Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Ijinkanlah saya bercerita tentang sebagian nasib masyarakat diwilayah Bandung utara, tepatnya disebelah Tahura - taman hutan raya Ir. H. Juanda. Pada suatu waktu saya berniat belajar memelihara lebah yang kebetulan lokasi pendidikannya ada ditempat tersebut, diajarkan oleh salah seorang penduduk setempat yang merupakan peternak lebah disana. Pada saat istirahat dia bercerita tentang nasib tetangga-tetangganya..

Di wilayah Bandung utara banyak dibangun komplek perumahan, villa, dll karena lokasinya yang bagus, berada diketinggian, berhawa sejuk dan dimalam hari bisa memandang ke kota yang dihiasi lampu-lampu. Dahulunya tanah disana dimiliki oleh para penduduk, namun dengan berkembangnya kompleks perumahan, banyak yang akhirnya menjual tanah-tanah mereka kepada developer, lalu pulang ke daerah asal seperti di Subang, Garut, Tasik, dll. namun karena tingkat pendidikan dan ketidak-mampuan berusaha, uang hasil penjualan tanah dipakai untuk pengeluaran yang konsumtif, beli motor, dll, akhirnya habis. Penduduk yang dulunya bermukim di Bandung utara tersebut akhirnya kembali lagi dan pontang-panting mencari pekerjaan, ada yang jad satpam, tenaga kebersihan dan pembantu rumah-tangga. Berada ditempat yang sama namun dengan nasib yang berbeda.

Pemerintah sekarang kelihatannya menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai primadona. Ada proyek Trans Sumatera, jalan tol di pulau-pulau di luar Jawa, jalur kereta api, kereta cepat, dll. Diharapkan dengan adanya infrastruktur baru tersebut wilayah yang dilalui akan meningkat derajatnya, menjadi sentra-sentra perekonomian dengan membangun perumahan, sentra industri, taman rekreasi seperti Disney World. Pembangunan akan membuka banyak lapangan kerja dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Begitu cita-citanya.

Cerita kecil tentang penduduk di Bandung utara bisa dijadikan pelajaran bahwa pembangunan infrastruktur memiliki akibat negatif kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas intelektual masyarakat. Rakyat akan menjadi kuli dan para pemilik modal akan makin 'jauh dari jangkauan' karena mampu mengambil manfaat materi yang melimpah. Maka seharusnya semuanya harus diprogramkan secara simultan.

Memang membangun infrastruktur jauh lebih gampang dibandingkan meningkatkan kemampuan dan kecerdasan masyarakat. Kalaupun tidak ada modal tinggal berhutang dengan konsesi yang memadai bagi pemilik modal, hasilnya juga kelihatannya nyata dalam waktu relatif singkat, dan tentunya bisa dipakai untuk pencitraan :"Hanya dijaman saya proyek ini bisa dibuat...". Sebaliknya membangun kualitas intelektual rakyat membutuhkan paling kurang 1 generasi, si pemimpin mungkin sudah selesai bertugas ketika program tersebut berhasil dan bisa-bisa akan diklaim sebagai hasil kerja pemimpin berikutnya. Mungkin ini penyebab mengapa program peningkatan pendidikan masyarakat tidak menjadi favorit bagi penguasa, sekalipun dalam berbagai kampanye hal ini sering dijanjikan. Indikasinya gampang kita lihat, MPR bahkan harus 'repot-repot' merubah UUD'45 dengan menetapkan batasan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD (Pasal 31 ayat 4), menunjukkan kalau penguasa harus 'dipaksa' untuk memperhatikan program pendidikan.

Maka berhati-hatilah dengan pembangunan infrastruktur, tanpa diimbangi program peningkatan kualitas masyarakat hal ini bisa menjadi pisau bermata dua, diharapkan mampu memotong sesuatu sesuai kebutuhan, namun bisa malah melukai diri sendiri.


0 komentar: