Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
 
Tadinya saya tidak mau menuliskan catatan terkait dengan kepergian saya ke tanah suci untuk menjalankan umroh selama bulan Ramadhan disana, biasa.., takut termasuk kategori riya sehingga pahala ibadah saya menjadi tidak berarti, Allah akan menjadikannya bagai debu-debu yang berterbangan ditiup angin. Namun pengalaman yang didapatkan kelihatannya mendesak saya harus banyak bercerita, terutama untuk menyampaikan informasi yang berimbang terkait dunia Islam, bahwa ketimpangan informasi yang selama ini terjadi, ketika media massa lebih banyak menyampaikan orang-orang yang antri sembako dan zakat fitrah sampai ada yang mati terinjak-injak, disetiap Ramadhan dan Idul Fitri, menghasilkan pandangan yang sudah mengkristal dari dulu sebagai suatu ‘bagian integral’ dari umat Islam. Soal riya biarlah menjadi urusan saya dengan Allah, karena toh Al-Qur’an juga menyampaikan : [QS 93:11] Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. 

Entah disengaja atau tidak, ketika orang-orang membicarakan tentang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, maka gambaran dan informasi yang selalu diulang-ulang adalah soal kemiskinan umat Islam, diumbar lewat pemberitaan penduduk miskin kota yang sedang antri untuk menerima zakat fitrah, lalu sebagian misionaris Kristen misalnya mulai ‘jualan obat’ untuk menimbulkan pencitraan negatif :”Lihat tuh umat Islam, mereka indentik dengan kemiskinan dan kemelaratan..”, padahal susah untuk dilacak indentitasnya, apakah orang-orang yang antri tersebut memang berasal dari pemeluk Islam atau bukan. Sedangkan berita sebaliknya jarang diungkapkan. Pada tahun ini saja diperkirakan ada 6 juta umat Islam diseluruh dunia membanjiri tanah suci, jauh lebih banyak dari pengunjung di musim haji yang tidak sampai 4 juta orang. Biaya umroh dari Indonesia berkisar antara USD 1500 sampai USD 3000, bahkan ada yang sampai mendekati 5000 dolar. 

Katakanlah dipukul rata tiap orang harus membayar USD 1000, maka perputaran uang yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun ini sekitar USD 6 milyar, atau setara dengan 60 trilyun rupiah, hanya terkait biaya perjalanan untuk peribadatan yang bukan merupakan sesuatu yang diwajibkan dalam ajaran Islam, yaitu ibadah umroh. Yang kecipratan rejeki ‘duit Islam’ ini bukan hanya sesama kalangan umat Islam saja. Rombongan saya misalnya memakai penerbangan Cathay Pasific untuk bolak-balik Jakarta – Jeddah, dan ‘maskapai penerbangan kafir’ ini ikut-ikutan menikmati kue ini. Di pinggiran Masjidil Haram terdapat hotel Hilton dan Intercontinental yang tingkat hunian termasuk paling sukses di dunia, ‘kaga ade matinye’. Semua orang kebagian dalam kegiatan umroh Ramadhan ini, baik yang muslim maupun non-Muslim, makanya kelakuan orang yang hanya menggembar-gemborkan satu sisi soal kemiskinan dan menyembunyikan sisi lainnya dari umat Islam jelas merupakan sikap yang culas. 

Jangan dikira perjalanan umroh ke tanah suci dibulan Ramadhan merupakan wisata bersenang-senang sambil meraup pahala besar, apalagi khususnya tahun ini yang bulan Ramadhan-nya bertepatan dengan musim panas disana. Dengan nilai uang yang sama, anda malah lebih baik memilih untuk berjalan-jalan ke Eropah atau Asia Timur seperti Cina dan Jepang. Anda bisa menikmati indahnya negeri tersebut sambil belanja membeli coklat di Swiss atau asesoris BMW di negeri asalnya Jerman. Berbeda dengan perjalanan umroh, begitu turun dari pesawat di bandara Jeddah, anda akan dihadang udara panas, angin yang menerpa juga bukanlah suatu ‘bantuan kesejukan’ yang bisa mendinginkan suhu karena angin tersebut sama saja, angin panas ibarat bertiup dari tungku perapian. Mau pakai payung buat melindungi diri dari terik matahari..?? udara panas justru muncul dari kulit bumi yang terbakar, jadi memakai payung hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Panasnya udara bisa membuat ingus anda mengering sebelum sempat mengalir keluar dari lubang hidung anda. 

Sesuai dengan biaya yang saya keluarkan untuk hanya mengikuti ‘paket hemat’ perjalanan umroh, maka akomodasi yang disediakan juga ala kadarnya, sebuah apartement yang bisa dipakai di musim haji, satu kamar diisi 5-6 orang dengan kamar mandi berebutan. Rumah saya saja jauh lebih nyaman dibandingkan akomodasi yang harus saya nikmati selama ditanah suci. Lokasi memang hanya sekitar 700 meter dari masjid dan diatas kertas, kita bisa bolak-balik untuk melakukan shalat fardhu 5 kali sehari, namun kemacetannya luar-biasa, anda akan berbarengan dengan jutaan manusia yang keluar-masuk serentak disetiap waktu shalat, saking padatnya, anda bahkan tidak bisa melihat lagi tanah tempat berpijak, hanya mengikuti arus pergerakan manusia. Ini ibarat orang bilang jarak Pondok Labu ke Pondok Indah tidaklah jauh, tapi ketika anda menyetir mobil pada jam sibuk dipagi dan sore hari, bisa semaput juga dijalanan. 

Bertumpuknya 6 juta umat yang berasal dari seluruh dunia, dengan sifat, aturan nilai dan karakter yang berbeda di satu tempat seluas Masjidil Haram juga memunculkan problem tersendiri. Sebagai orang Indonesia, saya menilai umat Islam dari wilayah Timur Tengah, termasuk Afganistan dan Pakistan, dan juga dari benua Afrika, memiliki ‘aturan kesopanan yang berbeda’, terutama dalam berebutan mencari tempat buat melakukan shalat. Tempat yang sudah kita ‘duduki’ dari pagi hari, dengan enteng mereka isi sehingga membuat kita sulit untuk melakukan gerakan shalat dengan sempurna. Apalagi kalau hari Jum’at ketika hendak melakukan shalat Jum’at. itu waktu puncak kepadatannya. Masjidil Haram boleh dibilang merupakan rumah ibadah terbesar di dunia dengan daya tampung 4 juta jemaah baik yang didalam ruangan maupun yang dipelataran masjid, namun mencari lantai 10 x 10 cm persegi untuk meletakkan wajah agar bisa bersujud saja sulitnya bukan main. Memang, disini saya harus mengakui kebenaran apa yang selalu diajarkan Islam bahwa tidak ada sesuatupun yang besar, hanya Allah yang Maha Besar. Sebagai orang yang ‘tidak mau cari masalah’, saya biasanya sudah datang ke masjid jam 10 pagi, untuk melakukan shalat fardhu, mulai dari shalat Dhuhur disiang hari, lalu berlanjut sampai malam untuk menyelesaikan tarawih yang kelar pada sekitar jam 11 malam. Datang dipagi hari membuat saya lebih leluasa untuk memilih tempat, lalu nongkrong disana terus-menerus, yang hanya diselingi ‘time-out’ untuk ke toilet dan berwudhu. Namun ini bukan jaminan bahwa saya akan mendapat tempat yang nyaman sesuai pilihan. Suatu ketika ketika saya sudah optimis bisa mendapat tempat strategis sampai selesai shalat tarawih nanti malam, tiba-tiba menjelang maghrib datang seorang bapak-bapak Arab, membawa 3 orang anaknya yang masih kecil duduk dihadapan saya, hanya dengan modal nyengir dan ucapan assalamu’alaikum lalu dengan cuek berbuka puasa dengan anak-anaknya sambil tidak lupa menyodorkan sekotak juice untuk berbagi. Akhirnya tempat yang sudah saya duduki sejak pagi tersebut harus saya tinggalkan dan mencari lokasi lain, dan ini bukan pekerjaan gampang karena manusia pada saat menjelang waktu shalat sudah bertumpuk-tumpuk. 

Kegiatan ibadah di Masjidil Haram benar-benar padat dan membutuhkan strategi yang tepat agar bisa mengikutinya selengkap mungkin. Jadwal shalat 5 waktu sampai shalat tarawih selesai jam 11 malam, bahkan pada 10 hari terakhir, masjid kembali melakukan shalat tahajud/qiyamul lail jam 1 tengah malam yang selesainya pukul setengah tiga dini pagi. Ini dikaitkan lagi dengan keharusan makan berbuka dan sahur yang dilakukan di penginapan, dan jarak yang harus ditempuh bolak-balik ke masjid diakali dengan tepat. Semuanya merupakan sasaran untuk diikuti karena memang tujuan orang datang ke tanah suci untuk melakukan hal tersebut, selain melaksanakan umroh. Kehidupan dijalankan dengan pontang-panting dan kurang tidur. 

Singkat kata, melakukan ‘darmawisata’ ke tanah suci di bulan Ramadhan bukanlah merupakan kegiatan travelling yang ditujukan buat bersenang-senang.. 

Lalu apakah umat Islam banyak yang mengurungkan niat untuk tidak kembali lagi kesana pada kesempatan berikutnya..?? lalu mengatakan :”Cukup kali ini saja..”. Dalam perjalanan dengan jumlah rombongan sekitar 45 orang, saya menemukan lebih dari sepuluh lansia, laki-laki dan wanita yang melakukan umroh sendirian, dan rata-rata mereka sudah pernah melaksanakan ibadah ini sebelumnya. Mereka pergi sendirian karena ada yang disebabkan pasangannya sudah meninggal dunia, atau sakit dan tidak sanggup ke tanah suci bersama-sama. Ada yang sampai klenger ketika kami melakukan transit pesawat di Hongkong selama 5 jam dan harus dibawa ke klinik kesehatan bandara. Di Makkah saya sering menemukan ‘manusia berkaki empat’, alias orang tua-orang tua yang berjalan dengan dibantu tongkat di kedua tangannya untuk berjalan, agar bisa menopang tubuhnya yang sudah membungkuk, berjalan terhuyung-huyung ditengah terik panas matahari ke arah Masjidil Haram. Banyak juga ibu-ibu tua yang terpaksa dibantu kursi roda bergerak dari hotel ke masjid, semuanya bermaksud untuk mengerjakan shalat berjamaah dan ibadah lainnya disana. Sampai di masjidpun harus berebut tempat shalat dengan orang lain, sama sekali bukan suatu kondisi yang nyaman untuk beribadah, namun tetap terjadi setiap waktu. Orang-orang ini seolah-olah menyatakan :”Sampai mati juga mau melaksanakan ibadah di Masjidil Haram..”, sama sekali tidak ada ketakutan dan kekhawatiran terhadap keselamatan diri, semuanya seperti terkesima dengan magnet Masjidil Haram dan hanya punya satu tujuan dalam kepala : harus beribadah disana… 

Dalam ‘kekisruhan’ rebutan tempat di masjid, lumrah kalau kemudian cara-cara ‘pragmatis’ muncul, tidak peduli dengan aturan dan nilai kesopanan, mengambil kesempatan dalam kesempitan termasuk sikut kiri-kanan. Seorang Malaysia yang saya temukan disana bicara sinis :”Lihat saja orang-orang ini, ketika shalat dan membaca do’a qunut witir sampai menangis minta ampun kepada Allah, begitu selesai shalat, kembali dorong-dorongan di tangga eskalator..”. Ada juga yang pakai akal licik melakukan ‘booking’ tempat dengan cara menggelar sajadah yang dibawa, lalu orang tersebut pergi keluar masjid dan baru kembali ketika shalat ‘Isya dan tarawih. Ketika tahu tempatnya tersebut diisi orang lain maka bisa diprediksi akan terjadi pertengkaran. 

Soal bertengkar bukan sekali dua saya temukan. Pernah suatu ketika ketika shalat ‘Isya dan tarawih mau dimulai, petugas keamanan masjid menutup akses masuk kedalam karena sudah penuh sehingga jamaah tertahan diruang tangga masuk, disitu terjadi pertengkaran sampai shalat tarawih dilaksanakan, suaranya kedengaran keras ke ruang shalat, sampai 4 rakaat shalat masih saja ribut. Baru kali ini saya mendengar ada orang yang ‘bertengkar 4 rakaat’. 

Namun ada yang unik ditanah suci, betapa hebatnya keributan dan pertengkaran, jarang yang sampai berakhir dengan adu fisik dan pemukulan, apalagi pakai senjata tajam. Orang-orang disana hanya ribut sampai di mulut, tidak lebih dari itu. Ketika saya tanya sama pihak yang sudah punya pengalaman banyak ditanah suci, mereka menjawab bahwa ini akibat adanya hukum qishash, mata ganti mata, hidung ganti hidung, nyawa ganti nyawa. Jadi ketika anda melakukan perbuatan yang bisa menciderai orang lain, maka orang tersebut diberi hak untuk melakukan hal yang sama. Mike Tyson menggigit kuping anda sampai putus seperti yang dilakukannya terhadap Evander Holyfield, maka anda juga diberi hak untuk menggigit kupingnya sampai putus juga. Jangan khawatir akan ketidak-berdayaan anda untuk melawan orang seangker Mike Tyson karena dibelakang anda terdapat penguasa dan aparat yang akan melindungi untuk melakukannya, mereka bekerja atas dasar hukum Allah yang diaplikasikan secara nyata di dunia, jadi silahkan gigit kuping Mike Tyson sampai putus. Luar biasa memang, hukum qishash ternyata bisa membuat orang-orang Arab yang bertampang serem dan berbadan besar seperti Mike Tyson dan Holyfield bertengkar seperti perempuan. Beda dengan orang kita yang dipayungi ‘hukum sekuler’ yang katanya sangat manusiawi dan berpihak kepada HAM, perselisihan memang tidak banyak menimbulkan pertengkaran mulut, namun setelah itu clurit dan golok yang bicara. Mengapa harus takut membunuh orang..?? resikonya cuma 15 tahun penjara potong masa tahanan, itupun kemungkinan besar dijalani separohnya saja, dapat remisi setiap agustusan karena berkelakuan baik dan berakhlak mulia selama di penjara. Kelihatannya ini perlu direnungkan oleh sementara orang yang masih saja membangga-banggakan hukum sekuler. 

Di Masjidil Haram selalu terbuka peluang emosi kita bisa terpancing, boleh dikatakan setiap pergerakan orang lain akan membuat darah anda naik ke kepala. Pernah sekali waktu, saat berdesakan pulang dari masjid dijalan menuju tempat penginapan, dalam kondisi berdesakan tersebut ada seorang Arab kucel, entah dari Afganistan atau Sudan yang mendorong-dorong dari belakang, padahal sudah tahu didepan tidak ada ruang kosong. Akhirnya emosi saya terpancing juga untuk melakukan ‘sekedar’ sikutan dan melakukan dorongan balik. Seorang pemuda Arab yang ada disebelah memperingati saya dalam bahasa Arab yang tidak begitu saya mengerti, sekilas saya tangkap kata ‘sabar’ dan ‘rahmat Allah’ sambil tangannya menunjuk ke langit, sambil tersenyum si pemuda Arab tersebut berlalu dalam keramaian, tidak lupa masih sempat untuk mengipas-ngipas seorang ibu tua yang kelihatannya megap-megap kekurangan oksigen, ini membuat saya tersentak untuk beristighfar. Pernah juga terjadi dalam kondisi baru keluar dari pintu masjid, tiba-tiba melintas serombongan ibu-ibu gemuk dari Turki yang berjalan saling memegang kain abaya mereka, atau ditengah-tengah arus pergerakan tawaf ada saja beberapa orang yang ‘kesurupan’ bergaya saling memotret sehingga menghalangi orang lain. Kalau mau mengikuti dorongan emosi, mau rasanya sedikit bersikap jahil dengan mendorong atau sengaja membenturkan badan. Namun memang disitulah ujiannya, melakukan perjalanan umroh tidak hanya sekedar beribadah dan shalat, namun juga menguji kestabilan emosi dengan mencoba memaklumi keadaan orang lain. 

Ketika datang waktunya shalat, ada fenomena yang sangat menarik. Hampir semua orang punya sikap yang sama disaat mereka melihat ada orang lain yang tersisih tidak mendapat tempat dalam barisan shalat, yang kebingungan mencari celah agar bisa masuk dalam saf yang sudah terbentuk dengan seketika. Setiap orang yang ada dalam barisan akan berusaha menyediakan sedikit ruang kosong agar ‘orang yang tersisih’ ini bisa masuk barisan, sekalipun akhirnya harus berdesak-desakan. Islam mengajarkan kalau ada salah seorang peserta shalat yang tersisih sendiri karena tidak diberikan tempat, maka orang-orang disekitar yang sedang ‘menikmati keindahan surga’ akan ketularan laknat, makanya tidak ada sikap yang mementingkan keselamatan sendiri dalam shalat berjamaah. Memang kemudian hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk memaksakan tetap masuk ditengah-tengah jemaah yang duduk menunggu waktu shalat, padahal tempat sudah tidak lagi memungkinkan. Akhirnya begitu iqomat dan jemaah mulai berdiri menyusun barisan, orang ini tidak bisa mendapatkan tempat, karena memang sudah tidak ada lagi ruang yang bisa dibagi, lalu mulailah dia berjalan seperti layangan putus ditengah pelaksanaan shalat, mondar-mandir mencari tempat, dan hal ini bisa berlangsung sampai shalat selesai. 

Dengan segala kekurangan dan kesalahannya, satu hal yang saya tangkap dari sikap umat Islam di Masjidil Haram, jangankan dalam berperang, dalam melakukan ibadah saja mereka memiliki sikap militan, tidak memikirkan keselamatan dan mau mengorbankan harta dan nyawa sekalipun, agar bisa mengerjakan perintah Allah dengan ‘kualitas terbaik’ menurut mereka. Hanya satu yang ada dalam kepala orang-orang tua yang tertatih-tatih berjalan dan berkursi roda ditengak panas terik matahari, bahwa mereka ingin beribadah sesuai perintah Allah dan apa yang diajarkan nabi Muhammad SAW, tidak ada pikiran yang lain. Sebagai suatu komunitas, umat Islam bukanlah umat yang suka bertanya dan menggugat ajaran agama mereka, ketika mereka mendengar dan menerima adanya perintah maka sikap yang muncul adalah ‘sami'naa wa-atha'naa – kami dengar dan kami taat [QS 2:285]. Ketika mereka berpikir, maka mereka berpikir untuk berusaha memahami, dengan suatu posisi sekalipun mungkin tidak mampu memahaminya mereka sudah dibekali dengan jawaban Allah, ketika Dia menjawab ‘gugatan’ malaikat tentang penciptaan Adam : innii a'lamu maa laa ta'lamuuna - Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui [QS 2:30]. Apapun yang ditetapkan Allah diterima dengan prasangka baik, bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan manusia untuk mengerjakan sesuatu yang sia-sia [QS 3:191]. Ini jelas suatu sikap yang cerdas dalam beragama, menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan menempatkan diri sebagai hamba yang menuhankan Tuhan. Berpikir adalah kegiatan yang dituntun iman sehingga bisa memilah-milah mana yang memang perlu dipikir dan mana yang tidak perlu karena jawabannya memang sudah ada. Akibatnya energi umat Islam bisa disimpan dan disalurkan untuk kegiatan yang tepat, melakukan ibadah sesuai apa yang diperintahkan dan dicontohkan. Mungkin ini yang menyebabkan seorang lansia tidak ‘kapok’ untuk balik berkunjung lagi ke Masjidil Haram, menghadang cuaca yang tidak bersahabat, berdesak-desakan mencari tempat shalat, dengan semangat yang tidak pernah padam untuk mempersembahkan ibadah terbaiknya. 

Kesan ini yang bisa saya tangkap dari hati umat Islam, ketika saya menyempatkan diri untuk datang ke Masjidil Haram, dibulan Ramadhan tahun ini..


0 komentar: