Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
 
Disaat remaja dulu saya penggemar berat cerita silat Kho Ping Hoo. Saya ingat sepulang sekolah banyak menghabiskan waktu di toko penyewaan komik untuk membacanya, bahkan ini yang menyebabkan saya tidak berhasil mengkhatam pelajaran membaca Al-Qur’an di TPA, karena ‘secara naluri’ langkah saya berbelok dari seharusnya menuju masjid untuk belajar Al-Qur’an menjadi ‘nyangkut’ ditempat komik. Ada kesempatan yang hilang, karena sekarang saya tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan semurna, namun ada juga hal berharga yang saya dapatkan : kebebasan berimajinasi. 

Membaca buku cerita membuat imajinasi kita terbang bebas, gambaran yang disampaikan melalui tulisan ditafsirkan oleh otak kita secara unik dan sangat personal. Bisa saja semua orang membaca cerita yang sama, namun gambaran yang muncul dalam kepala pasti berbeda-beda. Ketika saya baca serial kisah Pendekar Pulau Es, misalnya, ada gambaran tentang situasi pulau Es tempat berdiamnya sang pendekar satu kaki Suma Han. Saya juga berimajinasi bagaimana ketika para penghuninya keluar masuk pulau memakai perahu menebus badai, atau menggunakan tenaga ginkang dan gwakang. Demikian juga ketika diceritakan soal Bu Kek Siansu, seorang istimewa sejak kecil yang dianugerahi bakat mampu mengendalikan hawa nafsu sehingga menjadi manusia suci, hidup sampai tua dan suka muncul tiba-tiba mengajarkan ilmu silat kepada siapapun yang membutuhkan. Penjelasan berupa tulisan tidak akan mampu membatasi imajinasi yang muncul dalam pikiran.

Beberapa tahun lalu, salah satu stasiun televisi di Indonesia memfilemkan cerita silat Kho Ping Ho ini dalam tayangan serial dan hasilnya saya sangat kecewa. Imajinasi yang selama ini menempel di ingatan sangat berbeda dengan visualisasi yang dibuat oleh sutradaranya. Ketika si Suling Emas berlari kencang menggunakan ‘ilmu ringan tubuh’, apa yang disajikan di film tidak sama dengan apa yang saya bayangkan selama ini. 

Imajinasi yang begitu bebas terpaksa harus ‘dikurung’ oleh penafsiran si sutradara. Setahu saya ini selalu terjadi, ketika anda membaca sebuah buku novel atau cerita, lalu novel tersebut difilemkan orang, bersiaplah untuk kecewa karena film tersebut tidak seperti yang dibayangkan. Saya juga sangat menyukai kisah Mushashi karangan Eiji Yoshikawa atau Monte Cristo-nya Alexander Dumas, lalu ketika menonton filemnya saya harus menggerutu sampai filem selesai. 

Satu hal yang saya rasakan adalah hubungan emosi kita dengan tokoh menjadi tidak terjalin. Ada ‘tembok’ yang muncul ketika kita menonton film, sangat berbeda ketika gambaran tokoh tersebut muncul bebas dalam imajinasi kita, terasa ada kedekatan dan hubungan emosinya. Imajinasi kita juga berkembang sejalan dengan perkembangan umur dan pengalaman sehingga apa yang muncul selalu ‘up to date’

Dijaman sekarang yang sudah mewabah cara berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui visual membuat kebebasan berimajinasi jadi sangat mahal harganya. Gambaran yang ada di kepala menjadi seragam dan kemampuan untuk berimajinasi sudah langka. Buktinya, silahkan suruh anak anda untuk membuat gambar secara bebas, saya pastikan 90% dari mereka akan membuat gambar 2 gunung dengan jalan raya ditengah secara perspektif, lalu ada sawah dikiri kanan, matahari yang mengintip dari balik gunung dan beberapa awan. Paling-paling ada tambahan sebuah rumah dan beberapa burung terbang di udara. Kita menemukan fakta bahwa anak-anak kita sudah kesulitan untuk berimajinasi secara bebas, apa yang tergambar dalam pikiran mereka menjadi seragam. 

Kalau tidak disikapi dengan tepat, media visual seperti televisi dan internet bisa menjadi ‘racun’ yang menggerogoti kemampuan imajinasi anak-anak kita, maka membiasakan mereka untuk membaca buku cerita sangat diperlukan. Selalu arahkan waktu mereka untuk itu, sediakan sarananya, bikin anggaran keluarga untuk membeli buku-buku bermutu, kalau perlu buat perpustakaan kecil dirumah agar terbuka kesempatan untuk selalu berinteraksi dengan buku. 

Terkait dengan ini, mungkin itu sebabnya Islam melarang untuk menggambarkan sosok nabi Muhammad dan para nabi lainnya, bahkan termasuk sahabat nabi seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali , dll. Selain untuk menghindari adanya kultus individu, ketika kita menerima informasi tentang mereka melalui tulisan dalam hadits, bagaimana sikap dan tingkah lakunya, bahkan juga gambaran sosok mereka, maka Islam memberikan kesempatan bagi pikiran kita untuk berimajinasi secara bebas. Imajinasi bebas kita membuat kita merasa dekat dengan mereka, Informasi tentang Rasulullah yang tidur diteras rumah sampai pagi karena pulang kemalaman dan tidak mau mengganggu tidur istrinya terasa sangat menyentuh, dan ini pasti akan hilang kalau adegan tersebut divisualisasikan dalam film atau gambar. 

Demikian juga dengan Al-Qur’an. Pernyataan tentang surga dan neraka sangat hidup dalam pikiran karena adanya kebebasan berimajinasi yang tercipta. Keangkeran neraka dengan api yang menyala-nyala, informasi ketika orang kafir menyesal dan meminta-minta agar dikembalikan ke dunia, atau sebaliknya bagaimana keindahan kondisi surga dengan buah-buahan yang mudah diraih dari pohon, ditemani dengan ‘huurin ain’ yang ditafsirkan dengan bidadari (secara arti bahasa kata ‘huurin ain’ lebih dimaknai sebagai ‘pendamping’ dalam arti luas dan bidadari termasuk didalamnya), batasan kenikmatannya sangat personal sesuai kecenderungan kita. Hal tersebut membuat kita menjadi ‘sangat dekat’ dengan surga dan neraka. Mungkin itu sebabnya Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk perkataan yang dituliskan, bukan melalui visual seperti komik atau rekaman film.


0 komentar: