Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
 
Tulisan ini pernah dimuat dalam forum debat lintas agama Swaramuslim yang sudah tutup, karena saya lihat masih banyak pertanyaan dari non-Muslim terkait soal ini, saya muat kembali.. 

Pendapat umum yang diungkapkan netters Kristen tentang surga dan keselamatan dalam Islam adalah ibarat juragan pemilik angkot dengan sang sopir angkot, si sopir ditargetkan oleh si pemilik untuk mengusahakan kendaraan miliknya untuk mendapat jumlah uang tertentu, lalu si sopir memperoleh imbalan dari setoran yang dia berikan kepada sang juragan, bedanya mungkin kalau si pemilik angkot ikut mendapatkan bagian dari setoran tersebut, maka Tuhan akan mengembalikan semua ‘setoran’ hamba-Nya untuk kemanfaatan dan kenikmatan dari hamba itu sendiri. Makanya sering kita dengar tuduhan netters Kristen yang mengatakan bahwa umat Islam bertindak seperti robot, melakukan ibadah yang ‘kering’ dengan iman, yang penting mengisi hidup dengan semua aturan yang ditetapkan Tuhan, lalu tinggal menghitung-hitung apakah semua perbuatan tersebut sudah layak diganjar dengan surga. Tuhan, dalam pandangan seperti ini seolah-olah ‘tidak bisa berbuat lain’ dan harus memberikan imbalan sesuai apa yang Dia janjikan sendiri, karena kalau tidak, artinya Tuhan sudah menyalahi janji-Nya kepada kaum Muslim. 

Sebaliknya netters Kristen membanggakan diri mereka (terutama yang Protestan) dengan mengatakan bahwa surga semata-mata merupakan anugerah Tuhan dan semua perbuatan baik kita tidak akan mampu membuat kita masuk kesana, maka yang menentukan seorang Kristen mendapat keselamatan dan surga adalah karena iman, hati yang selalu dekat dengan Tuhan, mungkin juga melalui adanya roh kudus yang bersemayam didalam dada. 

Persepsi Kristen tentang sikap umat Islam terhadap keselamatan/surga tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Tidak ada seorang Muslim-pun memiliki keyakinan bahwa dia pasti masuk surga, sekalipun misalnya sepanjang hidupnya orang tersebut melakukan semua kebaikan sesuai perintah Allah, sekalipun sesuai ‘hitung-hitungan di atas kertas’ orang tersebut sudah mengambil kesimpulan bahwa ‘setoran’nya sudah cukup memenuhi syarat untuk masuk surga. Ini disebabkan karena 2 hal : 

(1) tidak seorang manusiapun tahu persis apakah perbuatan baiknya selama ini memang suatu perbuatan yang bernilai baik juga dimata Tuhan, yang terjadi adalah adanya sikap BERHARAP DAN MEMOHON agar semua perbuatan baiknya bisa diterima oleh Allah, 

(2) tidak ada seorang Muslim-pun meyakini dirinya bersih dari dosa, dan mereka tidak tahu persis apakah dosa yang telah diperbuat memang sudah diampuni Allah atau belum, yang terjadi adalah adanya suatu sikap BERHARAP DAN MEMOHON agar semua dosa tersebut bisa diampuni Allah. 

Menurut saya, sebenarnya hal ini berlaku bukan hanya bagi kaum Muslim saja, ini dialami juga oleh semua manusia, apapun agama yang dianutnya dan bagaimanapun hebatnya ‘iming-iming’ kepastian surga/keselamatan yang dijanjikan oleh ajaran agamanya, sebab mana ada orang yang ‘pede’ mengatakan sesuatu sudah dalam genggaman, padahal sesuatu tersebut baru akan diperolehnya dimasa yang akan datang..?? 

Maka kita bisa bertanya, lalu darimana munculnya sikap BERHARAP DAN MEMOHON tersebut datangnya kalau tuduhan keselamatan atau surga dalam ajaran Islam sudah bisa ‘dikalkulasikan’ dengan menghitung amal kebaikan kita memang benar..?? Marilah kita lihat apa yang sebenarnya diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadist.. 

Allah menyampaikan dalam Al-Qur’an bahwa surga adalah anugerah-Nya buat manusia : 

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah/surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Fussilat 30-32) 

Kata ‘hidangan’ merupakan terjemahan dari ‘nuzulan’ berasal dari akar kata ‘nun-zay-lam’ dalam bentuk kata benda plural maskulin, kata ‘nuzulan’ dalam bentuk seperti ini terulang sebanyak 8 kali dalam Al-Qur’an, yaitu : [QS 3:198], [QS 18:102], [QS 18:107], [QS 32:19], [QS 37:62], [QS 41:32], [QS 56:56], [QS 56:93] yang diterjemahkan dengan ‘hidangan, anugerah, tempat tinggal’ terkait dengan apa yang diperoleh para ahli surga maupun neraka, jadi tidak harus berkonotasi positif. Akar kata ‘nun-zay-lam’ yang menurunkan beberapa kata Arab seperti : nazala, manazil/manzil, nazlah, nuzul/nuzulan, nazzala, anzala, tanazzala diartikan : ‘to descend, come down, go down, happen, alight at, settle in a place, lodge. anzala – to send down, give. nazulun – that which is prepared for a guest’s entertainment, abode, gift. manzil – mansion, station. nazzala – to cause to descend, send down. tanziil – sending down, divine revelation, orderly arrangement and authentic compilation, gradual revelation’, secara umum bisa dikatakan sebagai ‘sesuatu yang diberikan oleh pihak yang lebih tinggi karena punya kemampuan untuk memberi, kepada pihak lain yang memiliki posisi sebagai si penerima, terlepas si penerimanya menginginkan pemberian tersebut atau tidak’ ini bisa diartikan sebaliknya bahwa si pemberi juga punya kuasa untuk tidak memberikan sesuatu tersebut sekalipun pihak yang menerima ingin untuk mendapatkannya. 

Dalam suatu hadist Rasulullah bersabda : 

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya. Seorang lelaki bertanya: Engkau pun tidak, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar. 

Hadist bersumber dari Jabir, beliau bersabda: “Aku mendengar Nabi saw. Bersabda: “Tak seorangpun diantara kalian dimasukkan oleh amalnya ke dalam surga dan tidak pula diselamatkan dari neraka begitu pula aku, kecuali dengan rahmat dari Allah. 

Secara ‘provokatif’ Rasulullah menyampaikan ucapan beliau untuk memperjelas ayat tentang surga yang merupakan anugerah Allah sesuai ayat Al-Qur’an tersebut. Maka ucapan Rasulullah ini memunculkan sikap seorang Muslim yang tidak ‘menuntut’ Allah untuk memberikan imbalan keselamatan dan surga berdasarkan ‘hitung-hitungan’ amal kebaikan yang telah dia lakukan. Bahkan dalam satu riwayat dikatakan : Seandainya seluruh amal kebaikan semua manusia dikumpulkan dan diberikan kepada satu orang saja, maka semua itu tetap tidak sanggup mengimbangi nilai keselamatan dan surga yang diperolehnya, surga hanya bisa didapat karena Allah memang memutuskan untuk memberikannya kepada hamba-Nya yang telah dipilih. 

Lalu timbul pertanyaan :”kalau memang demikian, lalu mengapa Allah dalam Al-Qur’an banyak mengeluarkan ayat yang menyatakan bahwa keselamatan dan surga hanya bisa diperoleh karena iman dan amal kebaikan..??, bukankah ini kontradiktif..??” 

Jawaban dari pertanyaan ini bisa kita temukan dalam ayat diatas : Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Anugerah/nuzulan yang diberikan Allah ternyata terkait dengan sifat Allah ‘Yang Maha Pengampun = al-ghaffur’ dan ‘Yang Maha Penyayang = ar-rahiim’. Kita bisa bertanya :”mengapa tidak dikaitkan dengan sifat-Nya yang lain..?? misalnya : Maha Pengasih = ar-rahmaan, Maha Berkuasa = al-maliik, Maha Pemberi Karunia = al-wahhaab, atau banyak sifat-sifat-Nya yang lain..??. Ternyata Allah telah menetapkan bahwa surga dan keselamatan yang akan dianugerahkan-Nya, hanya bisa diperoleh oleh hamba-Nya yang telah memenuhi syarat : (1) sudah diampuni segala dosa (2) merupakan orang yang disayang oleh Allah.

Kita bisa melihat dengan jelas adanya ketepatan pemilihan kata dalam Al-Qur’an dengan kondisi psikologis dan fitrah manusia terhadap surga dan keselamatan, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa semua manusia pasti merasakan bahwa dirinya berdosa/pernah berdosa dan semua manusia tidak tahu persis bahwa dia merupakan orang yang disayang oleh Allah atau bukan (yang ada hanyalah sikap BERHARAP untuk disayang). Ajaran Islam adalah ajaran yang sesuai dengan fitrah manusia, janji-janji dalam Islam bukanlah suatu janji kosong atau ‘iming-iming’ atau ‘gembar-gembor’ yang tidak ada arti, yang sama sekali tidak sesuai dengan kodrat manusia seperti misalnya yang diajarkan dalam Kristen, ketika dimulut, umat Kristen membanggakan dirinya adalah pihak yang sudah dijamin surga, namun tingkah-laku yang merupakan menifestasi dari isi hati justru menyatakan sebaliknya, ajaran Islam tidak menghasilkan pemeluk yang kebingungan seperti itu.. 

Dosa seseorang bisa diampuni Allah, kalau memang orang tersebut SUDAH MEMINTA AMPUN kepada Allah. Tidak mungkin Allah begitu saja mengampuni dosa tanpa adanya permintaan ampun. Seseorang mau meminta ampun kepada Allah kalau dia MENGIMANI bahwa Allah memang Tuhan yang punya kuasa untuk memberi ampun, mana mungkin anda meminta ampun kepada sesuatu yang tidak anda yakini sebagai pihak yang punya kuasa untuk memberi ampun..?? Dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan bahwa ada prosedur dan persyaratan tertentu agar dosa kita bisa dihapus, misalnya : 

kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikandan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. (al-Baqarah 160) 

Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (al-Furqan 71) 

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Mujaadilah 13) 

Taubat adalah permintaan ampun yang disertai usaha untuk tidak mengulangi kembali perbuatan dosa dan menggantinya dengan amal kebaikan. Taubat anda hanya akan diterima Allah kalau anda setelah itu berusaha ‘memperbaiki diri’ dan mengerjakan shalat dan zakat, kedua bentuk perbuatan tersebut disampaikan Al-Qur’an untuk mewakili semua perbuatan baik yang terkait dengan Allah (shalat) dan terkait dengan hubungan sesama manusia (zakat), tentunya banyak lagi kita temukan bentuk-bentuk perbuatan baik yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadist Rasulullah untuk kita laksanakan. 

Apabila ditanyakan :”Bukankah kodrat manusia selalu berbuat salah..?? boleh jadi sekarang sadar dan bertaubat, lalu besok lusa kembali terjerumus berbuat dosa…”. Saya sudah berkali-kali menanyakan hal ini kepada netters Kristen, ketika ajaran Kristen mengatakan keselamatan pasti didapat karena kita beriman dan terlahir baru dan apa yang terjadi dengan mereka yang kembali terjerumus berbuat dosa. Jawabannya terlihat berputar-putar dan menampakkan kebingungan, disatu sisi dikatakan tidak mungkin orang yang sudah beriman akan berbuat dosa, ada juga yang menjawab ‘nature dosa’ sudah dihapus namun tetap bisa berbuat dosa, entah apa maksud pernyataan ini. Menurut saya ini merupakan jawaban-jawaban yang ‘merendahkan’ intelektualitas kita dan sulit untuk diterima akal sehat. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa :

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Ali Imran 135) 

Islam memandang bahwa kehidupan ini adalah suatu proses, dan manusia dinilai berdasarkan proses yang terjadi terhadap dirinya, apa yang diusahakan dan dilakukannya sepanjang hidup. Ayat tersebut mengesankan bahwa bisa saja dosa dilakukan berulang-kali, sekarang berbuat maksiat, lalu menyesal dan bertaubat dan menghentikan perbuatan tersebut, menjadi rajin beribadah, rajin meminta ampunan Allah. Lalu pada suatu waktu kembali berbuat dosa dan ketika kita kembali sadar dan meminta ampun, Allah kembali mengampuni kita. Islam memandang kehidupan bukan seperti tingkatan-tingkatan tangga, ketika seseorang sudah mengklaim dirinya ‘terlahir baru’, maka kehidupannya yang lalu ada pada ‘tingkat tangga lebih rendah’ yang tidak mungkin lagi akan dijalaninya. Setiap saat manusia bisa saja berada pada posisi terendah ataupun tertinggi dari kehidupannya, yang dinilai adalah bagaimana usahanya untuk selalu ‘mencantelkan’ dirinya kepada Allah agar tidak terjerumus dan mendapat bimbingan. Ini adalah konsep yang ‘nyambung’ dengan fakta kehidupan manusia, apapun ajaran dan agama yang anda anut, anda dipastikan mengalaminya juga. 

Lalu mengapa Al-Qur’an mengatakan surga merupakan anugerah Allah terkait dengan sifat-Nya yang Maha Penyayang = ar-rahiim..??. Dalam Al-Qur’an kita sering menemukan kata ‘ar-rahiim’ bersanding dengan kata ‘ar-rahmaan’, mengapa bukan terkait dengan sifat-Nya yang ‘ar-rahmaan’..??. Kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama, yaitu : ‘ra-ha-mim’, yang mengandung makna ‘kelemah-lembutan, kasih sayang dan kehalusan’. Dalam tafsir al-Mishbah, ustadz Quraish Shihab membicarakan hal ini secara panjang lebar, saya sampaikan intinya dengan bahasa ‘pasaran’, ketika Allah menganugerahkan udara, hujan, rejeki, dll, maka itu merupakan manifestasi dari sifat-Nya yang ‘ar-rahmaan’. Semua anugerah Allah tersebut diberikan kepada manusia tanpa mempedulikan apakah orang tersebut beriman atau kafir. Ketika anda berusaha keras mencari nafkah, sekalipun anda orang kafir, maka harta kekayaan yang anda cari akan anda dapatkan. Allah juga tidak pernah mengusir anda untuk mencari udara yang lain karena anda seumur-umur membangkang kepada-Nya. Kata ‘ar-rahmaan’ mengandung unsur ‘kesempurnaan namun bersifat sementara’. Sebaliknya kalau dikatakan Allah menganugerahi kita karena sifatnya yang ‘ar-rahiim’, maka anugerah tersebut menunjukkan kepada ‘kesinambungan dan kemantapan’. Surga adalah anugerah Allah yang kekal yang diberikan kepada hamba-Nya yang sudah memenuhi syarat. Semua manusia menerima anugerah dari sifat ‘rahmaan’ Allah, namun tidak semua manusia menerima anugerah yang didasari sifat ‘rahiim’-Nya. 

Maka kaitan antara ‘iman dan amal kebaikan’ dengan anugerah surga bisa terlihat jelas disini, ketika Allah menyatakan :[2:82] Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya, maksudnya adalah : segala perbuatan baik kita yang didasari oleh iman kepada Allah, membuat Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menjadikan kita termasuk orang yang disayang oleh Allah, berdasarkan hal tersebutlah kemudian Allah mencurahkan anugerah-Nya kepada kita berupa surga atau keselamatan. Jadi yang dimaksud anugerah disini adalah sesuatu yang terkait dengan syarat-syarat tertentu, yaitu iman dan amal kebaikan, tidak ada kedua hal tersebut maka anugerah juga tidak akan diberikan, sebaliknya sekalipun iman dan amal kebaikan sudah anda lakukan, hal tersebut tidak akan ‘menurunkan nilai’ anugerah Allah, menjadi sesuatu yang ‘sepadan’ dengan amal kebaikan yang anda lakukan. Konsep ini menafikkan munculnya sikap ‘menagih janji’ ataupun ‘menuntuk hak’ yang kemungkinan akan terjadi terhadap pihak yang dijanjikan. Perintah untuk beriman dan beramal saleh diberikan Allah karena merupakan perintah yang bisa diaplikasikan manusia dalam kehidupan, apalagi kemudian ajaran Islam menjelaskan bentuk-bentuk perbuatan lalu dicontohkan oleh Rasulullah. Sekali lagi, ajaran Islam tidak memberikan petunjuk yang berada ‘diawang-awang’, yang tidak terjangkau dan tidak bisa diaplikasikan, sehingga menghasilkan pemeluk-pemeluknya yang kebingungan. 

Katakanlah seorang Muslim yang rajin beribadah, pada satu malam ketika orang lain masih tertidur, dia bangun untuk melakukan shalat, berkomunikasi hanya berdua dengan Allah, melakukan ritual shalat berupa sujud, ruku’, seperti yang sudah diatur. Lalu ketika dia berdo’a kepada Allah muncul pertanyaan dalam hati :”Apakah ibadah saya ini diterima oleh Allah..??”, dia menyadari ketika melakukan shalat, kadang hatinya terganggu oleh pikiran-pikiran lain dan tidak selalu terfokus kepada kehadiran Tuhan : “Apakah ibadah yang sudah saya lakukan bisa membuat Allah menyayangi saya..??” atau :”apakah permintaan ampun yang saya lakukan sudah benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam..??”, maka hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dalam hati, lalu muncul perasaan berharap, memohon dengan merendahkan diri serendah-rendahnya, meminta agar Allah mau menerima ibadah yang dilakukan dan menyayanginya. Apakah anda masih mau mengatakan bahwa umat Islam adalah ibarat robot yang menjalankan perintah yang ‘kering’ iman..?? lalu menuntut Tuhan mereka berdasarkan hitung-hitungan perbuatan baik yang telah dilakukan..?? Anda kelihatannya salah besar, penjelasan saya menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat ‘compatible’ dengan kondisi rohani maupun jasmani manusia, semuanya disampaikan dengan keseimbangan, sehingga tidak terjadi ‘komplikasi’ antara surga yang merupakan anugerah Allah dengan usaha manusia melalui iman dan perbuatan baik untuk mendapatkannya.. 

Saya yakin bahwa netters Kristen tidak akan berhenti sampai disini, mereka lalu akan mengajukan pertanyaan ‘sinis’ :”Kalau begitu surga dan keselamatan dalam ajaran Islam tidak pasti donk..?? karena tidak seorang Muslim-pun tahu sampai akhir hayatnya, apakah dia akan masuk surga atau tidak..”. Pertama; apapun ajaran yang menjanjikan adanya ‘kepastian’ keselamatan tidak akan mengakibatkan para pengikutnya sudah pasti mendapatkannya, paling banter cuma ada sikap ‘merasa’ mendapatkan keselamatan, suatu kondisi yang besok lusa akan kembali berubah ketika orang tersebut berhadapan dengan kenyataan hidup. Kedua; Islam mengajarkan bahwa kita jangan sampai berprasangka buruk terhadap Tuhan : 

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. (Yusuf 12) 

dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali. (al-Fath 6) 

Surat Yusuf 12 terkait dengan prasangka buruk terhadap sesama manusia dan dikatakan ‘kebanyakan adalah dosa’, maka prasangka buruk terhadap Tuhan PASTI merupakan dosa besar, hal ini dikonfirmasikan lagi pada al-Fath 6 yang menyatakan bahwa orang yang berprasangka buruk terhadap Allah termasuk golongan orang munafik dan merupakan perbuatan yang dikutuk dan dimurkai Allah. Ketika Allah memerintahkan kita untuk beriman dan melakukan amal kebaikan agar dianugerahi-Nya surga, maka pikiran ‘Jangan-jangan Tuhan tidak menepati janji’ justru akan menjadi penyebab kita tidak akan termasuk orang yang dianugerahi-Nya surga dan keselamatan. Ketiga; Al-Qur’an menginformasikan bahwa kepastian masuk surga atau tidak akan kita dapatkan pada saat sakharatul maut, lihat ayat :”maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah/surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kepastian keselamatan akan kita ketahui pada detik terakhir kehidupan kita, pada saat semua perbuatan dan penyesalan kita sudah tidak ada nilainya lagi, seperti yang dijelaskan apa ayat ini : 

Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. (an-Nisaa 18) 

Ini adalah ajaran yang adil, kepastian akan diberitahukan pada saat kita tidak bisa lagi untuk merubahnya. Anda bisa bayangkan, ketika detik terakhir kehidupan anda, nafas mulai sesak dan kaki mulai mendingin, pandangan mengabur antara sadar dan tidak, melihat anggota keluarga disekeliling mulai menangis, lalu tiba-tiba anda mampu melihat banyak malaikat berada disekeliling anda, menghibur dan mengatakan bahwa anda jangan takut dan bersedih, menyuruh anda bergembira karena akan mendapatkan surga. Kepastian mendapatkan surga dan keselamatan bukan berasal dari usaha kita untuk ‘merasa-rasa’, apalagi ‘ge-er’ karena menerima ajaran yang isinya memastikan hal tersebut, apapun bentuk ‘kepastian’ yang diberikan tidak akan merubah apapun karena sama sekali tidak sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia yang terus berproses sampai menjelang ajal datang. Kepastian keselamatan akan diberikan Allah kepada kita pada waktu yang tepat, yaitu pada saat kita memang sudah tidak punya lagi kesempatan untuk merubahnya.


0 komentar: