Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Berdasarkan hitung-hitungan, pergantian bulan dalam kalender Hijriyah terjadi ketika posisi bulan sudah berada diatas cakrawala. Penyusunan kalender selama satu tahun juga berdasarkan hal ini, sebab jika kalender disusun berdasarkan ru’yah (melihat bulan secara langsung) maka umat Islam tidak akan bisa menyusun penanggalan dalam periode setahun, tiap akhir bulan harus terlebih dahulu melakukan ru’yah, lalu awal bulan berikutnya ditetapkan setelah sang bulan bisa dilihat dengan mata telanjang. Kalau cara ini yang dipakai tentu bisa bikin repot, orang akan bingung kapan ngasih gaji, kalau pembayaran didasari perhitungan tahun Hijriyah. Harus menunggu sampai ‘last minute’, jangan-jangan malah keputusannya harus pakai ‘injury time’, bisa manyun para pegawai yang sudah berharap memperoleh gaji lebih cepat. 

Masalahnya makin pelik ketika soal ini dikaitkan dengan aturan beribadah, terutama untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Ada yang ketakutan karena Rasulullah menyatakan haram hukumnya masih berpuasa di Hari Raya, tapi dilain pihak juga ketakutan kalau tidak berpuasa di bulan yang masih Ramadhan. Mungkin inilah yang menyebabkan masing-masing pihak yang berbeda dalam penentuan peralihan bulan ini ngotot untuk mempertahankan pendapatnya, khususnya dalam kasus penetapan awal dan akhir Ramadhan, dan tidak pada bulan-bulan lainnya. Buktinya bisa kita lihat, mana ada umat Islam ribut tentang pergantian bulan Rabiul Awal kepada Rabiul Akhir..?? atau Muharram ke Syafar..? sekalipun ini juga penting untuk sementara ‘muslim koplo’ untuk menerapkan ilmu ‘gathuk-gathuk’ terkait hari pernikahan, yang menyatakan tidak baik melangsungkan pernikahan di bulan Syafar karena bersamaan dengan musim anjing kawin. Sorry, ini cuma guyonan, namun intinya memang tidak ada orang yang ribut soal pergantian bulan tersebut. 

Semua pihak akan bersepakat bahwa memang pergantian bulan pada penanggalan Hijriyah akan terjadi ketika bulan sudah mengambil posisi diatas cakrawala, tidak ada yang berbeda pendapat tentang hal ini. Perbedaan terjadi soal kriteria, apakah bulan yang sudah muncul tersebut bisa dilihat dengan mata telanjang atau tidak. Bagi satu pihak, apabila bulan tersebut tidak bisa dilihat sekalipun sudah berada diatas cakrawala maka perhitungan bulan belumlah berganti kepada bulan berikutnya, bulan yang sekarang harus digenapi 30 hari. Pihak lain berpendapat sekalipun tidak mungkin terlihat, apabila hitung-hitungannya memang sudah menunjukkan bulan tersebut berada diatas cakrawala, maka perhitungan bulan sudah berpindah kepada bulan berikutnya. Saya lihat kedua pendapat ini muncul dari penafsiran hadits Rasulullah ketika beliau menjelaskan mengapa pada waktu Rasulullah hidup, masyarakat menetapkan pergantian bulan berdasarkan penglihatan dengan mata telanjang : 

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR Bukhari) 

Memang dalam hadits lain, Rasulullah mengajarkan bahwa :”Apabila sudah memasuki tanggal 29 bulan Sya’ban janganlah berpuasa sebelum melihat hilal, dan apabila mendung maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari”, namun sementara orang menyatakan hal tersebut dilakukan karena keterbatasan masyarakat Arab pada waktu itu yang disebut Rasulullah sebagai ‘kaum ummiyah’ termasuk dalam ilmu astronomi, atau juga tidak memiliki peralatan canggih untuk membantu melihat posisi bulan, atau juga belum bisa pergi ke luar angkasa untuk melihat dalam posisi lain. Jadi pernyataan Nabi tentang umat ummiyah tersebut bisa dilihat dari 2 sudut pandang, yaitu : (1.) Umat Islam yang datang belakangan diajarkan untuk menetapkan pergantian bulan seperti yang dilakukan dijaman Rasulullah karena merupakan ‘cara mendasar’ yang bisa dilakukan oleh semua orang, tidak peduli apakah mereka punya kemampuan ilmu astronomi untuk menghitung posisi bulan atau tidak, atau (2) perkataan tersebut justru mengajarkan bahwa ketika umat sudah berkembang dan menguasai ilmu astronomi, maka posisi bulan tersebut boleh ditetapkan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa ditetapkan berdasarkan posisi ‘real’ dari bulan. Lalu karena adanya konsekuensi bisa berdosa kalau puasa dihari Idul Fitri atau tidak berpuasa dibulan Ramadhan tadi, pihak yang berbeda pendapat bersikukuh untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing, bahkan ‘dilengkapi’ juga dengan tuduhan pihak lain telah melakukan kemungkaran dan perbuatan dosa. 

Kondisi ini lebih diperparah oleh tidak adanya pemerintah yang otoritatif, diakui oleh semua pihak untuk mengambil keputusan terhadap persoalan ini. Mungkin akibat warisan kondisi politik dijaman sebelumnya, keputusan pemerintah, khususnya tentang hal yang berkaitan dengan ibadah umat Islam, selalu ditanggapi dengan curiga, jangan-jangan ada kepentingan tersembunyi dibelakangnya, lalu dipanas-panasi bahwa kepentingan tersebut pasti untuk menyesatkan umat Islam. Kita mengetahui bahwa di Arab Saudi sendiri juga terjadi perbedaan pendapat, namun karena mereka punya pemerintahan yang diakui oleh rakyat dalam mengambil keputusan awal dan akhir Ramadhan, maka perbedaan tersebut tidak menjadi rusuh, akhirnya semuanya ikut apa yang ditetapkan pemerintah. Perlu diketahui bahwa penanggalan Hijriyah tahunan di Arab Saudi ditetapkan mereka berdasarkan hisab, namun untuk awal dan akhir Ramadhan mereka melakukan ru’yah, jadi bisa saja terjadi perbedaan antara penanggalan tahunan dengan awal atau akhir Ramadhan, namun tidak ada keributan karena mereka mengakui otoritas pemerintah dalam menetapkannya. 

Beda dengan yang terjadi di negeri ini, meskipun kita memiliki mekanisme sidang isbat yang berusaha mengakomodasi semua perbedaan, namun kelakuan ormas Islam benar-benar ‘tengik’, prinsipnya :”Saya ikut ketetapan pemerintah kalau hasilnya sama dengan keputusan organisasi, kalau terjadi perbedaan maka saya mohon ijin untuk berbeda pendapat..”, lalu dengan begitu saja meninggalkan keputusan yang seharusnya disepakati. Kalau memang sudah dari sononya berpatokan kepada penghitungan sendiri, lalu buat apa lagi ada sidang isbat..?. Bikin saja keputusan sendiri-sendiri berdasarkan cara yang dipilih sendiri, lalu diikuti oleh umat sendiri, toh karena memang ada perbedaan dalam kriterianya, sudah pasti akan terjadi pula perbedaan penetapannya. 

Atau kalau mau melakukan sesuatu yang ekstrim, ormas Islam tidak usah ikut-ikutan menghitung dan menentukan awal dan akhir Ramadhan sekalipun punya ilmu dan kemampuan untuk itu. Serahkan saja kepada pihak lain, lalu mereka fokus untuk mengurus soal kekhusu’an beribadah, pemberdayaan umat, melakukan amar makruf nahi munkar, atau kerjaan lain yang lebih bermanfaat.


1 komentar:

-d- said...

Itu karena pemerintah qta plinplan dan linglung, umatnya jd ikut linglung dan planplin. Ormas just f*cking sh*t organization, tergantung siapa yg bayar. Bikin jelek nama Islam aja...