sering dilakukan oleh orang-orang Minangkabau untuk mencari rumusan yang tepat tentang pengertiannya, mereka kelihatannya berbeda pendapat. Ada pertanyaan krusial terkait dengan hal ini seperti yang pernah dikemukakan oleh budayawan Wisran Hadi. Proses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam adat Minangkabau misalnya dipertanyakan : 

"Jika adat Minangkabau yang dilestarikan merujuk kepada ajaran Islam, maka mazhab yang mana yang harus dijadikan rujukan. Semua serba tak pasti dan tidak mau memastikannya. Namun pelestarian itu terus diusahakan untuk dapat diberlakukan sampai sekarang. Dapat dikatakan bahwa orang Minang kini sedang melestarikan suatu adat yang kabur rujukannya, atau orang Minang sedang melestarikan suatu kekaburan". (Wisran Hadi, Sekali lagi tentang; ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH - Kegagalan dalam menafsirkan sebuah rujukan, tahun 2000) 

Dalam tulisannya yang lain, beliau menyatakan bahwa 'way of life' orang Minang tersebut juga bukan merupakan suatu rumusan yang pasti, hitam diatas putih seperti halnya undang-undang dasar suatu negara : 

"Hampir semua orang Minang beranggapan bahwa ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH (selanjutnya disingkat ABS-SBK) adalah hasil kesepakatan antara alim ulama, ninik mamak dan candiak pandai di Bukit Marapalam dipenghujung Perang Paderi. Namun sampai sekarang, tidak seorangpun ahli sejarah apalagi para penghulu yang dapat menyodorkan manuskrip atau naskah kesepakatan itu kepada kita. Para ahli sejarah maupun para penghulu pun tidak berani menentukan hari, tanggal, bulan dan tahun bila lahirnya kesepakatan itu. Juga mereka tidak dapat menyajikan kepada kita daftar nama-nama para ulama, ninik mamak dan cadiak pandai yang hadir dan menyetujuinya. 

Boleh jadi ABS-SBK hanya sebatas konsensus saja, hasil dari suatu konspirasi. Mungkin ada beberapa orang penghulu dan beberapa ulama mencari “sitawa sidingin” mendamaikan kedua pihak (ulama dan ninik mamak) yang telah babak-belur dalam perang saudara yang panjang itu"

Rumusan yang 'menyelipkan' kata 'syara' diantara adat dan kitabullah-pun menjadi pertanyaan, karena syara' yang berarti hukum, maka ini bisa ditafsirkan hukum dalam bentuk apapun, bisa hukum agama ataupun hukum negara, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Makanya pernah usaha yang dilakukan oleh beberapa penghulu untuk melihat korelasi antara adat dengan Pancasila lalu dirumuskan adat Minangkabau adalah Pancasila. 


Dalam mencari jalan keluar terhadap ketidak-jelasan ini, Wisran Hadi kemudian menawarkan suatu konsep perbaikan yang dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antara adat Minangkabau dengan Islam : 

"Jika orang Minang mau berpikir logis, bahwa Islam yang dianutnya adalah satu-satunya pedoman hidup dunia akhirat, maka konsekuensinya mereka harus merubah ABS-SBK menjadi jelas dan tuntas; Adat Basandi Al Quran dan Hadist atau Adat Minangkabau itu adalah Al Quran dan Hadist. Kata-kata yang kabur makna seperti ABS-SBK, yang dapat membuat orang menafsirkan salah harus dibuang. Setidak-tidaknya untuk menghindari penafsiran – penafsiran yang mengacaukan". 

Saya mengutip dengan cukup lengkap tulisan dari almarhum ini karena beranggapan isinya mewakili perbedaan paham yang terjadi di kalangan orang Minang tentang dasar adat mereka tersebut. 

Untuk menjelaskan semua kekaburan ini, kita sebenarnya harus mencoba menelusuri kembali sejarah bertemunya adat Minangkabau dengan ajaran Islam, mungkin dari situ kita bisa mengungkapkan secara lebih jelas tentang 'kondisi bathin' para pelaku sejarah, termasuk dalam posisi mereka sebagai pihak yang bertentangan dimasa lalu, sehingga bermuara kepada rumusan ABS-SBK. 

Berdasarkan catatan sejarah, Islam masuk ke ranah Minangkabau melalui berapa tahapan. 

"Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif". (Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka). Dilihat dari aliran Islam yang dianut oleh Syaikh Abdurrauf Singkil, kita bisa menduga bahwa Islam yang pertama kali diperkenalkan di Minangkabau adalah beraliran tasawuf mengingat ulama ini dikenal sebagai tokoh yang menyebarkan tarekat Syattariyah di Sumatera. 

Sebelum bersentuhan dengan Islam, adat Minangkabau dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Besar kemungkinan penyebaran Islam pada tahap pertama ini menghasilkan sinkretisme dalam adat Minangkabau, nilai-nilai Islam diterima sekaligus beberapa ritual Hindu dan Budha juga tidak dilepas semuanya, termasuk juga budaya lama yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam seperti klenik, judi, mabuk-mabukan, dll. 

Pada tahap selanjutnya, Islam masuk melalui tokoh-tokohnya yang baru datang dari tanah suci, yaitu : yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang tahun 1803 yang dikenal dengan sebutan kaum Paderi. Ada 2 kondisi penting terkait dengan kedatangan para ulama ini : Waktu itu di Arab Saudi sedang gencar-gencarnya pembersihan yang dilakukan oleh gerakan Wahabi yang bekerjasama dengan dinasti Ibnu Saud. Terlepas dari pro-kontra kalangan umat Islam terhadap sikap kaku dan keras kaum Wahabi di Arab Saudi tersebut, mereka memang boleh dikatakan sukses untuk memerangi kelakuan tahayul dan khurafat yang sudah menjangkiti umat Islam disana. Ketiga ulama Minang yang baru pulang dari Arab Saudi ini kemudian membawa ajaran Islam yang keras di ranah Minangkabau. Kondisi penting yang lain adalah tentang penerapan ajaran Islam yang terjadi dalam masyarakat Minang yang banyak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Jadi pertentangan kaum Paderi bukan terjadi antara Muslim dengan non-Muslim, melainkan antar sesama umat Islam yang diwakili oleh para ulama dan kaum adat. Setelah terjadi pertikaian dan kaum adat terdesak, mereka lalu mengundang pemerintah kolonial Belanda untuk ikut campur membantu, suatu keputusan yang akhirnya disesali seumur hidup. Pada akhir-akhir perang Paderi kaum adat yang semula berada dipihak lawan berbalik arah mendukung kaum Paderi untuk bersama-sama melawan Belanda. 

Perubahan keadaan inilah yang kemudian menjadi muara dari munculnya konsensus antar semua pihak yang memegang peranan di masyarakat Minangkabau, yaitu : kaum ulama, kaum adat dan cerdik-pandai, yang menghasilkan rumusan 'adat basandi syara', syara' basandi kitabullah'. 

Menjawab pertanyaan mengapa rumusan way of life yang dijadikan dasar bagi adat Minangkabau tersebut tidak dituangkan dalam bentuk tertulis seperti misalnya prasasti atau kitab hukum, terdapat beberapa kemungkinan, salah satu yang paling masuk akal adalah faktor budaya Minang yang pada dasarnya memang merupakan budaya lisan. Sebagian besar aturan dan hukum adat dimuat dalam tambo, 'dibenamkan' dalam kisah sejarah dan disampaikan secara turun-temurun melalui gerakan seni seperti randai dan saluang yang pemainnya berkeliling dari satu nagari ke nagari lain untuk menyebarkan informasi. Jawaban lainnya adalah mungkin para tokoh yang membuat konsensus tersebut menyadari bahawa rumusan ABS-SBK tersebut bukan suatu keputusan yang 'sekali jadi', tapi merupakan awal dari poses internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam budaya Minang. Faktanya memang sampai sekarangpun proses tersebut masih berjalan. Banyak aturan-aturan adat yang masih menjalani 'pematangan' dengan masuknya ajaran Islam seperti aturan hukum waris dan status perkawinan sesuku. 

Menurut saya, rumusan dasar falsafah Minangkabau dengan 'menyelipkan' syara' - hukum ditengah-tengah antara adat dan kitabullah merupakan suatu tindakan yang cerdas dalam menghindari pertikaian yang tidak perlu dengan adanya aliran dan mazhab yang terdapat dalam ajaran Islam. Al-Qur'an dan hadits memang diaplikasikan dalam kehidupan melalui tafsir para ulama, bahkan sejak awal diturunkan, ayat-ayat Al-Qur'an dipahami melalui penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah sendiri dan banyak dituangkan dalam hadits. Islam mengenal banyak mazhab, di bidang fiqih ada mazhab Syafei, Maliki, Hambali, Hanafi, di bidang teologi ada kaum Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, lalu dalam memahami takdir ada aliran Jabariyah dan Qadariyah, secara politik muncul aliran Syiah yang ujungnya mempengaruhi dasar-dasar agama berupa aqidah dan ibadahnya yang berbeda. Belum lagi adanya aliran tasawuf yang sudah lebih dahulu tertanam dalam budaya Minangkabau seperti : Syattariyah dan Naqsyabandiyah. 

Sekalipun menganut paham Wahabi yang kaku dan keras, para ulama yang bersepakat dalam merumuskan dasar falsafah Minangkabau tersebut kelihatannya tidak memaksakan pemahaman mereka untuk dipilih sebagai nilai-nilai yang akan mewarnai adat Minangkabau pada proses selanjutnya. Maka rumusan umum dibuat, penafsiran dalam bentuk rumusan hukum (syara') dibuat dengan cakupan luas , selama masih berdasarkan Al-Qur'an serta hadits sebagai 'juklak'- petunjuk pelaksanaannya, penafsiran tersebut bisa dipakai untuk mewarnai adat Minangkabau. Dilihat dari rumusan ABS-SBK maka kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara adat dengan nilai-nilai Islam adalah 'internalisasi' dan bukan 'interaksi', karena aliran nilai-nilai tersebut berjalan satu arah, adat haruslah disesuaikan dengan syara' sedangkan syara' tidak boleh keluar dari koridor Al-Qur'an dan hadits. Penetapan rumusan yang menyelipkan syara' diantara adat dan nilai-nilai Islam kemungkinan dibuat karena proses internalisasi tersebut tidak dimasukkan dalam suatu 'ruang hampa'. Adat Minangkabau sebelumnya sudah eksis lengkap dengan aturan dan kaedah hukumnya. masuknya nilai-nilai Islam bertujuan sebagai 'batu ujian' untuk menyeleksi mana aturan adat yang masih bisa dipakai dan mana yang harus dibuang karena bertentangan dengan nilai-nilai islam, disamping banyak juga yang harus berubah bentuk dan dimodifikasi. 

Sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi, gerakan kaum Wahabi berhasil meluruskan perbuatan khurafat dan penyimpangan ajaran Islam, maka kaum Paderi juga boleh dikatakan menghasilkan hal yang sama. Adat Minangkabau setelah perang tersebut merupakan sesuatu yang paling kecil praktek-praktek sinkrenismenya, sekalipun disana-sini masih ada. Bahkan falsafah dasar ABS-SBK berhasil menciptakan kondisi 'kalau bukan beragama Islam otomatis bukan orang Minangkabau'. Gerakan kaum Paderi berhasil 'mancuci darah kumuah' - membuang darah kotor yang muncul dalam masyarakat, sehingga adat Minangkabau setelah itu kembali kepada keseimbangannya sebagai sesuatu yang berjalan diatas nilai-nilai Islam. 

Menilai kondisi kekinian yang sedang berlangsung di Sumatera Barat, adanya pertikaian antara masyarakat yang berdiri dibelakang para ulama dengan pejabat pemerintah disisi yang berseberangan, dipicu oleh rencana 'investasi kafir' oleh Group Lippo, kita bisa melihat adanya beberapa kesamaan dengan kondisi sebelum pecahnya perang Paderi antara kaum ulama dengan kaum adat dijaman dahulu. Kaum ulama melakukan gerakan untuk meluruskan masyarakat, yang sekalipun sudah memeluk Islam namun menjalankan praktek-praktek kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kaum adat pada waktu itu adalah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam menentukan hitam-putihnya keadaan rakyat, karena sebagian besar keputusan ada ditangan mereka. Pada saat sekarang juga terjadi hal yang sama, peranan kaum adat di jaman dulu diganti oleh kaum cerdik-pandai yang dimanisfestasikan oleh pejabat pemerintah, organisasi massa pendukung, sebagian kalangan akademisi, sebagai pihak yang memegang kekuasaan dominan. Ini akibat sistem yang diterapkan pemerintah Orde Baru yang memang memanjakan golongan ini dalam mengambil porsi yang lebih besar dalam pemerintahan. 

Disisi lain, sebagai masyarakat yang terbuka dalam melakukan interaksi dengan budaya lain, terpaan dari budaya materialisme yang berasal dari dunia barat memunculkan ekses negatif, merosotnya moralitas generasi muda yang meniru kelakuan orang-tua mereka yang juga mengalami kerusakan, maraknya penyakit masyarakat seperti narkoba, kebebasan seksual dan tempat-tempat mesum, tidak ada lagi wibawa para penghulu dan ulama, karakter sebagian masyarakat yang mendewa-dewakan materi, pangkat dan jabatan, telah merusak keseimbangan yang selama ini selalu dipelihara orang Minang. Kaum cerdik-pandai dianggap menjadi bagian penting penyebab kerusakan yang terjadi karena kekuasaan memang ditangan mereka. Banyak kebijakan yang memberi ruang bagi ekses-ekses negatif tersebut untuk berkembang. 

Kasus investasi Group Lippo hanyalah pemicu yang memang sudah ditakdirkan untuk 'mamacah bisua' - memecah bisul keresahan masyarakat Minang yang sudah terpendam cukup lama, akibat mereka harus hidup dalam ketidak-seimbangan. Pertimbangan yang semata-mata hanya melihat keuntungan materi, dicampur dengan isu pemurtadan dan kristenisasi menjadi 'ramuan mujarab' untuk mematangkan situasi. Seperti halnya perang Paderi, motor untuk melakukan perlawanan ada ditangan para ulama. Kalkulasi kekuatan masing-masing pihak memang perlu diperdebatkan, misalnya : apakah gerakan para ulama tersebut sudah masif dan memang didukung oleh sebagian masyarakat Minang, baik yang ada di kampung halaman maupun diperantauan. Penyebaran informasi tentang tujuan gerakan kelihatannya terus dilakukan ke semua nagari melalui khutbah-khutbah di masjid maupun selebaran. Di Pihak lain, para pejabat kelihatannya juga memasang sikap 'kareh harang' - ngotot untuk mempertahankan keputusan yang diambil. Ada kesan, mungkin karena sudah terlalu lama memegang kekuasaan, secara kolektif kaum cerdik-pandai ini sudah tidak peka terhadap dinamika yang muncul dalam masyarakat. Reaksi dan lontaran yang disampaikan malah menjadi kontra-produktif karena makin memanas-manasi pihak yang menentang. 

Sampai situasi terakhir tidak ada gelagat ada salah-satu pihak yang mengambil sikap surut kebelakang barang beberapa langkah. Ini menimbulkan pertanyaan : apakah keadaan ini akan memunculkan kembali perang Paderi jilid 2..?? kalau ini yang terjadi, kita bisa mengambil suatu perbandingan ketika terjadinya pertikaian yang meletuskan perang Paderi pada awal abad ke-19, dua ratus tahun setelah masuknya Islam di Ranah Minangkabau. Sekarang 200 tahun sudah berlalu, apakah akan terjadi 'siklus 200 tahun'..?. Masyarakat Minang harus menjalani masa-masa pahit pertikaian yang terjadi di kalangan mereka, untuk berproses 'mancuci darah kumuah' kembali, untuk mencapai keseimbangan baru..?? Wallahu'alam..


0 komentar: