Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Pada suatu kesempatan memberikan ceramah, ustadz Athian Ali dari Bandung bercerita soal ulama. Katanya istilah ‘ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, artinya : orang yang berilmu, dalam istilah ini yang dimaksud dengan ilmu, tidak terbatas hanya kepada ilmu agama saja tapi semua ilmu, tidak peduli apakah itu ilmu yang baik atau buruk, ilmu putih atau hitam. Ketika sekumpulan orang-orang berilmu, atau ‘alim tersebut berkumpul, maka kelompok tersebut dinamakan ‘ulama. Jadi kalau serombongan ahli copet atau maling berkumpul maka mereka sudah berhak dipanggil dengan ‘ulama, kumpulan orang berilmu copet atau maling. Lalu kelompok maling tersebut membuat suatu organisasi, wadah tempat mereka melakukan kegiatan, ada ketua dan sekretaris, pakai AD/ART dan program kerja, kita akan menyebutnya dengan majelis, yaitu organisasi tempat berkumpulnya ‘ulama, para ahli copet/maling tadi. Dan karena perkumpulan tersebut didirikan di Indonesia, tidak ada salahnya kalau kemudian organisasi tersebut diberi judul Majelis ‘Ulama Indonesia, disingkat dengan MUI, sudah sah menurut arti kata dan bahasanya. 

Lelucon tersebut disampaikan ustadz Athian disekitar tahun 80’an, ketika beliau masih muda, terkenal dengan ceramah yang ‘menyikut’ kiri-kanan. Kebetulan ketika itu disampaikan dimasjid Istiqomah – Bandung, lokasinya pas di sebelah kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) – Jawa Barat, pengurusnya diisi oleh para ulama senior. Saya tidak tahu apa kejadian selanjutnya, soalnya ceramah beliau disampaikan lengkap dengan pengeras suara sehingga terdengar kemana-mana. termasuk ke kantor MUI. Waktu itu dijaman Orde Baru, lagi hangat-hangatnya sorotan kepada MUI yang dituduh hanya merupakan stempel pemerintah setelah ditinggalkan oleh buya HAMKA. Pandangan umat Islam, terutama para mahasiswa terhadap MUI benar-benar sudah berada pada titik nadir. 

Yang jelas saat ini ustadz Athian Ali juga dikenal sebagai ulama, pihak yang disindirnya dulu, beliau mengetuai FUUI – Forum Ulama Ummat Indonesia. Entah sejak kapan ustadz Athian Ali memiliki status sebagai ulama. 

Pertanyaan muncul terkait soal ini : Bagaimana caranya seseorang bisa memiliki status sebagai ulama, atau kiyai..?? kita belum pernah mendengar adanya ‘lembaga akreditasi’ untuk menetapkan seseorang berhak menyandang predikat sebagai ulama, atau mungkin setengah ulama, ulama masa percobaan. Status sebagai ulama juga tidak ditentukan oleh usia, banyak koq orang-orang yang masih muda dipanggil kiyai dan disebut sebagai ulama. Bahkan bisa juga panggilan tersebut karena melihat penampilan yang selalu pakai baju gamis Arab, sorban serta kemana-mana membawa tasbih. Status ulama atau kiyai juga muncul dari ‘nepotisme’, dulu bapaknya merupakan ulama/kiyai pemilik pondok pesantren, lalu ketika wafat diwariskan kepada anaknya, entah si anak menguasai ilmu agama sehebat bapaknya atau tidak, karena menjadi pewaris pondok maka si anak ikut-ikutan dipanggil ulama/kiyai. Soal penampilan bisa diatur belakangan, dulu mungkin suka pakai jeans belel baju kaos, sekarang diganti dengan baju muslim lengkap dengan sorban dan tasbih. 

Status ulama memang muncul dari pengakuan masyarakat, bisa dalam lingkup luas, atau hanya terbatas kepada pendukung-pendukungnya saja. Kita tentu saja bisa ‘mengukur’ seseorang apakah dia memang menguasai ilmu agama, caranya sangat gampang, suruh jadi imam shalat, dipersilahkan untuk ceramah, diajak konsultasi soal problematika kehidupan. Reaksi dan jawaban-jawabannya akan menunjukkan indikasi apakah orang tersebut benar-benar menguasai ilmu agama atau tidak. 

Namun apakah pengakuan masyarakat tersebut otomatis merupakan pengakuan dari Allah juga..??. Al-Qur’an menyampaikan kriteria tentang siapa sebenarnya yang diakui sebagai ulama oleh Allah : 

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (Faathir 28) 

Rupanya persyaratan seseorang bisa dikatakan sebagai ulama adalah : apakah dengan ilmu yang dia miliki dan kuasai, orang tersebut menjadi semakin takut, tunduk, patuh kepada Allah atau tidak. Makin bertambahnya ilmu makin bertambah pula ketundukan dan kepatuhannya lalu makin mendekatkan diri kepada Allah, karena orang yang berilmu ini makin dibukakan pintu hikmah melihat kelemahannya sendiri. 

Al-Qur’an juga tidak membatasi bidang ilmu yang harus dikuasai sehingga seseorang bisa diakui sebagai ulama oleh Allah, maka artinya bisa saja dia menguasai ilmu agama, ataupun ilmu umum lainnya seperti fisika, kimia, matematika, biologi, komputer, ekonomi, dll. Sepanjang kemampuan menguasai ilmu tersebut makin membuat dia tunduk, patuh, lalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, maka orang tersebutlah yang berhak disebut sebagai ulama. Sebaliknya, sekalipun yang dikuasai ilmu agama, hapal Al-Qur’an, memahami hadits, pakar sejarah Islam, apabila pengetahuan yang dimilikinya tersebut makin membuat dia ‘petantang-petenteng’ dihadapan Allah, berlaku sombong karena kemampuan intelektual, maka dimata Allah, orang ini tidak berhak dikategorikan sebagai ulama. 

Kita menemukan banyak fakta, Snouck Hurgronje adalah pakar Islam, pengetahuan tentang Al-Qur’an dan hadits melebihi seorang Muslim kebanyakan. Atau beberapa tahun lalu kita mendengar seorang ex- menteri agama yang tercatat sebagai hafidz Al-Qur’an, menggali kuburan di Bogor karena meyakini adanya harta terpendam melalui cara-cara klenik, dan akhirnya masuk penjara karena tersandung kasus korupsi. Hapal Al-Qur’an tidak membuat seseorang tunduk dan takut kepada Allah, malah melakukan kemungkaran dan menyimpang dari aturan Islam, maka orang tersebut tidak pantas dipanggil ulama atau kiyai, begitu menurut kriteria Al-Qur’an. Sebaliknya kita bisa menemukan fakta, seorang Thailand, Tejatat Tejasen, ahli dermatologi (kulit) yang menyatakan ketundukan kepada Islam. Dengan ilmu pengetahuan yang dikuasainya, si profesor ini mendapat hidayah Allah hanya dengan mengenal satu ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang kulit dan rasa sakit. Atau juga Profesor Keith L. Moore, seorang ahli embriologi di Amerika Serikat yang merasa takjub dengan akuratnya informasi perkembangan janin dalam kandungan, seperti yang disampaikan dalam Al-Qur’an, sesuatu yang dia dalami bertahun-tahun, Allah lalu menganugerahinya hidayah sehingga ilmu yang dimiliki si profesor tersebut bisa menuntun dirinya untuk takluk dan tunduk kepada Allah. Mereka itulah yang bisa dikategorikan sebagai ulama, sekalipun tidak menguasai ilmu Al-Qur’an.


0 komentar: