Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
Bukan maksud mencari sensasi mengangkat tajuk dengan bahasa yang tak biasa, namun begitulah bahasa senantiasa mencari bentuk padanan terdekat untuk menggambarkan situasi yang lebih mendekati keadaan. Sebaliknya apabila sering digunakan hanya mencari sensasi tanpa mewakili keadaan justru akan mendestruksi makna, yang ujungnya menjadi vickinisasi.

Kenapa Tsunami?
Tsunami seperti yang kita tahu adalah gelombang pasang yang begitu dahsyat yang dipicu oleh pergeseran lempengan bumi di dasar laut. Jika dipinjam istilahnya untuk menggambarkan pemikiran maka akan berbeda lagi bukan lagi arus air namun arus informasi yang dipicu oleh suatu kejadian.

Peristiwa apa yang memicu Tsunami Pemikiran?
Jika ditengok ke belakang semenjak dari peristiwa 911 (runtuhnya WTC) dimana genderang melawan Terorrisme dikumandangkan AS, secara psikologis umat Islam sampai saat ini mengalami gelombang tsunami yang begitu dahsyat yaitu fitnah yang tak kunjung usai. Walaupun jika ditengok kemudian secara seksama baik dari pemikiran logis maupun fakta yang terungkap belakangan - terkuak rekayasanya, yang sebenarnya secara teori sudah banyak diterapkan dalam konspirasi dunia.



Peristiwa 911 yang menyedot perhatian dunia sebagai pemicu gelombang pemikiran awal. Gelombang ini diiringi dengan gelombang susulan dengan isu-isu HAM dan demokrasi dengan standar ganda tentunya, sampailah pada apa yang kita alami sekarang. Panjangnya gelombang yang semakin kuat sebagaimana peristiwa Tsunami justru semakin memperkuat arus yang dilaluinya.

Keterpurukan kita sebagai muslim semakin terasa ketika arus informasi justru datang menggunakan sumber utama (Media mainstream) yang selama ini menjadi sumber pemberitaan dan memiliki jaringan yang luas dan akan yang kuat, sehingga kita yang tidak siap lebih ditempatkan pada posisi sebagai penerima saja, sedangkan untuk mengcounter balik tidak terdengar suaranya karena ketidaktersediaan sarana (media yang memadai).

Dalam posisi umat yang menderita karena hantaman fitnah secara beruntun, tentunya membutuhkan pembelaan atau minimal ada pemberitaan yang adil (berimbang/netral) dalam istilah/etika jurnalis cover both side. Namun sayangnya tidak terpenuhi karena ketiadaan media pembanding yang memadai. Walapun kemudian bermunculan media-media alternatif yang sekedar eksis di dunia maya, namun akhirnya tidak sedikit yang terjebak pada isu-isu sekterian. Jika dikomparasi dengan Tsunami adalah terputusnya infrastruktur. Terbukti dalam melihat sosok utama yang digadang sebagai otak runtuhnya WTC seperti sosok Osama bin Laden - ada yang menganggap Osama Bin Laden tokoh fiktif buatan AS, ada juga yang menganggap sebagai pahlawan, dan selebihnya ada juga yang menganggap sebagaimana yang diberitakan media arus utama.

Dari pemberitaan yang berasa tidak adil yang menuntut penawar adanya keadilan namun tidak terpenuhi akhirnya timbul kondisi defensif karena ketidakpercayaan kepada media sehingga mencari sumber-sumber pemberitaan yang menurutnya lebih mewakili kelompoknya, namun di satu sisi ada jebakan yang tak kalah berbahaya yang nasibnya seperti kodok keluar tempurung lalu dimakan ular. Yaitu isu perpecahan, dimana sudah lebih dulu menjalar adanya pengkavlingan kelompok; ada yang disebut moderat, kelompok garis keras dan liberal. Dan banyak istilah-istilah lain yang lebih dulu timbul sesuai arus informasi yang didapat. Dari masing-masing kelompok sudah saling curiga bahkan saling bermusuhan sehingga bentuknya semakin tak karuan.

Misal dalam melihat kelompok liberal, seringkali di lapangan bukan terbatas pada orang yang mengaku secara tegas sebagai Islam Liberal atau memiliki ciri kuat namun seringkali salah tunjuk, hanya karena ada indikasi ke arah itu. Tentunya dengan standar masing-masing dalam mengenali karakter liberal. Walaupun disisi lain dalam kehidupan sosial keterkaitan antara satu peristiwa ataupun pemikiran tidak dapat dipungkiri akan berpengaruh satu sama lain, sebagaimana gelombang tsunami yang mirip efek domino. Tentunya banyak contoh-contoh lain yang membuat kita semakin terpuruk oleh arus perpecahan. Timbulnya saling curiga dan mudah mengecap kelompok yang dianggap berseberangan semakin menyebabkan kita pecah pada kelompok-kelompok kecil dan semakin tak berdaya - yang dalam sebuah hadist digambarkan bagai buih di lautan.

Jika sulit memahami tulisan ini silahkan merujuk pada sumber-sumber terkait secara secara objetif, adapun penulisan disajikan dengan melihat sebab akibatnya secara bergulir, namun tentunya tak elok dan menjemukan jika dipaparkan secara mendetail. Penempatan peristiwa WTC sebagai titik awal bukan tanpa alasan, silahkan tengok peristiwanya dan bagaimana selanjutnya.

Bagaimana upaya kita selanjutnya?
Pertama kita harus menyadari situasi dan kondisi bahwa dalam era demokrasi seperti sekarang ini, mau tidak mau kita harus lebih siap dalam menghadapinya, yaitu dengan berfikir terbuka dan menghargai perbedaan pendapat dan lebih toleran terhadap kekurangan atau sebab-sebab yang dipicu oleh keadaan atau karena temuan masing-masing. Posisi defensif (bertahan) karena rasa curiga dan cenderung menutup diri terhadap perkembangan informasi juga rentan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini untuk menetapkan standarnya sendiri.
Kedua berbaik sangka dan saling memahami akan terwujud gambaran yang lebih real terhadap informasi yang datang dan lebih mudah menganalisa dan melihat ke arah mana pembicaraan/informasi atau hendak diarahkan kemana.
Dan yang lebih penting kita bisa menempatkan kepentingan diatas kepentingan yang lebih luas jangan mau terus menerus di adu domba.

baca juga: Banyak Warga Dunia Percaya Ada Konspirasi pada Serangan 11 September

artikel lanjutan > http://hikmah.muslim-menjawab.com/2013/11/kejutan-paska-eforia-pra-tsunami.html

0 komentar: