Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Dari dulu orang-orang selalu ribut tentang batas aurat, mana yang bisa dikategorikan sebagai suatu bentuk pornografi atau pornoaksi dan mana yang tidak. Inul Daratista bisa saja bilang gerakan ngebor yang dilakukannya tidak lebih hanya merupakan gerakan yang ‘enerjik’, namun bang Haji Rhoma Irama dengan tegas mengatakan itu perbuatan yang sengaja mengundang syahwat. Orang-orang ribut foto telanjang Anjasmara ala Adam dan Hawa di surga, para seniman bilang itu hanyalah pengungkapan suatu nilai seni. Umat Islam mengatakan jilbab - menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan - diwajibkan agar kaum wanita terpelihara dari tindakan pelecehan oleh kaum laki-laki , pihak yang menentang bilang :”Jilbab tidak berguna, ngeliat jempolnya doank gue bisa nafsu koq..”. Yang lainnya mengatakan :”Belum tentu laki-laki bakalan terangsang lihat cewek pakai bikini atau bahkan telanjang sekalian, itu tergantung pikirannya kotor atau tidak…”. Lalu muncul usulan yang seolah-olah bijaksana :”Batas aurat diserahkan saja kepada nilai-nilai kesopanan masyarakat..”, kalau ini yang dilakukan maka orang Papua bakalan ribut dengan orang Jawa karena batas kesopanan di Papua cukup ditutup dengan koteka, sesuatu batasan yang tidak akan pernah diterima di Jogyakarta. 

Maka batasan aurat, bagian mana dari tubuh manusia yang bisa menimbulkan nafsu syahwat dan mana yang bukan, tidak bisa diserahkan kepada pendapat manusia, urusannya nggak bakalan selesai. Ketika ajaran Islam memerintahkan aturan jilbab bagi kaum wanita dengan batasan yang jelas tercantum dalam Al-Qur'an, ini merupakan perintah yang masuk akal. Kita bisa menerima dengan gampang bahwa Allah tentu lebih mengetahui mana batasan tubuh manusia yang boleh dipertontonkan dan mana yang harus disembunyikan, karena Allah mengetahui tentang diri manusia lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, tentu saja artinya Allah juga mengetahui apa isi hati orang yang menyatakan bisa bernafsu hanya dengan melihat jempol wanita tadi. 

Memang terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang batasan aurat, terutama untuk kaum wanita. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan boleh dibuka, ulama yang lain berpendapat keduanya harus ditutup, namun semuanya sepakat bahwa selain wajah dan tangan memang haram untuk diperlihatkan dimuka umum. Ini yang dipakai oleh ustadz Quraish Shihab dalam bukunya yang cukup menghebohkan tentang jilbab, beliau lalu berpendapat :”karena ini menjadi khilafiyah, maka batasan jilbab harus dilihat dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas”. Ini merupakan pandangan yang bisa menyesatkan, khilafiyah terletak hanya pada soal menutup wajah dan tangan, lalu apa hubungannya dengan nilai kesopanan dalam konteks jaman dan masyarakat..? sama saja dengan mengatakan :”Karena terjadi perbedaan pendapat boleh memperlihatkan wajah dan tangan atau tidak, maka dipersilahkan membuka bagian tubuh yang lain asal sesuai dengan nilai kesopanan masyarakat..”. Kalau mau ribut, silahkan saja ribut tentang kedua hal tersebut, bukan malah memberi ruang untuk dibukanya bagian tubuh yang lain. 

Masalah memang muncul ketika umat Islam hidup dalam negara dan masyarakat yang tidak memakai hukum Islam dalam soal aurat ini, misalnya seperti di Indonesia. Tindakan untuk istiqomah menjalankan aturan Islam, termasuk berjuang agar masyarakat tidak mengumbar aurat mempertontonkan bagian tubuh yang seharusnya ditutup, bisa saja dituduh sebagai perbuatan makar menolak Pancasila. Umat Islam yang memakai nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka tentu saja akan bereaksi ketika di masyarakat ada tindakan mempertontonkan dan menyebarkan sesuatu yang berbau porno, dengan alasan apapun, karena umat Islam sudah memiliki batasan yang jelas tentang hal tersebut. Persoalan muncul karena umat non-Muslim atau juga sebagian umat Islam yang tidak memakai aturan Islam soal aurat, punya ukuran yang berbeda dan mereka juga menganggap punya kebebasan untuk menjalankan nilai-nilai kesopanan sesuai ajaran dan pemahaman mereka. Sikap yang menyatakan :”Kalau begitu urus diri masing-masing, yang menyatakan aurat silahkan tidak menonton, yang menganggap bukan aurat juga punya kebebasan untuk menonton”. Masalahnya tidak akan selesai sampai disini karena tontonan tersebut masuk ke ruang pribadi, ke ruang keluarga dan kamar tidur melalui media, apakah itu televisi, internet, dan media lain. Juga sangat tidak masuk akal umat Islam bisa menghindar dari ruang publik seperti pasar, mall, rumah sakit, bioskop, tempat yang umumnya dipakai pihak lain untuk menyatakan ‘kebebasan berekspresi’. 

Sebenarnya umat Islam di Indonesia sudah berjuang untuk menyelamatkan diri mereka terkait soal aurat ini dengan menghasilkan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi, namun dalam pelaksanaan selalu dimentahkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengumbar aurat, mungkin karena pertimbangan keuntungan materi atau juga memang sengaja mau merusak moral masyarakat. Alasan yang selalu dikemukakan memang tidak jauh-jauh dari relatifnya suatu tindakan yang bisa dikatakan berbau pornografi dan pornoaksi tersebut, mereka akan selalu mengatakan :”Apa ukurannya..?? apa batasannya..?? mau ditutup juga saya nafsu koq lihat jempol cewek..”, atau yang lain bilang :”Mau telanjang juga, iman saya tidak akan tergoyahkan..”. Akhirnya masyarakat ribut terus kalau bicara tentang aurat…


0 komentar: