Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.


Persoalan tentang asal-mula nama 'Allah' ini sudah banyak didiskusikan orang, bukan hanya dikalangan internal umat Islam saja, tapi perbedaan pemahaman yang sengit juga terjadi di intenal agama samawi lainnya seperti Kristen. Hal ini dikarenakan untuk sebagian pemeluk Kristen terutama mereka yang berbahasa Arab, nama 'Allah' ini juga dipakai untuk menjadi nama generik (proper name) Tuhan mereka, dan ini sudah terjadi jauh sebelum agama Islam datang. Tulisan ini berusaha untuk melihat asal-mula nama 'Allah' berdasarkan sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan mengajukan pikiran logis untuk mengungkapkan mengapa nama tersebut dipakai dalam ajaran Islam. 

Al-Qur'an memberikan informasi bahwa sebagai suatu sebutan, nama 'Allah' sudah diucapkan sejak manusia pertama. Kita memang tidak menemukan sebutan ‘Allah’ keluar dari mulut nabi Adam dan Hawa termasuk juga ketika Al-Qur’an bercerita tentang penciptaan manusia dan kehidupan kedua nenek moyang umat manusia tersebut ketika berada di ‘jannah’. Satu-satunya sebutan Tuhan yang ada, hanyalah kata ‘rabb’, yaitu bahasa Arab dari nama jabatan Tuhan : 

Keduanya berkata: "Ya Tuhan (rabb) kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A'raaf 23) 

Kita juga tidak menemukan nama diri ‘Allah’ tersebut keluar dari mulut Iblis maupun malaikat pada peristiwa itu. Para malaikat dicatat menyebut kata ganti orang pertama ‘Engkau’ dan Iblispun juga demikian, selain menyebut ‘Engkau’ juga menyebut kata ‘Rabb - Tuhan’ sebagai nama jabatan. Apa rahasia dibalik ini..?? Apakah waktu disurga dan ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, Allah belum memperkenalkan nama-Nya..?? 



Beberapa bulan belakangan saya selalu menyempatkan diri untuk shalat shubuh ke mesjid di dekat rumah. Dulu sebenarnya saya sering juga melakukan shalat ke mesjid, baik diwaktu shubuh maupun maghrib dan ‘Isya, bahkan kalau lagi ‘mood’ dan ada kesempatan, shalat dhuhur dan ‘ashar pun saya lakukan juga di mesjid. Namun beberapa bulan kemudian kemalasan kembali melanda, rasanya sangat berat untuk melangkahkan kaki, kalau sudah demikian biasanya otak mulai ‘jalan’ untuk mencari-cari alasannya. Yang paling ‘masuk akal’ adalah : percuma ibadah dilakukan dengan memaksakan diri, toh..akhirnya sekalipun shalat di mesjid tapi selalu dengan hati terpaksa, lebih baik shalat di rumah karena bisa dilakukan tanpa ada perasaan terpaksa, ibadahnya tentu ‘lebih berkualitas’… 

Sekarang saya mulai lagi menyempatkan diri ke mesjid, khususnya untuk shalat shubuh, karena dari kelima shalat wajib, hanya shalat shubuh-lah yang tidak mempunyai alasan yang masuk akal untuk tidak dilakukan di mesjid, kecuali karena ngantuk atau tidur. Ketika waktu dhuhur di siang hari ataupun ‘ashar di sore hari sudah tiba, kita masih punya banyak alasan, biasanya karena masih bekerja di kantor atau ditempat lain sehingga berhalangan untuk mendatangi mesjid. Ketika waktu maghrib dan ‘isya datang, kita masih bisa punya alasan baru sampai dirumah setelah capek bekerja seharian. Namun untuk shalat shubuh, apa alasan kita untuk tidak dilakukan di mesjid..?? sebelum shubuh kita sudah beristirahat cukup panjang (kecuali buat pekerja malam seperti ronda, keamanan, maling, prostitusi, termasuk bagi yang suka dugem, dll), sebenarnya ketika bangun setengah jam sebelum shubuh, kemungkinan besar kita masih mampu. 

Satu-satunya halangan untuk tidak pergi ke mesjid di waktu shubuh adalah karena ‘pingin menambah jam tidur’, cuma itu satu-satunya alasan. Makanya setiap azan shubuh selalu ada tambahan seruan :”Shalat itu lebih baik daripada tidur..” – asshalaatukhairul mina annaum…”. Di Masjidil Haram dan masjid Nabawi, jamaah selalu penuh melakukan shalat shubuh berjamaah, padahal kedua masjid tersebut gedenya bukan main. Di negeri kita, di kota manapun, di RT manapun (umumnya di daerah mayoritas Muslim, mesjid/musholla ada disetiap RT) jamaahnya nggak cukup satu shaf (sekitar 20 s/d 25 orang). Mungkin karena seruan azan ‘asshalaatukhairul minaan naum’ di Arab Saudi dan di negeri kita berbeda, kalau disono seruan ‘naum’nya pendek, kalau dinegeri kita seruannya dipanjangin menjadi ‘nauuuuuummm…”. ‘Naum’ artinya ‘tidur’, mungkin ini yang menyebabkan jamaah shubuh di negeri kita cuma sedikit, karena ‘nauuuuuummm’nya kepanjangan, jadinya tidurnya juga ikut diperpanjang…. 



Sistem demokrasi yang dianut negeri kita sangat membuka peluang munculnya sosok pemimpin yang berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakat didaerah yang dipimpinnya. Sekalipun misalnya rakyat berkehendak memilih pemimpin yang sama agamanya, namun pemeluk agama lain tetap punya kesempatan melalui pencalonan satu paket antara pejabat dan wakilnya, lalu sang wakil bisa naik menjadi 'komandan' ketika si pemimpin berhenti dari jabatannya. Ini misalnya terjadi di Solo ketika Jokowi mengundurkan diri karena terpilih menjadi gubernur Jakarta, lalu wakilnya yang Katolik otomatis naik menjadi walikota Solo, menyelesaikan periode masa jabatan sampai waktu pemilihan kepala daerah berikutnya. Pemimpin non-Muslim juga bisa menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota di daerah mayoritas Muslim, ketika dalam pencalonan, suara umat Islam harus terpecah untuk memilih beberapa calon Muslim yang mengajukan diri. Ini misalnya terjadi di Kalimantan Barat yang berhasil menjadikan seorang non-Muslim menjadi Gubernur di wilayah propinsi yang penduduk Muslimnya lebih dari 50% tersebut. Dalam sistem demokrasi, pertimbangan untuk memilih pemimpin diserahkan kepada masing-masing individu, bagaimanapun subjektif dan 'bodoh'nya pertimbangan mereka. Ini bukan hanya berlaku di Indonesia saja tapi juga bagi semua negara. 

Seseorang bisa saja memilih atau tidak memilih pemimpinnya karena alasan agama, suku, gender, atau bahkan untuk alasan yang sangat sepele, misalnya karena suka yang berhidung mancung, memilih yang lebih ganteng atau cantik, suka dengan calon yang berkelakuan seperti pelawak, atau bahkan menjatuhkan pilihan karena menghitung kancing baju. Demokrasi juga membuka peluang bagi maling, koruptor, rasis, boss gangster atau mafia, sepanjang belum terbukti bersalah melalui keputusan pengadilan, untuk memegang jabatan. Di Belanda ada penganut rasisme Geerts Wilders yang berhasil mendudukkan 9 anggota partainya di parlemen, di Australia ada rasis lain, Pauline Hanson, yang membentuk One Nation Party yang lumayan laku dan bolak-balik terpilih menjadi anggota parlemen. Sistem ini juga membuat misalnya di Bali kecil kemungkinan terpilihnya Gubernur selain orang Hindu, dan di Sumatera Barat susah bagi yang bukan 'urang awak' naik jadi komandan. Keberhasilan ataupun ketidak-berhasilan seseorang menjadi pemimpin semata-mata ditentukan oleh pilihan rakyatnya, bukan dibatasi oleh peraturan. 

Apa boleh buat, itulah 'harga' yang harus dibayar untuk sistem demokrasi yang kita pakai. 




Seseorang pernah bercerita tentang sahabatnya yang non-Muslim.. 

"Saya memiliki sahabat karib yang bukan pemeluk Islam. Terus-terang saja, orangnya sangat baik, semua akhlak yang diajarkan dalam Islam dia praktekkan ditengah-tengah kelakuan umat Islam yang sebaliknya, lebih banyak menjalankan kehidupan bergaya orang-orang kafir. Teman saya tersebut sangat dermawan dan suka menolong, selalu tersenyum, tidak pernah menyakiti orang lain. Bahkan ketika masuk waktu shalat, malah dia yang rajin untuk mengingatkan saya. Sekalipun bukan Muslim tapi dirumahnya tersedia sajadah kalau-kalau ada temannya yang beragama Islam berkunjung kesana dan melakukan shalat". "Dalam urusan agama, dia tidak pernah meributkan ajaran agama lain, tidak mempermasalahkan dan sebaliknya juga tidak mau keyakinannya disinggung-singgung. Sahabat saya tersebut pernah berkata bahwa dia menghargai ajaran agama apapun. Kalau saya lihat, pemahamannya terhadap Islam sangat sedikit karena memang tidak berminat untuk mendalaminya".  

Orang ini lalu melanjutkan dengan pertanyaan :"Apakah orang seperti ini harus masuk neraka..?, dia sama sekali tidak memahami Islam, akhlaknya baik layaknya seorang Muslim yang mematuhi setiap aturan dalam agamanya". 

Saya sendiri mengalami hal yang serupa. Anak saya memiliki teman akrab yang rada-rada aneh, yang satu beragama Katolik dan yang satu lagi dari Saksi Jehova. Saya katakan aneh karena dilihat dari perspektif ajarannya, jangankan antara Islam dengan non-Islam, katolik dan Saksi Jehova juga tidak bisa dikatakan sebagai dua denom Kristen yang akur sekalipun sama-sama berpegang kepada alkitab. Mereka sering kumpul dan kalau pergi selalu bersama-sama, saling membantu, sangat kompak. Kalau saya perhatikan, kerukunan diantara mereka terjadi karena masing-masing tidak pernah mempermasalahkan keyakinan yang dianut pihak lain, semuanya menerima apa adanya. Sekarang ini kerukunan seperti itu harganya terasa sangat mahal, bahkan dikalangan sesama umat Islam sendiri. Saya yakin, kalau anak saya dikasih tahu tentang bagaimana nasib orang-orang kafir kelak di akhirat, dia pasti akan keberatan dan 'tidak ikhlas' melihat sahabat karibnya tersebut harus masuk neraka. 

Al-Qur'an sebenarnya 'membuka peluang' soal non-Muslim yang tidak akan dihukum di neraka karena kekafirannya, sekalipun tidak dijelaskan bagaimana Allah akan menyelamatkan mereka dari azab : 

..dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Al-Israa' 15) 

Pemahaman ayat ini bisa dua hal, pertama, orang-orang kafir yang tidak sampai risalah Islam kepada mereka, maka tidak ada azab dan hukuman Allah. Kedua, secara tersirat merupakan pernyataan Allah bahwa Dia tidak akan membiarkan satu orangpun yang terlepas dari petunjuk-Nya.