Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Saya perhatikan, gerakan liberal sekarang ini sebenarnya sudah 'terpuruk di pinggiran twitter', tidak lagi mempunyai gaung yang bisa mempengaruhi perhatian umat. Hanya tinggal celetukan tidak berarti di kultwit, yang diributkan melulu soal jilbab, teror, hukum potong tangan, radikalisme, dll. Website Islamlib isinya cuma mengulang-ulang topik yang sudah basi, soal konteks sejarah Al-Qur'an, hermeneutika, kritik teks. Abu Zayd atau Arkoun yang dulunya 'bergengsi' untuk dikutip, sekarang sudah terlihat seperti 'manusia dari jaman lampau', pemikiran mereka tidak memunculkan hal yang baru dalam khazanah Islam, malah muncul puluhan buku yang mementahkan apa yang disampaikan. Sudah lebih dari 30 tahun, tidak ada perubahan fundamental dalam pemikiran Islam, umat tetap saja sibuk mengkaji pemikiran para ulama klasik, dan mengaktualisasikan dan merevitalisasikannya. Tahun 80’an, JIL yang dimotori oleh Taufik Adnan Amal, membuat gagasan untuk memunculkan ‘Al-Qur’an Edisi Kritis’ yang diharapkan menghasilkan versi yang sesuai dengan nilai-nilai HAM, kesetaraan gender, demokrasi yang dianut oleh dunia sekarang ini., dan juga sudah 30 tahun berlalu, tidak menghasilkan apapun.

Anak-anak muda pengikut paham liberal (termasuk yang kuliah di UIN), tidak lebih dari orang-orang yang berperilaku 'tengik', banyak mengutip istilah-istilah asing yang sebenarnya tidak mereka mengerti, pokoknya asal memuat jargon : HAM, kesetaraan, demokrasi, kebebasan, dll. Saya lihat usaha mereka untuk ‘memodernisasikan’ lagak dan gaya ternyata tidak berhasil. Saya kurang begitu paham tentang alasan munculnya arus pemikiran liberal pada kelompok Islam ‘tradisional’ seperti mahasiswa UIN (dulunya IAIN) dan para lulusan pesantren. 

Ulil pernah menyatakan bahwa munculnya Islam liberal sebagai reaksi dari maraknya fundamentalis Islam setelah jaman reformasi. Namun jauh sebelum itu Nurcholis Madjid (Cak Nur) sudah ‘memasarkan’ gerakan sekularisme yang hampir mirip dengan apa yang dibawa oleh kelompok JIL, dan alasannya bukan soal fundamentalisme Islam, tapi karena kegagalan formalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial politik di Indonesia, sehingga parta-partai Islam malah memberikan kontribusi terhadap kekisruhan politik sejak Pemilu tahun 1955, membuat umat terpecah, lalu ujungnya menjadi ‘pelengkap penderita’ dijaman Orde Baru. Makanya Cak Nur terkenal dengan jargonnya ‘Islam Yes, partai Islam No’. Dugaan saya, mereka punya alasan yang lebih mendasar lagi dari hanya sekedar reaksi terhadap fundamentalisme Islam. Umat Islam ‘tradisional’ ini memang sudah terpojok dianggap ‘intelektual ketinggalan jaman’ atau juga dianggap ‘terperosok dalam kebuntuan berpikir’, karena selama ini mengusung pemahaman ulama klasik Islam yang tidak diaktualisasi. Setiap bicara dan mengutip ayat Al-Qur’an atau Al-Ghazali misalnya, muncul cemoohan sebagai ‘orang-orang terkebelakang’ yang tidak berubah dari jaman dahulu kala. Pilihan sikap ‘merubah gaya’ dengan ikut trend memakai pola berpikir Barat (baca : orientalisme) dan tentu saja akan banyak memakai istilah Barat, kemungkinan dianggap bisa menyelamatkan, menyatakan diri setara dan sejajar dengan dunia modern. 

Dari otoritas keilmuan, tokoh-tokoh Islam liberal juga bukan orang-orang yang diakui dunia ilmu pengetahuan. Ulil gagal mengambil S2 (atau S3) di Amerika (bisa jadi bukti kalau gagasan Islam liberal juga tidak laku di AS, sebab kalau laku tentu akan menjadi topik disertasi yang menarik perhatian dunia ilmu disana). Abdul Moqsith menghasilkan thesis doktor yang bermasalah di UIN soal ushul/fushul qur'an, entah darimana dia mendapat wangsit punya wewenang untuk membagi-bagi Al-Qur'an, suatu wewenang yang malah tidak dimiliki oleh manusia, sekalipun itu nabi Muhammad. Lainnya bertitel PhD yang cuma laku di Paramadina atau lembaga lain yang sealiran. Tokoh-tokoh Islam liberal juga beberapa kali melakukan ‘langkah blunder’ ketika tampil di media massa seperti televisi, kita masih ingat Siti Musdah Mulia yang profesor di UIN menyatakan dengan ‘pede’ di MetroTV : “Nilai-nilai Islam di Indonesia harus disesuaikan dengan Pancasila”, suatu pernyataan yang membuat Nazwa Shihab yang mewawancarainya menjadi melongo. Sebaliknya keberadaan Islam Liberal justru memunculkan lembaga dan ilmuwan Islam yang berseberangan dan diakui otoritasnya di dunia internasional, juga menghasilkan tulisan dan buku yang menjadi rujukan sarat mengandung ilmu, baik dari sudut pandang ulama Islam klasik, maupun dari sisi ilmu sekuler yang menjadi andalan kelompok Islam Liberal selama ini. Syamsuddin Arief yang mengarang buku ‘Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran’, mengambil gelar Doktor keduanya di sarang orientalis di Jerman. Hamid fahmi Zakasyi menyelesaikan Master of Philosophy di Universitas Birmingham sebelum meraih gelar Doktor-nya di ISTAC, Malaysia. Tanggapan pemikir-pemikir Islam terhadap Islam liberal ini kerap memakai sudut pandang Barat yang selama ini menjadi andalan lawan. 

Mungkin karena ‘sudah tidak kuat ilmu’, makanya tokoh-tokoh JIL saat ini sudah segan untuk menanggapi secara terbuka bantahan dan serangan yang dialamatkan kepada pemikiran mereka, istilahnya : “Sudah kehabisan bensin…”. Sekarang sering kita temukan pernyataan :”Percuma bicara sama mereka, nggak bakalan berubah..”. 

Sekalipun secara keilmuan konsep Islam liberal sudah bisa dikatakan gagal dan sudah menjadi kedaluarsa, namun faktanya paham ini masih laku dipakai orang, terutama dibidang politik. Baru-baru ini Anwar Ibrahim di Malaysia juga memanfaatkan paham ini untuk mendukung kiprahnya dalam dunia politik Malaysia agar bisa mendapat dukungan dari banyak kelompok disana. Paham Islam liberal dengan sistem demokrasi suara terbanyak yang dianut, baik di Indonesia maupun di Malaysia saling bersinergi. Para politisi yang membutuhkan dukungan mayoritas rakyat tentu saja lebih cenderung mengeluarkan sikap yang bisa diterima oleh semua pihak, tidak fanatik kepada salah satu sisi, toleran dalam segala hal termasuk soal aqidah, istilah pepatah : “Masuk kandang harimau mengaum, masuk kandang kambing mengembik”. Sebaliknya iklim demokrasi suara mayoritas diperlukan oleh gerakan Islam liberal agar tindakan mereka yang memelintir pemahaman agama dengan sebebas-bebasnya bisa hidup dan diakui oleh oleh sistem politik yang berlaku, tergantung usaha dan kekuatan untuk mengarahkan persepsi masyarakat. Jadi keberpihakan kepada pemikiran liberal dalam Islam bukan lagi semata-mata untuk kepentingan pembaharuan atau pengayaan khazanah di dunia Islam, tapi sudah ‘diperalat’ untuk kepentingan kekuasaan. 

Makanya sekarang ini, gerakan Islam liberal tidak lebih sekedar kelompok orang yang ‘menggerutu di pinggiran twitter’, nyeletuk tentang apapun nilai-nilai Islam yang tidak disetujui, dan sama sekali tidak berminat untuk mendiskusikannya secara terbuka dan ilmiah..


0 komentar: