Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Ketika masih mahasiswa di Bandung puluhan tahun lalu, saya pernah mengikuti forum diskusi yang diadakan oleh suatu kampus. Sebagaimana umumnya yang terjadi pada saat itu, saat dunia poilitik dibawah kekuasaan Orde Baru, forum-forum diskusi mahasiswa banyak yang bertema perlawanan terhadap kekuasaan otoriter. Dalam satu session tanya jawab seorang peserta yang kebetulan berasal dari Sumatera Barat mengajukan pernyataan sebaiknya karakter pemimpin Indonesia bisa mencontoh apa yang ada di Ranah Minangkabau, suatu sistem demokratis yang memunculkan juga pemimpin demokratis. Pernyataan ini lalu dijawab dengan 'ketus' oleh salah seorang tokoh mahasiswa yang menjadi pembicara utama di forum tersebut, dia berkata :"Itu jaman dulu, sekarang ini orang Minang tidak kalah feodalnya dengan orang Jawa, 'tingkat merendahkan diri' mereka terhadap pejabat pemerintahan lebih hebat dibandingkan rakyat Jogya terhadap Sultan mereka..". 

Pernyataan ini subjektif memang, disimpulkan tanpa melalui survey ilmiah yang bisa dipertanggung-jawabkan, namun tidak urung saya merenungkan kampung halaman saya, ketika menilai situasi terkini yang terjadi disana. 

Sudah berjalah bertahun-tahun, sejak pemerintah Orde Baru dengan aturan bentuk pemerintah daerah yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, masyarakat Minangkabau harus menerima suatu bentuk pemerintahan yang dirasa asing bagi mereka. Sampai ke pelosok negeri ada kabupaten, kecamatan dan kelurahan, lengkap dengan perangkat pemerintah : pak Bupati/Walikota, pak Camat dan pak Lurah, beserta sekretaris-sekretarisnya. Sebelumnya sistem pemerintahan sangat dipengaruhi oleh wilayah adat, ada : kenagarian yang nyaris mirip seperti 'negara kota' pada jaman Yunani kuno, lalu ada yang namanya resort dan jorong. Proses pengambilan keputusan yang menentukan hitam-putihnya nagari melibatkan unsur-unsur kaum cerdik-pandai, alim ulama dan pemangku adat. Orang Minang menjulukinya sebagai 'tungku tigo sajarangan', suatu idiom yang sangat tepat untuk mengambarkan adanya harmonisasi dan kesetaraan dalam mengambil keputusan. Tungku tigo sajarangan' maksudnya adalah sebuah tungku perapian yang disokong oleh 3 buah kaki dengan posisi, panjang dan jarak yang sama sehingga kedudukannya menjadi kokoh. 


Terdapat beberapa catatan sejarah tentang siapa yang menduduki jabatan yang terdapat dalam konsep ini, orang Minang menjulukinya : Rajo Alam yang ada di Pagaruyung, Rajo Adat berkedudukan di Buo dan Rajo Ibadat yang terdapat di Sumpur Kudus. Kisah tentang penguasa-penguasa ini bercampur aduk antara fakta dengan dongeng. Sampai sekarang kita tidak menemukan bukti arkeologis tentang siapa orangnya, keberadaan kuburan mereka dan siapa pewaris selanjutnya. Sekalipun demikian, proses pengambilan keputusan yang berlaku di Minangkabau memang selalu harus melalui dialog antara ketiga unsur tersebut. 

Saya tidak bermaksud untuk memperdebatkan soal keberadaan pemangku-pemangku jabatan yand ada dalam konsep 'tungku tigo sajarangan', karena bisa jadi ini hanyalah suatu perlambang tentang 'local wisdom' masyarakat Minangkabau tentang kepemimpinan dalam pandangan mereka. Orang Minang umumnya tidak melihat suatu persoalan dengan hitam-putih, ini mungkin akibat karakter masyarakat mereka yang egaliter dan demokratis. Pandangan ini tergambar dari pepatah mereka : "Nan buto pahambuih lasuang, Nan pakak palapeh badia, Nan lumpuah pahunyi rumah, Nan kuat pambawo baban, Nan cadiak ka dilawan barundiang, Nan pandia ka disuruah suruah" - si buta bertugas meniup tungku, si tuli untuk meledakkan meriam, si lumpuh bertugas menghuni rumah, si kuat tenaga untuk membawa beban, si pinter sebagai lawan berunding, yang bodoh untuk disuruh-suruh. Dalam kekurangan dan kelebihannya, tidak ada satupun yang tidak bisa dimanfaatkan. 

Demikianlah pandangan yang kelihatannya mendasari konsep 'tungku tigo sajarangan' tersebut. Konsep ini tidak bicara soal oknum, tetapi sesuatu hal yang lebih mendasar dari itu, terkait dengan 'paradigma berpikir' yang bisa dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga menghasilkan suatu ketetapan yang menguntungkan semua pihak, merupakan hasil dari kajian dari berbagai sisi. Cara berpikir kaum cerdik pandai yang dimanifestasikan dalam struktur pemerintahan sebagai pejabat resmi, memiliki karakter yang lebih pragmatis, melihat untung-rugi secara nyata dan ekonomis, lebih oportunis dan selalu melihat peluang. Sedangkan kaum alim ulama tentu saja tidak akan bisa terlepas dari dalil-dalil ajaran Islam, soal halal-haram serta kemaslahatan umat secara ruhaniyah, dan kaum adat memiliki sudut pandang yang lebih fokus kepada kelanggengan adat-istiadat, anak kemenakan dan keselamatan kampung/kaum. Ketiga unsur dalam kepemimpinan ini disamping memiliki kelebihan juga mengandung kekurangannya masing-masing yang akan saling menutupi satu sama lain. Kelemahan kaum cerdik pandai yang lebih melihat keuntungan materil akan ditutupi oleh kaum alim-ulama dan pemangku adat, sebaliknya 'kekakuan' alim-ulama dan kaum adat akan 'diencerkan' oleh keluwesan unsur pemimpin dari kaum cerdik-pandai. Ketiga unsur ini berdialog lalu menghasilkan rumusan yang memenuhi kepuasan semua orang. Inilah kearifan lokal orang Minangkabau yang sudah berjalan bertahun-tahun sebelum semuanya dirusak oleh sitem Orde Baru. 

Dengan masuknya konsep dari pemerintah yang sama sekali tidak akrab dalam kehidupan orang Minang, maka struktur kemasyarakatannya menjadi berubah. Kedudukan kaum cerdik-pandai yang terwakili dalam jabatan pemerintah seperti Gubernur, Bupati/Walikota dan turunan-turunannya menjadi lebih dominan, diakomodasikan dalam struktur pemerintahan daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Perimbangan kekuasaan dalam mengambil keputusan menjadi timpang 'barek ka satu kaki', kaum alim ulama dan pemangku adat menjadi tersingkir, otoritas dicabut dari mereka. Pihak yang menentukan hitam-putihnya nagari dikuasai oleh pejabat pemerintah, yang sekalipun mereka umumnya masih dari suku Minang sendiri, namun memiliki paradigma berpikir yang pragmatis dan oportunis, 'nan jaleh bara pitih masuak' - yang penting bagaimana keuntungan ekonomisnya. 

Sedikit banyak, ketimpangan ini sebenarnya mendapat dukungan juga dari sebagian orang Minang. Mungkin akibat pengaruh budaya materialistis yang melanda umat manusia, imbasnya membuat sebagian orang Minang mengambil keuntungan dengan memberikan dukungan dan merapatkan diri kepada para cerdik-pandai yang berhasil menjadi pejabat, baik di daerah maupun di pusat yang pengaruh kekuasaannya juga sampai ke wilayah Sumatera Barat. Muncul 'harimau' baru untuk melancarkan urusan demi mendapat keuntungan materi. Orang Minang terkenal dengan pameo tentang 'urang awak' yang menjadi menteri, penguasa lembaga pemerintah pusat, urang yang telah 'mamacik' - memegang - jabatan di rantau :"Aden masih dunsanaknyo.." - masih punya hubungan saudara. Semuanya mengaku punya hubungan, kalau perlu diusahakan sempat berfoto bersama, si 'harimau' membelalak dia ikut membelalak, lalu foto dicetak besar-besar untuk ditempatkan di ruang tamu, seperti cime'eh - cemooh orang Minang :"Untuak manakuik-nakuik mancik." - buat menakut-nakuti tikus. Kekuasaan pejabat memperlancar segalanya, lalu para pengusaha yang berniat melakukan investasi di Ranah Minangkabau merasa cukup untuk 'mamacik kuduak' - memegang tengkuk 'urang awak' yang menjadi tokoh di pusat maupun daerah. Lancar di pusat lancar juga di daerah, karena ada aturan yang berjalan dibawah meja, bahwa keberhasilan seseorang untuk berkuasa di daerah tidak terlepas dari pengaruh tokoh masyarakat Minang yang ada di pusat. Begitulah yang terjadi di jaman Orde Baru. 

Ketimpangan ini diperparah lagi dengan kelemahan internal yang terdapat dalam kedua unsur lain. Kaderisasi ulama di Sumatera Barat berjalan mundur. Melihat akar permasalahannya memang seperti memikirkan mana yang duluan antar telur dan ayam. Yang jelas posisi alim-ulama memang sudah lama tidak lagi menjadi kebanggaan sebuah keluarga Minang. Saya masih ingat ketika kecil hidup di kampung, murid-murid sekolah agama bukan dipandang sebagai kelompok masyarakat yang bergengsi, bahkan nyaris direndahkan dengan menyatakan mereka sebagai 'labai mambaok kambuik mamintak bareh dari rumah ka rumah' - santri membawa karung meminta sumbangan beras. Para orang-tua lebih cenderung menyekolahkan anak mereka ke sekolah negeri lalu dipasang cita-cita menjadi sarjana ilmu sekuler. Sekolah agama seperti Thawalib dan pesantren lainnya yang pernah berjaya dimasa lalu bukanlah pilihan keluarga Minang perkotaan. Mungkin karena melihat kekuasaan sudah berpihak kepada kaum cerdik-pandai, tidak jarang para alim-ulama kemudian 'berubah posisi' masuk dalam struktur-struktur pemerintahan seperti pejabat eksekutif dan DPRD, ikut-ikutan berpikiran pragmatis. 

Demikian juga yang terjadi pada pemangku adat. Ada kebuntuan wawasan dalam mensikapi perkembangan jaman. Entah karena karakternya yang memang bertindak untuk menjaga kelangsungan adat, atau disebabkan oleh ketakutan yang terlalu berlebihan terhadap perkembangan dan pembaharuan yang terjadi. Faktor makin membesarnya otoritas kaum cerdik-pandai dalam konfigurasi kekuasaan di Minangkabau juga mempengaruhi sikap mereka terhadap pemangku adat. Terdapat beberapa kejadian penghulu yang seharusnya bertugas di kampung untuk menjaga kaum kerabat malah dipilih dari orang yang tinggal di rantau hanya karena dia kaya-raya dan berkuasa, padahal sama sekali tidak punya waktu untuk mengurus kaumnya. Pilihan ini dibuat secara sadar oleh orang-orang Minang sendiri yang sudah dirasuki pikiran pragmatis dan oportunis tadi. 

Inilah akar permasalah yang terjadi, termasuk ketika orang Minang ribut-ribut soal investasi Group Lippo untuk mendirikan sekolah, rumah sakit dan mal di Padang. Pertikaian yang terjadi bisa dilihat secara transparan, itu adalah pertentangan antara paradigma berpikir kaum cerdik-pandai disatu sisi, dengan para laim-ulama dan kaum adat disisi yang lain. Kaum cerdik-pandai yang terwakili dalam struktur pemerintahan melulu memberikan alasan soal berapa jumlah tenaga kerja yang bisa diserap, mengatasi angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi, melulu soal 'bara pitih masuak', sedangkan pada kubu yang lain persoalan aqidah umat, pemurtadan, pelecehan agama Islam, terganggunya kelangsungan adat-istiadat, merupakan jargon yang dijadikan andalan. Tanggapan dari kedua-belah pihak juga menggambarkan bagaimana penilaian negatif yang sudah merasuki alam bawah sadar mereka. Para pejabat menuduh alim-ulama dan tokoh adat sebagai orang bodoh dan terkebelakang, tidak bisa menerima kemajuan dan berpikiran sempit, sebaliknya dari kubu seberang menuduh para pejabat cuma memikirkan uang termasuk tuduhan 'bara pitih nan masuak ka kantong pribadi'. 

Kesalahan fatal sebenarnya juga dilakukan oleh Group Lippo sendiri. Mereka lupa bahwa ini adalah jaman reformasi yang membuka peluang bagi masyarakat untuk menyatakan sikap. 'Mamacik kuduak' - memegang tengkuk beberapa tokoh Minang dipusat dan daerah yang tergambar dengan kehadiran mereka pada peletakan batu pertama di Padang, tidak menyelesaikan masalah. James Riady lupa untuk melibatkan kaum alim-ulama dan para tokoh adat, mengakomodasikan persoalan yang menjadi keberatan mereka dan menganggap semua urusan selesai dengan menguasai para pejabat pemerintahan di pusat dan daerah. Para ulama dan pemuka adat lalu berhasil mengajak masyarakat untuk mendukung mereka dan melakukan 'people power' menentang investasi Lippo tersebut. Ha; yang sangat sensitif bagi orang Minang, yaitu soal usaha kristenisasi dan pemurtadan serta faktor James Riady yang terkait erat dengan kegiatan tersebut merupakan simpul pemersatu antara para ulama dan kaum adat dengan masyarakat Minang pada umumnya.

Semua sudah terpampang dengan jelas.., lalu bagaimana sikap orang Minangkabau dalam menghadapi situasi ini..? Menarik untuk menyimak perkembangannya. Kasus investasi Group Lippo ini bisa jadi merupakan langkah awal perubahan mendasar yang akan terjadi di Ranah Minangkabau. Dimasa mendatang akan muncul masalah-masalah lainnya, ada usaha pengembangan wilayah Sumatera Barat sebagai daerah wisata, pembukaan akses-akses terhadap kedatangan orang asing, dll. Muaranya ada beberapa kemungkinan, yaitu adanya reposisi konsep 'tungku tigo sajarangan' dengan mengembalikan otoritas kaum alim-ulama dan pemangku adat ke tempat semula.Namun bisa juga terjadi sebaliknya yang akan menghasilkan pertarungan dengan salah satu pihak keluar sebagai pemenang. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, bisa dipastikan adat Minangkabau akan kehilangan ruh-nya sebagai masyarakat yang egaliter dan demokratis, berubah sesuai apa yang dituduhkan si tokoh mahasiswa Bandung beberapa tahun lalu, menjadi masyarakat feodal..

1 komentar:

pakdhal said...

Ketika kran reformasi dibuka oleh mahasiswa di akhir abad 20 dan memasuki abad 21, seharusnya orang Minangkabau sudah bisa berjalan sejajar dengan saudara-saudara lainnya di negara ini dengan arti kata ketika ke khas-an mereka sebagai ciri kearifan lokal mereka tuntut, selayaknya Minangkabau melakukan perjuangan yang sama dengan menuntut penguatan tigo tungku sejarangan dan tali tigo sapilin itu. Kita harus mempertanyakan kenapa hal ini tak ada dalam pikiran kita waktu itu. Kalau ini dituntut dan diajukan untuk pelaksanaan dan implementasi tiga tungku sejarangan itu, yakinlah kita tidak akan ada lagi gejolak-gejolak yang terjadi di sumbar ini yang diakibatkan oleh kesalahan dalam mengambil keputusan karena ketiga unsur yang ada di masy. itu sudah diakomodir pendapat mereka. Kaum adat dapat berperan secara adat, kaum ulama dapat berperan secara keulamaannya. Jadi keputusan itu tak hanya dibuat oleh Eksekutif dan legislatif tetapi disahkan juga oleh Ninik mamak dan alim ulama. Disanalah kaum ini bangkit kembali dari tidur panjang mereka.