Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Ayat Al-Qur’an yang menyatakan bentuk antropomorfisme dari Allah sudah menjadi perdebatan sengit dari jaman dahulu, terutama antara kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kita bisa menemukan pernyataan Al-Qur’an bahwa Allah memiliki al-'ain (telinga), al-wajh (wajah), dan al-yad (tangan) disamping juga Dia dikatakan al-istiwa' (bersemayam) diatas ‘arsy. Kaum Asy’ariyah mengartikan penjelasan ini apa adanya namun dengan ketentuan ‘tidak diketahui bagaimana’ (bila kaifa), maksudnya mereka menerima bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, dan bersemayam diatas ‘arsy, namun jangan berpikiran bagaimana bentuknya, memperbandingkan dengan wajah, tangan, telinga yang terdapat pada makhluk, juga jangan membayangkan posisi Allah bersemayam dengan membandingkan seorang raja bersemayam di singgasananya. 

Untuk memperjelas soal kata ‘wajah, tangan, bersemayam’ ini bisa saya kemukakan kata yang sama dan dipakai dalam kalimat dengan kondisi yang berbeda. Kita mengenal kata ‘wajah peradaban Barat’ misalnya yang menjadi judul buku karangan Adian Husaini, atau juga istilah ‘wajah kemiskinan ibukota’, atau juga ‘tangan kekuasaan’, dll. Sekalipun memakai kata yang sama namun jangan diartikan kata ‘wajah’ yang dimaksudkan dalam kalimat ‘wajah peradaban Barat’ sama bentuknya dengan wajah manusia yang punya mata, hidung, mulut, alis, jidat, dll. Demikian juga kalau kita bicara soal ‘tangan kekuasaan’, jangan diartikan seperti tangan manusia yang punya jari, kuku, telapak, dll. Bentuknya tentu saja harus disinkronkan dengan eksistensi sesuatu yang disandangnya. 

Demikian juga kalau Al-Qur’an bicara tentang wajah dan tangan Allah, karena disandingkan dengan keberadaan Allah maka berdasarkan hal itulah kita memahaminya. Allah adalah suatu keberadaan yang tidak bisa dibayangkan, tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, maka wajah dan tangan Allah juga harus diperlakukan sama, tidak ada yang setara dan tidak ada bandingannya. Karena Al-Qur’an menyatakan adanya wajah dan tangan Allah maka kita hanya meyakini keberadaan-Nya, sebagaimana kita meyakini keberadaan Allah. Begitu kira-kira pemahaman kaum Asy’ariyah. 

Lain lagi dengan Mu’tazilah, mereka menyatakan bahwa mustahil Allah menempatkan ruang dan waktu dan memiliki ‘bagian-bagian’ seperti wajah, tangan, lalu bersemayam diatas ‘arsy, suatu perbuatan yang terkait konteks ruang dan waktu. Mereka lalu menyatakan bahwa kata tersebut memiliki arti kiasan/majazi, al-istiwa’ – bersemayam diartikan sebagai kekuasaan, al-‘ain – mata diinterpretasikan sebagai ilmu atau pengawasan, ‘al-wajh’ –wajah diartikan sebagai esensi/dzat, demikian seterusnya. 

Kalau diperhatikan kedua paham ini sebenarnya punya titik tolak yang sama, menyatakan bahwa Allah merupakan keberadaan yang tidak ada bandingannya, tidak serupa/setara dengan makhuk sehingga kesimpulan yang dibuat juga sudah memenuhi kriteria tersebut, hanya diungkapkan dengan cara yang berbeda. Asy’ariyah menyatakan apa yang dicantumkan dalam Al-Qur’an sebagai apa adanya namun tidak perlu membayangkan bagaimana bentuknya, demikian juga dengan Mu’tazilah, karena tidak perlu membayangkan soal bentuk, maka kata tersebut ditafsirkan secara majazi/kiasan. 

Kedua paham tersebut memiliki kebenaran. Namun karena masing-masing menganggap apa yang disampaikan sudah ‘mencover’ 100% kebenaran hakiki tentang Allah maka muncul sikap saling menyalahkan. Padahal kebenaran yang diungkapkan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah merupakan ’secuil’ kebenaran tentang Allah, ibarat masing-masing menjatuhkan setetes air ke lautan, tentu saja tetesan air tersebut diterima oleh lautan tersebut, menyatu didalamnya, namun setetes air tidak bisa dikatakan sudah mewakili luasnya lautan. Kalau saja masing-masing aliran ini memahami pendapat mereka seperti ini, maka tidak ada sikap untuk menolak pendapat lain yang berbeda, sepanjang hal tersebut masih dalam koridornya, bahwa Allah memang tidak bisa dibayangkan, laysa kamishlihii syai’un – tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya..


2 komentar:

Arda Chandra said...

Ada tanggapan bermanfaat yang disampaikan melalui FB saya, layak untuk dicopas disini :

Febri Ardian Pangestu
Komentar saya pak arda, ketika anda menganalogikan dengan “wajah peradaban barat” kemudian apakah serta merta bisa dikatakan “peradaban barat punya wajah”? atau “wajah kemiskinan ibukota” bisa dikatakan “kemiskinan ibukota punya wajah”?. Ketika ada yang bilang “wajah peradaban barat” kita bisa mengerti konotasinya. tapi apakah sama konotasinya jika dikatakan “peradaban barat memiliki wajah”. bagi saya tidak sama. Justru akan menimbulkan kemungkinan konotasi yang lain. Sesungguhnya saya belum pernah menemui perkataan seorang ulamapun (non mutaakhirin) yang berkata “Allah punya wajah”. Bahkan Imam Abul Hasan al asyari, panutan asyariyyin hanya berkata “an lahu yadin”, “an lahu wajh”. Perkataan “Allah memiliki wajah” adalah bukan firman Allah, bukan sabda Rasulullah, dan bukan perkataan ulama. Dalam hal asma’ dan sifat Allah sebaiknya tidak menggunakan keterangan selain apa yang Allah dan rasulNya tetapkan. Dan perkataan tersebut mempunyai kemungkinan makna antromorfis. Maka benarlah sikap para salaf shalih dalam masalah ini untuk ‘diam’, tilawatuhu tafsiruhu, bacaannya adalah tafsirnya. Artinya tidak menjelaskan lebih dari bacaan itu sendiri. Laisa kamistlihi syaiun wahuwa sami’ul bashir. Wallahu a’lamu.

Arda Chandra
Terima kasih mas Febri Ardian Pangestu atas tanggapannya. Sebenarnya analogi saya tentang kata wajah pada kalimat ‘wajah peradaban barat’ tidak dimaksudkan untuk membandingkannya dengan kata ‘wajah Allah’ yang memang ada dalam Al-Qur’an, tapi hendak menyampaikan bahwa untuk sesama mahkluk-pun pemakaian kata yang sama persis tersebut memiliki sosok yang berbeda, tergantung kepada hal apa kata tersebut disandingkan.

Kemudian pemakaian kata ‘memiliki’ ataupun ‘mempunyai’ juga mengandung maksud kata tersebut juga sulit untuk disetarakan artinya ketika kita sandangkan kepada makhluk, misalnya saya memiliki wajah, sama halnya ketika kita menyatakan ‘peradaban barat memiliki wajah’ tidak akan sama konotasinya dengan ‘hak kepemilikan’ saya terhadap wajah saya sendiri. Demikian pula pemakaian kata tersebut untuk memaknai kata ‘wajah Allah’ yang tercantum dalam Al-Qur’an.

Masalah keterbatasan bahasa ini pasti akan ditemukan apabila kita mencoba berpikir tentang Allah, itu yang terjadi pada kelompok asy-ariyah dan mu’tazilah. Sikap para ulama salaf yang tidak menafsirkan kata tersebut dan menyatakan ‘bacaannya adalah tafsirnya’ menurut saya juga bisa diibaratkan ‘setetes air yang dijatuhkan ke lautan’, mengandung kebenaran namun bukan berarti sudah ‘mengcover’ 100% kebenaran hakiki tentang Allah. Koridornya tetap sama saja – laysa kamishlihii syai’un..

Arda Chandra said...

Febri Ardian Pangestu
Jika pak arda bilang penyandingan suatu kata tergantung dengan apa yang disandingkan, maka apakah ada makna mis. wajah yang punya arti selain dari yang dipahami manusia (cth dlm kamus) jika disandingkan dengan “Allah”? Adakah arti wajah yang bukan “wajah” yang dikenal manusia? Sulit. Maka, para ulama mengatakan jika ada seseorang yang menyatakan “Allah ber-jism” meskipun diikuti dengan “jism yang tak serupa dengan makhluknya” maka tetap dihukumi mujassimah. Kemudian, jika “kebenaran” yang anda maksud adalah hakikat Allah, betul bahwa kita hanya mengetahui setetes air dibanding lautan bahkan mungkin lebih kecil lagi. Tapi bukan itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah SIKAP kita terhadap informasi tentang Allah (asma’ wa shifat), maka “diam dan imani” adalah sikap terbaik yang benar (kalau boleh dikatakan 100% benar). Mengapa? karena Allah sudah menetapkan bahwa hanya Allahlah yang mengetahui takwil (tafsir) atas ayat mutasyabihat. Dengan “diam dan imani” sikap tersebut punya konsekuensi bahwa segala hakikat tentang Allah diserahkan kepada sang empunya ilmu. Dalam hadist qudsi, Allah juga memerintahkan “jangan pikirkan dzatKu”. Jika kita semakin menjelaskan hakikat Allah, memang mungkin ada benar tapi lebih mungkin lagi salahnya. Dan segala penjelasan dalam ilmu (bahasa) manusia yang terikat dengan definisi kemakhlukan sungguh tak terhindarkan. Dan bagi saya, dalam hal asma’ wa shifat, “diam dan imani” itu adalah sikap terbaik yang benar 100% sesuai petunjuk Allah dan rasulNya. Wallahu a’lamu.

Satu lagi, kaidah yang sama bukan berarti jalan yang ditempuh sama dan sama benarnya. Dalam hal tanzih (penyucian) terhadap dzat Allah tetap ada kubu ekstrim meskipun berpegang pada prinsip yang sama. Ekstrem pertama, seperti yang saya sebut. Mengartikan ayat tentang asma wa shifat secara literal yang menjerumuskan pada paham mujassimah. Allah dianggap berjism meski dikatakan jism yang berbeda dengan makhluknya. prinsipnya dipake tapi tetap terjerumus pada hal menjismkan Allah. “wajah robot X” misalnya disebut. Meskipun tidak diketahui seperti apa robot X, tapi menyatakan robot X punya wajah maka sudah dipahami bahwa wajah yang dimaksud punya rupa, bentuk, dan bagian bagian sehingga dapat disebut “wajah”. Tentu kita tidak memahami “wajah allah” dengan cara seperti ini. dan jelaslah bahwa pernyataan “Allah berjism tapi tidak serupa jism makhluknya” adalah tetap sikap yang keliru, kendati berpegang pada laisa kamitslihi syaiun. Ekstrem kedua, adalah menafikan ayat tentang asma wa shifat dan/atau menafsirnya/menakwilnya dengan tafsiran/takwilan yang menyesatkan. Ini kekeliruan mu’tazilah, zindiq. Kekeliruannya karena ada sikap ta’thil (mengingkari) ayat allah karena dianggap tidak sesuai dengan keagungan allah sebagaimana kaidah laisa kamistlihi syaiun. Terlebih jika kemdian ditakwil dengan takwilan yang menyimpang. Ini komentar terakhir saya. Saya termasuk yang kurang menyukai bahasan ini. Allahu a’lamu. Mohon maaf dan terima kasih.

Arda Chandra
Kalau saya lihat penjelasan mas Febri, maka kelihatannya ini posisi lain lagi diluar pemahaman Asy’ariyah dan Mu’tazilah, ketika muncul pernyataan yang ‘mengkhawatirkan’ kedua pendapat tersebut sebagai hal yang bisa menyesatkan, maka ini juga menjadi sikap yang sama yang dilakukan oleh kelompok Asy-’Ariyah dan Mu’tazilah dalam menanggapi pihak lainnya. Entah sikap yang mana yang akurat dalam memahami informasi tentang kata ‘wajah Allah’ dalam Al-Qur’an ini, wallahu’alam..

Saya sudah cukup bisa menangkap apa yang disampaikan, terima kasih atas tanggapannya terhadap tulisan saya tersebut..