Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Dulu saya pernah mengajukan pertanyaan 'santai tapi serius' tentang makna dari negara kebangsaan :"Kalau saat ini nabi Muhammad SAW masih hidup, siapakah yang akan dibela beliau ketika kesebelasan sepakbola Arab Saudi bertanding dengan Indonesia..?. Ini baru soal sederhana tentang pertandingan sepakbola, bagaimana halnya dengan urusan lain antar negara seperti kontrak dagang, perang dan persekutuan damai, investasi asing, urusan imigrasi, TKI, dll..?

Negara bangsa seperti yang kita kenal saat ini mempunyai landasan yang membedakan satu dengan yang lainnya, yaitu adanya kebangsaan dan kedaulatan, dua konsep yang sebenarnya sangat samar batasannya. Indonesia dan Malaysia punya warga yang serumpun namun tetap menjadi negara terpisah karena yang satu bekas jajahan Belanda yang lain dijajah Inggeris, India dan Pakistan sama-sama dijajah Inggeris dan sama-sama merdeka dalam waktu yang sama, namun karena perbedaan agama mayoritas yang satu Hindu dan yang lain Islam, tidak terjadi penyatuan negara. Lain lagi Pakistan dengan Bangladesh, dua-duanya negara dengan penduduk mayoritas pemeluk Islam namun akhirnya menjadi negara sendiri-sendiri karena lokasinya berjauhan. Tidak ada satu konsep yang baku mendasari apa yang dimaksud dengan kebangsaan sehingga bung Karno punya konsep sendiri yang juga tidak kalah samarnya, kebangsaan dimunculkan karena adanya persamaan nasib.

Keberadaan suatu negara bangsa juga bukan bersifat alamiah, namun merupakan akibat interaksi dengan pertarungan politik, bisa dilacak sejak abad ke-15 ketika mulai terjadinya pemisahan kerajaan-kerajaan di Eropah dengan kekuasaan gereja Roma. Silih berganti muncul negara, ada yang bergabung, lalu pecah lagi. Jadi negara bangsa bukanlah suatu yang bersifat ajeg dan mapan, begitu masyarakat dan pemegang kekuasaannya punya kehendak lain, bisa jadi muncul negara baru. Maka sebagaimana keniscayaan munculnya negara bangsa, kemungkinan adanya suatu kekhalifahan Islam yang mencakup seluruh dunia juga bukan merupakan hal yang mustahil. Bentuknya bisa bermacam-macam karena Rasulullah tidak pernah memberikan petunjuk soal ini, bisa saja memakai model negara persemakmuran, atau model Uni Eropah yang tetap mengakui eksistensi negara bangsa, atau benar-benar berbentuk negara yang berdaulat.

Semua umat Islam pasti menghendaki adanya kekhalifahan, adanya suatu kekuasaan yang mencakup dan mempersatukan seluruh umat manusia, dilaksanakan dalam nilai-nilai Islam, melindungi semua rakyat, baik yang beragama Islam maupun yang bukan. Namun mereka berbeda paham tentang cara untuk mencapainya. Ada Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani, lalu Hasan al-Bana di Mesir membentuk Ikhwanul Muslimin, dimasa sekarang ada gerakan Hizbut Tahrir. Semua gerakan tersebut punya konsep dan cara mewujudkan negara khilafah yang berbeda-beda. Karena berbeda maka akhirnya dalam gerakan sendiri berlaku 'hukum alam', otomatis muncul perpecahan antara yang ikut kelompok dengan yang berada diluar kelompok.

Bagi saya sendiri, khilafah Islam semata-mata merupakan anugerah Allah, yang diberikan-Nya apabila umat Islam memang sudah mempersiapkan diri, menunjukkan sebagai komunitas yang benar-benar menjalankan syariat Islam. Maka langkah yang paling logis dan paling terjangkau adalah dengan memperbaiki lingkungan terdekat terutama dari aspek kehidupan sosial. Mulai dengan rajin shalat berjamaah di masjid sehingga terjadi interaksi dalam ukhuwah. Apabila hal ini sudah meluas dan menjadi kebiasaan yang bersifat menyeluruh maka turunnya pemimpin/khalifah hanya soal waktu.


0 komentar: