Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Pemilihan umum untuk memilih presiden di negeri ini masih 2 tahun lagi, namun kasak-kusuknya sudah hangat. Kita setiap hari melihat, membaca dan mendengar di media massa manuver-manuver politik yang dilakukan oleh partai maupun tokoh-tokoh yang namanya masuk dalam bursa untuk memantapkan posisi. Ada yang sibuk menyusun dukungan langsung ke partai, ada juga yang mengambil sikap meningkatkan pencitraan. Sarana apapun dipakai, mulai dari naik kendaraan umum sampai beriklan dijalanan memasang poster besar menjual tampang yang diperkirakan ‘masih makanan kamera’ layaknya artis sinetron. Sistem politik yang telah kita pilih memang mendukung kelakuan-kelakuan seperti ini, karena berhasilnya seseorang menjadi pemegang pucuk pimpinan tertinggi harus melalui mekanisme : diusulkan oleh partai politik dan dipilih oleh rakyat, yang satu perlu menguasaan real, menjadi ketua partai atau dewan pembina, sedangkan untuk menarik minat rakyat perlu ‘product design’ dan ‘brand image’. Kedua langkah ini saling berinteraksi, ‘produk’ dan ‘image’ yang sudah tertanam baik dipikiran masyarakat akan menentukan keputusan partai untuk memilih siapa yang pantas untuk dimajukan sebagai calon, sebaliknya orang yang berhasil menguasai partai diharapkan bisa secara bersamaan menguasai persepsi masyarakat. Namun pengalaman yang terjadi sebelumnya, faktor ‘product design’ dan ‘brand image’ si calon lebih dominan untuk memenangi pertarungan, makanya pencalonannya bisa saja diusulkan oleh koalisi partai-partai gurem yang memenuhi syarat minimum yang telah ditetapkan undang-undang, dan bisa memenangi pemilihan presiden. 

Mengenai peluang untuk memperoleh hasil yang diharapkan, setiap calon pasti merasa ‘pede’. Disamping setiap hari dikelilingi banyak orang yang menyatakan dukungan sehingga menganggap mayoritas rakyat juga mendukung, pengalaman kehidupan berdemokrasi di negara lain bisa dijadikan benchmark, misalnya di Amerika Serikat. Sejarah politik kita mencatat yang bisa menduduki posisi presiden di negeri ini adalah orang Jawa, maka bagi calon yang bukan orang Jawa akan menghibur diri :”Seratus tahun yang lalu orang negro adalah kaum budak di AS, dianggap setengah manusia, buktinya toh mereka bisa jadi presiden..”, dengan contoh tersebut maka optimisme si calon tetap menyala-nyala, bukan tidak mungkin orang Batak, Minang, Palembang, Lampung, Sunda, Makasar, Maluku sampai Papua bisa juga jadi presiden di Indonesia. Selanjutnya tentu saja konfigurasi pencalonan bisa berubah terkait dengan prinsip ‘take and give’, ada yang mundur dan berkompromi untuk mendukung calon lain, namun menurut saya berdasarkan karakter para pemimpin kita selama ini, dalam bernegosiasi soal kekuasaan, mereka lebih cenderung untuk ‘ngetake’ ketimbang ‘ngegive’, artinya jarang ada yang mau mengalah, maka kemungkinan nanti pada pemilu presiden tersebut rakyat akan dibikin bingung dengan banyaknya calon yang maju. Sikap irrasional untuk tidak mau mengalah ini akan membuat sikap si calon tetap ‘keukeuh’ untuk maju sekalipun mungkin menyadari dirinya tidak bakalan menang, prinsipnya :”Kali-kali saja nasib baik…”. 

Kelihatannya calon-calon yang akan maju, baik dimajukan maupun memajukan diri, diisi oleh tokoh-tokoh ‘kawakan’, dalam artinya sudah punya pengalaman menjadi calon pada pemilu sebelumnya dan kalah, atau juga merupakan oknum penting pada pemerintahan masa lalu. Lalu ada tokoh-tokoh baru yang masih suci, lugu dan polos. Sebenarnya bagi calon kawakan ini akan sangat rugi kalau mereka maju bersama-sama, karena suara pasti akan terbagi. Sebagai tokoh yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, mereka sudah memiliki ‘fans berat’ yang akan memilih, tidak peduli bagaimana ‘bonyok’nya muka si calon. Jiwa feodal yang masih merasuki sebagian besar rakyat juga tidak akan berani untuk mengajukan alternatif calon lain, kalau perlu tetap berpegang kepada kaki si pemimpin sampai mati, maksudnya kalau tidak si pemilihnya mati, bisa juga si pemimpinnya yang mati. Kalau perlu dibikin sistem kerajaan secara tersirat, orang-tuanya mundur, anaknya yang maju dibawah naungan ‘sawab/tuah’ si orang-tua. Karena tabiat para orang-tua yang tidak mau mengalah ini, ada kemungkinan akan banyak calon dari golongan tua yang maju sehingga tidak ada yang mayoritas. Ini jelas menguntungkan calon presiden dari golongan muda dan masih baru. Memang mereka tidak punya ‘captive market’ di masyarakat, namun dengan terpecahnya suara kelompok tua, maka ada peluang pemilu terjadi 2 putaran, lalu mereka akan bermain pada putaran kedua ini. 

Gaya untuk menanamkan ‘brand image’ di masyarakat juga akan berbeda, bagi calon yang berasal dari golongan tua, logikanya mereka punya banyak ‘dosa politik’ karena terkait dengan masa lalu. Politik sendiri merupakan dunia yang harus memilih antara 2 atau lebih keputusan yang pasti tidak bisa menyenangkan semua pihak, dipilih sikap yang ini, rakyat yang itu tidak suka, dipilih keputusan yang itu, rakyat disini tidak berkenan. Akhirnya setiap calon yang sudah pernah berkecimpung akan berhadapan dengan kelompok yang memiliki resistensi terhadap dirinya. Inilah yang kemungkinan akan diumbar oleh lawan politik, dosa-dosa masa lalu akan diungkap, mulai dari kasus lumpur yang menyemprot keras dari perut bumi, antek orde baru, penjualan asset negara besar-besaran, kekerasan militer dimasa lalu, akan ‘disegarkan’ lagi di ingatan rakyat. Sebaliknya bagi calon yang baru, tentu saja lebih memfokuskan diri untuk meningkatkan pencitraan dengan menyatakan :”Mari memulai hidup baru, tinggalkan yang lalu kita susun masa depan yang cerah, bebas dari dosa-dosa lama..”. 

Saya sendiri berharap pemilu presiden nanti akan terjadi 2 putaran, dan dua calon yang maju ke babak kedua terdiri dari tokoh kawakan dan tokoh muda. Kita akan bisa melihat pertarungan menarik, ibarat pertempuran antara Coca-Cola dan Pepsi-Cola. Disaat Pepsi-Cola mencoba menanamkan brand image pada rakyat Amerika, mereka harus menghadapi kenyataan Coca-Cola adalah pesaing yang sudah berada lebih lama dan lebih dahulu dibandingkan Pepsi, namun karena sudah lama maka segmentasi penggemar Coca-Cola saat itu juga sudah berusia lanjut, terdiri dari generasi bapak dan emak. Pepsi-Cola lalu menghajar image masyarakat dengan menyatakan yang suka Coca-Cola adalah para orang-tua yang sudah lamban, mapan dan tidak energik. Pepsi lalu mengupah Michael Jackson yang tahun 80’an menjadi idola kaum muda dengan gerakan panggung yang meriah, Pepsi lalu meneriakkan posisi mereka :”The Choice of New Generation”. Pertarungan politik antara tokoh tua dan muda kalau memang bisa melaju ke putaran kedua akan sangat menarik. 

Lalu bagaimana nasib umat Islam, kelompok masyarakat mayoritas di negeri ini..?? JANGAN HARAP anda akan memiliki calon yang peduli dengan nasib umat, misalnya tentang usaha mereka untuk mendukung agar kita bisa menjalankan kehidupan sesuai syari’at, bebas dari kebusukan permainan dibidang politik, ekonomi, hukum, karena semuanya merupakan bagian integral dari sistem yang sudah ditetapkan untuk dipakai di Indonesia. Sudah ‘bawaan badan’ bahwa sistem demokrasi yang kita terapkan bersikap menempatkan nilai-nilai dan syariat agama menjadi urusan pribadi, tidak boleh ikut ’cawe-cawe’ terlibat dalam politik, ekonomi, hukum, dll. Pada masa sekarang, kondisi suatu negara juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pihak lain, maka calon yang akan maju nanti semuanya akan berusaha untuk ‘menjaga keseimbangan’ agar posisi mereka tidak berada dalam bahaya. Sekalipun mayoritas, umat Islam bukanlah faktor yang cukup kuat untuk melakukan tekanan balik, mengimbangi apa yang datang dari pihak luar, karena mereka terpecah-pecah, tidak satu suara, tidak semua akan memiliki sikap ingin menjalankan ajaran agama dalam setiap sendi kehidupannya, kalaupun sama-sama berkeinginan untuk menerapkan ajaran agama, mereka juga punya cara yang berbeda. Bahkan penolakan agar umat Islam bisa bebas menjalankan kehidupan yang islami justru datang dari pemeluk Islam sendiri yang memiliki kekuasaan. Jadi sekali lagi, JANGAN BERHARAP…!! 

Namun setiap calon sangat menyadari, pada saat pemilihan nanti, simpati dari umat Islam perlu direbut. Para pemeluk Islam memang agar rada aneh, mereka bisa saja terdiri dari pemabuk atau pelanggan ‘mabes polri’ – Mangga Besar pojokan Lokasari – pusat pelacuran teramai di Jakarta, namun ketika mendengar agamanya dihina, nabinya dicaci, orang-orang ini mau saja mati dijalanan untuk membela ajaran agama mereka. Mati dalam membela agama dinilai bisa merupakan ‘jalan pintas’ untuk menghapus dosa dan masuk surga. Demikian pula sebaliknya, sekalipun merupakan seorang Muslim yang berlumur dosa, mereka akan gampang menjatuhkan simpati kepada orang yang saleh dan taat, makanya sejahat apapun seorang Muslim, rasa segan terhadap kiyai dan ulama tetap mendominasi sikap mereka. Ini bakalan ditangkap oleh para calon yang ingin memperoleh dukungan umat Islam, maka tidak akan heran nantinya gaya mereka akan berubah, bisa kemana-mana pakai baju muslim, lengkap dengan sorban dan tasbih. Untuk meraih simpati, bahkan iblis-pun tidak keberatan untuk melakukannya, berpura-pura jadi orang soleh. Lalu setelah dukungan diperoleh, mereka akan balik kepada agenda sebelumnya, menjaga keseimbangan tadi… 

Lalu bagaimana seharusnya umat untuk bersikap..?? Sebaiknya jangan dengan emosi. Lumrah dalam dunia politik kita, dukungan kepada seorang calon presiden terjadi pada ‘last minute’, semata-mata karena image sesaat yang dibangun atau tidak sengaja terbentuk, kita ingat, dulu ada calon presiden yang berhasil meraih simpati karena pada saat terakhir pemilihan menjadi pihak yang terzalimi oleh penguasa. Umat Islam harus cerdas memilih calon, maka lihatlah track record-nya selama ini, jangan hanya terpesona dengan pejabat yang suka berpergian naik kereta kelas ekonomi, atau juga melempar kursi di gerbang tol, atau juga mendadak pakai kopiah dan sarung. Lihat jejak langkahnya sebelum itu. Apakah riwayat hidupnya mencatat orang tersebut adalah pihak yang sama sekali tidak berkeinginan untuk membebaskan umat Islam bisa menjalani hidup sesuai aturan Islam, lalu memberi ruang bahkan melakukan kebijakan yang mendukung liberalisme dalam Islam yang sudah terbukti mendangkalkan aqidah dan memisahkan umat Islam dari ajaran agama mereka. Lihat track record-nya, apakah orang tersebut banyak mengeluarkan kebijakan dan sikap yang berseberangan dengan usaha umat untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar, mendukung kelompok sesat yang sudah jelas-jelas menghina dan menistakan ajaran Islam. 

Memang tidak akan ada tokoh yang akan terang-terangan menyatakan keberpihakannya kepada umat Islam, namun pilihlah dia yang punya tingkat resistensi yang paling kecil, yang selama ini punya masalah yang paling sedikit dengan kita..


0 komentar: