Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
 
Ada cerita yang tercecer dari perjalanan umroh saya di bulan ramadhan kemaren, terkait dengan interaksi yang terjadi dengan jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia.. 

Kebetulan jadwal perjalanan kami selama sebulan di tanah suci terlebih dahulu berkunjung ke Madinah, untuk beribadah di masjid Nabawi selama 3 hari, setelah itu baru berpindah ke Makkah melakukan umroh dan shalat di Masjidil Haram sebanyak-banyaknya, mengikuti yang fardhu dan juga tarawihnya sekalian. Sebagaimana kebiasaan pada kedua masjid tersebut, ketika menjelang maghrib di bulan Ramadhan, pihak pengelola selalu menyediakan ‘tajil’ untuk berbuka puasa, kalau di Madinah agak rada lebih lengkap, berupa korma dan roti, ‘laban’; semacam yoghurt dari susu sapi kental yang sudah di fermentasi, ‘syai’ panggilan Arab untuk teh, ataupun ‘gawa’ kopi Arab. Tentu saja tidak ketinggalan beberapa gelas air zamzam. Bagi anda yang biasa ‘bertajil-ria’ di masjid-masjid Indonesia, jangan heran kalau disana tidak akan ditemukan kolak, cendol, lemper, dll karena bagi orang kita istilah tajil memang melekat kepada jenis-jenis makanan tersebut, sampai-sampai ada yang menyangka kalau tajil adalah kata Arab untuk kolak atau cendol. Tajil memang berasal dari bahasa Arab ‘ajjala’ artinya : menyegerakan, mendahulukan. Maksudnya sebelum melakukan buka puasa dengan makanan besar, umat Islam terlebih dahulu membatalkan puasanya dengan memakan makanan kecil lalu shalat maghrib, setelah itu baru berbuka dengan makanan seperti biasanya. 

Di masjid Nabawi ada kebiasaan, ketika kita baru datang ke halaman masjid, anak-anak Arab langsung mendatangi kita, menarik-narik untuk menempati wilayah shalat yang menjadi ‘daerah kekuasaan’ mereka, disitu sudah digelar plastik dan diatasnya ditempatkan makanan buat tajil. Bagi orang-orang Arab, melayani tamu yang sedang berpuasa merupakan kebiasaan yang sudah ditanamkan turun-temurun bagi anak-anak mereka, karena Islam memang mengajarkan disitu ada keberkahannya, makanya anak-anak Arab tersebut berlomba-lomba untuk mengundang kita ketempat mereka ditugaskan untuk melayani. Pernah suatu ketika saya akhirnya mengikuti ajakan seorang anak untuk duduk dibagian masjid dibagian belakang (biasanya saya selalu mencari tempat yang paling depan yang bisa saya tempati) karena kasihan melihat mukanya memelas, mengharapkan saya mau menempati wilayahnya. Kebetulan saya ‘kecemplung’ ditengah-tengah rombongan orang Arab dari Mesir, akhirnya saya jadi orang yang asing sendiri. Mereka sibuk berbincang-bincang dalam bahasa Arab yang tidak saya mengerti, dan kelihatannya juga rombongan ini sudah saling kenal satu sama lain. Untuk menghilangkan kekikukan, saya lalu membuka Al-Qur’an dan mulai membacanya dalam hati. Tiba-tiba salah seorang Arab tersebut menyapa dan menunjuk-nunjuk Al-Qur’an yang saya pegang, bicara dalam bahasa Arab. Dari isyarat tangannya saya memahami bahwa mereka ingin saya membacanya dengan agak keras agar mereka bisa menikmati bacaan tersebut. Ini rupanya menjadi kebiasaan bagi mereka. Tentu saja keringat dingin saya langsung keluar, karena saya sendiri tidak begitu lancar membaca Al-Qur’an, sering salah-salah, apalagi alunan suaranya, pasti bakalan sumbang. Dengan keras saya langsung menggelengkan kepala dan menepuk tangan saya ke dada untuk mengisyaratkan bahwa saya hanya membaca Al-Qur’an dalam hati saja. Untungnya mereka kemudian tidak memaksa.. 

Ketika azan maghrib berkumandang, kami lalu berbuka puasa bersama, menyantap korma dan roti dan minum zamzam. Dalam menu tajil di masjid Nabawi saya melihat ada semacam serbuk rempah-rempat yang ditempatkan dalam piring atau mangkuk plastik kecil, setelah bertanya dengan isyarat kepada Arab yang ada didepan saya, akhirnya saya baru tahu kalau serbuk tersebut dipakai buat memakan ‘laban’ dengan cara mengaduknya rata. Rasa keingin-tahuan membuat saya mencobanya, memasukkan rempah-rempah, mengaduk lalu memakannya. Rasanya ‘luar biasa’, kecut, sepet dan agak pedas. Ingin segera terlepas dari ‘penderitaan’, saya lalu memakan yoghurt secepat mungkin. Eeh…ketika ‘siksaan’ selesai, si Arab yang ada didepan saya malah menyodorkan bagiannya yang belum dimakan, rupanya dia menyangka saya menyukai dan menikmati makanan tersebut, dia kelihatannya senang saya menyukai makanan Arab. Tentu saja dengan menggeleng-geleng saya menolak dan menyatakan sudah kenyang. 

Di tanah suci, dibulan Ramadhan, hampir semua orang yang datang dari penjuru dunia punya kebiasaan berbagi makanan. Banyak dari jamaah yang sengaja datang menjelang maghrib sambil membawa sebungkus korma atau sepotong roti yang sengaja dibeli dari pertokoan depan masjid, lalu dibagi-bagikan kepada orang-orang di sekeliling. Bahkan sering mereka membagi dua potongan roti yang sebenarnya cukup untuk dimakan sendiri. Satu kesan yang mengagumkan adalah, saya sama sekali tidak menangkap adanya rasa curiga terhadap makanan yang diberikan, apakah ini layak dimakan, kotor, apalagi mengandung racun. Berbagi makanan juga sering mereka lakukan ketika sahur menjelang shubuh. Terutama pada sepuluh hari terakhir, banyak orang melakukan iktikaf di masjid, mereka membekali diri dengan makan sahur. Orang-orang dari Pakistan dan Bangladesh biasanya duduk berombongan sesama mereka, lalu melakukan makan bersama dalam satu bungkusan, biasanya terdiri dari 4 atau 5 orang. Ketika mereka melihat saya sendiri belum makan, secara spontan salah satunya mengajak saya untuk bergabung. Saya lalu menolaknya sambil mengeluarkan bekal makanan yang sudah saya persiapkan dalam tas, menyatakan bahwa saya juga membawa bekal. 

Di tanah suci, dibulan Ramadhan, saya bisa merasakan denyut nadi persaudaraan umat Islam yang sangat mempesona. Memang di tengah jamaah yang sangat padat sering terjadi perselisihan, terutama menyangkut soal rebutan tempat shalat, namun saya jarang melihat hal itu berujung kepada perkelahian. 

Ramadhan tahun ini terasa berbeda dibandingkan tahun 1997 ketika saya menunaikan ibadah haji, pengunjung tanah suci terlihat lebih beragam. Dulu orang-orang Asia Timur seperti Cina, Jepang dan Korea jarang ditemukan, sekarang mereka muncul dimana-mana. Demikian juga dengan jamaah dari Eropah dan Australia. Sekarang ini saya sering shalat bersebelahan dengan bule-bule dari Perancis atau Amerika serikat, disaat lain saya berkumpul dengan orang Cina, dan tentu saja orang Arab, Turki, Pakistan, India dan Afrika hitam yang memang sudah dari dulu mendominasi pengunjung haji atau umroh. Dalam satu kesempatan, saya bersebelahan dengan seorang tua dari Cina. Pak tua ini punya kebiasaan menyapa orang yang berada disebelahnya dengan bahasa Cina, tidak peduli apakah orang tersebut mengerti atau tidak. Karena dia mengajak saya ngobrol maka saya mencoba meladeninya semampu saya, kadang memakai bahasa Inggeris atau Indonesia yang pasti tidak dia mengerti, dan tentu saja ‘bahasa tarzan’. Beberapa saat, giliran jemaah disebelah kirinya yang disapa, kebetulan orang Arab dari Bahrain. Si Arab kelihatan kebingungan mendengar pak tua Cina ‘nyerocos’, lalu meminta saya untuk menjelaskan apa maksud omongannya. Saya mengatakan kalau saya tidak mengerti bahasa Cina. Orang Arab tersebut menjadi heran dan sambil tertawa dia bertanya dalam bahasa Inggeris :”Jadi dari tadi kamu ngobrol dengan bapak ini tapi masing-masing tidak mengerti apa yang diucapkan satu sama lainnya..?”. Saya mengiyakan, dan ini membuat kami tertawa bersama, dan ternyata pak tua Cina ikut-ikutan tertawa. Saya lalu menepuk pahanya dan ngomong dalam bahasa Indonesia :”Anda orang tua yang luar biasa..”, ucapan yang kemudian membuat dia tertawa lebih keras.. 

Shalat di Masjidil Haram merupakan bukti kongkrit tentang persaudaraan Islam. Ketika memulai shalat, kami berbaris seperti tentara, bersentuhan bahu dengan bahu, ujung kaki dengan ujung kaki dan tidak sedikitpun memberi ruang buat syaitan untuk menyelip disela-selanya. Dalam suatu hadits, Rasulullah mengatakan : 

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata: Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)” 

Jangan mengartikan syaitan yang akan masuk disela-sela orang shalat tersebut berbentuk makhluk menyeramkan, bertanduk dan membawa trisula, lalu menyelip ditengah orang yang sedang shalat, meniup telinga kekiri dan kekanan untuk mengganggu konsentrasi. Syaitan yang dimaksud adalah munculnya perasaan rasis, mencurigai sesama Muslim yang ada disebelah kita. Ketika bahu dan ujung jari kaki bersentuhan, maka serta-merta tembok rasial yang dibangun oleh kehidupan diluar shalat menjadi hancur. Islam sudah mendidik umatnya untuk membentengi diri dari perasaan-perasaan seperti ini jauh sebelum peradaban manusia menemukan rumusan tentang sikap anti-rasial. Maka saya sempat berpikir tentang pertikaian yang terjadi dimana-mana, orang Muslim berkelahi dengan Muslim yang lain, bunuh-bunuhan antar sesama mereka karena masalah sektarian, mazhab dan aliran. Sudah pasti rasa keimanan yang muncul ketika melakukan shalat berjamaah tidak memiliki imbas yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Iman hanya ada di waktu shalat, diluar itu tidak ada keimanan. Logikanya memang demikian. 

Shalat berjamaah di Masjidil Haram membuka mata saya tentang keagungan Islam, disana ada banyak aliran, apakah itu Suni atau Syiah, banyak ras dan suku bangsa, banyak peradaban dan adat istiadat yang berbeda, namun ketika bersama-sama melakukan shalat, semuanya memasrahkan diri untuk ikut ‘apa kata’ imam shalat, sang imam memberi aba-aba untuk ruku’ semuanya ruku’, ketika diperintahkan untuk sujud, semuanya bersujud. 

Kita menemukan dalam sejarah, bagaimana persaudaraan atas dasar keimanan ini berhasil merombak budaya Arab jahiliyah yang sudah terbentuk berabad-abad. Orang Arab yang hidup dalam sistem ‘kabilah’ – kekerabatan berdasarkan kaum, hanya dalam satu generasi, tidak lebih dari 25 tahun, berubah total menjadi sistem persaudaraan berdasarkan iman. Ketika kaum muhajirin dari Makkah terpaksa mengungsi, saudara-saudara seiman mereka di Madinah dengan penuh kerelaan hati membagi rumah, tanah dan harta mereka. Padahal beberapa tahun sebelumnya, jangankan antara penduduk kota yang berbeda, sesama penghuni Makkah bisa berkelahi dan saling berperang karena ketersinggungan antara suku. Jaman tersebut adalah contoh nyata tentang rasa persaudaraan yang dibentuk dalam ritual shalat memiliki pengaruh kepada kehidupan sehari-hari, beriman dalam shalat, beriman juga dalam kehidupan bermasyarakat. 

Pengalaman tersebut memunculkan pertanyaan yang tidak bisa saya jawab sampai sekarang :”Kapankah umat Islam bisa membawa keimanan mereka ketika shalat tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari..??”. Tentu saja Islam tidak menafikan adanya konflik dalam kehidupan manusia yang terjadi antar perorangan ataupun kelompok, namun ketika rasa persaudaraan yang muncul pada waktu shalat bisa memiliki pengaruh dalam kehidupan, maka setiap perselisihan pasti disikapi dibawah landasan keimanan tersebut. Entah kebetulan atau tidak, dihari terakhir bulan ramadhan, diwaktu shalat shubuh berjamaah, imam shalat membaca ayat Al-Qur’an yang kebetulan saya mengerti artinya, membuat saya tidak bisa menahan tetesan airmata : 

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Al-Hujurat 10-12)


0 komentar: