Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.


Belakangan ini kita sering mendengar sebutan 'takfiri' untuk menyebut suatu kelompok tertentu yang bersikap suka mengkafirkan orang Islam lain yang berbeda paham. Memang agak sulit untuk mengidentifikasikan kelompok mana yang mewakili sikap takfiri, kadang sekelompok umat Islam yang bereaksi menentang kemungkaran dikatakan bersikap suka mengkafirkan orang, sebagian lain menyatakan kelompok Islam yang berusaha untuk menegakkan khilafah dan konsisten dengan hukum Islam dikatakan takfiri. Penyematan status ini sering pula bernuansa politik, misalnya kelompok Ikhwanul Muslimin dikategorikan masuk persyaratan untuk disebut takfiri. Sebagian ada yang menamakan diri sebagai kelompok Wahabi atau Salafi sekalipun sebenarnya istilah ini juga tidak tepat karena terkesan 'mencatut' nama yang karakternya berbeda dengan sikap takfiri. Orang-orang liberal sekuler malah punya kriteria lebih luas lagi, seperti yang dikemukakan oleh Nono Anwar Makarim mengutip : Alam pikiran Muslim sekarang cenderung “mengurek ke dalam.” Selain bersifat inward-looking, Dunia Muslim sekarang ini dipenuhi oleh ketakutan, prasangka, kecurigaan, dan hasil akhirnya: minderan. Dilatar-belakangi oleh kekalahan di segala bidang dibandingkan prestasi peradaban lain, alam pikiran Muslim itu kini menjadi tertutup. Terfokus pada kebutuhan untuk “melindungi” Islam dari pengaruh buruk dunia luar. 

Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Nono Anwar Makarim tersebut ada benarnya, kecuali satu hal, yaitu menggeneralisirnya dengan mengatakan sikap tersebut menjangkiti 'alam pikiran Muslim', karena tidak semua umat Islam bersikap demikian. Kita bisa mencantelkan tuduhan ini kepada sebagian umat yang disebut kelompok takfiri tersebut. Kalau kita lihat ciri-ciri mereka, sikap yang muncul berkenaan dengan cara mereka dalam menghadapi peradaban barat yang saat ini mempengaruhi semua peradaban di dunia. Kaum takfiri ini umumnya orang-orang yang hanya menguasai ilmu agama, fasih dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an dan hadits, namun lemah dalam 'ilmu-ilmu sekuler', sains dan teknologi. Ketika mereka harus berbenturan dengan peradaban barat, maka sikap yang muncul adalah minder atau rendah diri karena apa yang dihadapi memang merupakan sesuatu yang asing dan tidak dikuasai oleh mereka. Tindakan mengurung diri dan defensif menjadi jalan keluar yang masuk akal. Kelompok takfiri ini lalu mengeluarkan jargon-jargon 'ilmu pengetahuan kafir', lalu beranggapan bahwa semua urusan bisa selesai dengan menyitir ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, sesuatu yang memang dikuasai dan dipahami mereka. Logis memang, ketika seseorang terdesak menghadapi kondisi yang tidak dikuasainya, maka otomatis dia akan melarikan diri masuk ke 'comfort zone', tempat dimana dia merasakan diri lebih nyaman dan berharga. 


Kita lalu diperlihatkan dengan sikap-sikap yang rada 'aneh', ditengah-tengah kemajuan sains dan teknologi yang sudah mampu mengirim manusia ke luar angkasa dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa bumi itu berbentuk bundar, kaum takfiri ini dengan penuh percaya diri menyatakan bumi berbentuk datar, lalu menyitir ayat-ayat Al-Qur'an dengan penafsiran yang disesuaikan untuk mendukung hal tersebut. Pokoknya semua produk sains yang berasal dari dunia barat yang bukan Islam dikatakan kafir lalu ditolak, dan tidak lupa melontarkan tuduhan kepada bagian umat Islam yang menerima hasil peradaban tersebut sebagai sesat dan kafir. 


Namun sebaliknya, kaum liberal sekulerpun sebenarnya memiliki sikap yang sama dengan kelompok takfiri ini. Ketika berhadapan dengan peradaban barat maka sikap minder dan rendah diri juga muncul. Berbeda dengan kaum takfiri yang menutup diri, maka orang-orang liberal sekuler bertindak sebaliknya, mereka 'melepas baju' ke-Islam-an yang selama ini dipakai, lalu secara total menggantinya dengan 'baju orang bule' supaya memiliki status yang sama. Kelompok ini lalu rajin mengutip 'bahasa-bahasa keren' yang diproduksi oleh ilmuwan-ilmuwan barat. Kalaupun masih memakai bahasa yang Islami, itu ditempatkan sebagai pelengkap agar tidak terlihat sudah benar-benar terputus dari dunia Islam. Mereka misalnya mengutip Suyuthi atau al-Nadim melalui kacamata orientalis barat semacam Arthur Jeffrey, Noeldeke dan Gustav Fluegel untuk menilai sejarah Al-Qur'an. 

Sikap minder ini juga yang menyebabkan Ulil Abshar, dedengkot Jaringan Islam Liberal, merasa 'malu' dengan Al-Qur'an lalu mengatakan hukum Islam yang jelas-jelas tercantum dalam Al-Qur'an sebagai aturan yang sudah kedaluarsa dan sudah tidak sesuai jaman, maka tidak perlu dipakai lagi. Sikap minder juga yang membuat orang-orang liberal sekuler lain lalu mengatakan jilbab adalah produk budaya Arab maka tidak wajib dikenakan oleh muslimah. Dengan cara-cara seperti ini, mereka berharap mereka bisa 'satu bau' dengan apa yang dihasilkan oleh peradaban barat, tidak lagi dikatakan terbelakang, mandeg, dan tidak modern. 

Dilihat dari apa yang ditampilkan, baik oleh kalangan takfiri maupun liberal sekuler, terlihat ada sikap 'hantam kromo' ketika mereka berhadapan dengan peradaban barat. Kaum takfiri menyatakan seluruh hasil budaya barat mengandung nilai-nilai kekafiran, sebaliknya orang liberal sekuler begitu terpesonanya dengan apa yang dari barat, lalu berusaha mengidentifikasikan diri dengan mereka. Kita mengetahui, dalam beberapa hal ilmu pengetahuan yang dihasilkan dunia barat memang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai mereka yang berbeda dengan ajaran Islam, terutama yang menyangkut ilmu-ilmu sosial. Namun ketika berbicara soal sains dan teknologi, maka ilmu pengetahuan seperti ini relatif lebih bebas nilai. Tidak perlu ada status orang beriman atau kafir untuk menyatakan air mendidih dalam suhu tertentu atau bumi berotasi sekaligus bergerak mengelilingi matahari. Sains dan teknologi bahkan bisa dipakai untuk memahami Al-Qur'an dengan menghasilkan wawasan yang lebih luas. Sebaliknya kelompok liberal sekuler juga cenderung melakukan 'hantam kromo' menilai peradaban barat semuanya maju dan cocok untuk dipakai dalam dunia Islam, padahal ketika mereka memakai sudut pandang orientalis terhadap ajaran Islam, maka 'nilai-nilai kekafiran' tidak bisa dilepaskan, lalu menghasilkan kesimpulan yang menyimpang. 

Kalau kita perhatikan, bagaimana sikap yang tepat ditampilkan ketika seseorang menyatakan dirinya sebagai Muslim adalah seperti yang diperlihatkan oleh saudara-saudara kita dari kalangan intelektual barat yang telah mengkonversi keyakinan mereka untuk menjadi mualaf. Sebagian besar dari mereka tidak malu-malu untuk memperlihatkan identitas ke-Islam-an, banyak muslimahnya yang memakai jilbab, sedangkan kaum laki-laki memelihara jenggot dan memakai simbol-simbol yang dianggap mewakili Islam. Mereka tidak minder untuk mengerjakan shalat dan berpuasa secara terbuka. Nilai-nilai Islam dalam kehidupan berumah-tangga, hubungan laki-laki dan wanita diterima dengan terbuka sebagai suatu kebenaran yang datang dari Allah, bahkan kaum perempuannya bisa 'memaklumi' mengapa Allah menetapkan aturan soal poligami. Hal ini sangat berbeda dengan kaum liberal sekuler yang bermaksud mengidentifikasikan diri dengan peradaban barat, malah meninggalkan apa yang justru dipakai oleh orang barat yang telah menerima Islam tersebut. 

Sebaliknya, kaum mualaf barat tidak meninggalkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang sudah menjadi bagian penting dalam budaya mereka. Berpikir kritis dan terbuka tetap dipakai, perkembangan sains dan teknologi tetap dimanfaatkan. Para ilmuwan barat yang telah menjadi mualaf tetap memakai ilmu mereka untuk menggali 'sinyal-sinyal ilmiah' yang ada dalam Al-Qur'an. Mereka tidak membuangnya karena masuk Islam seperti yang dilakukan kaum takfiri. 

Itulah Islam yang benar, Islam yang terbuka dengan kemajuan namun sekaligus tidak melepaskan diri dari nilai-nilai keimanan. 

Namun menjadi umat yang ada ditengah-tengah dua titik ekstrim takfiri dan liberal sekuler kadang ada tidak enaknya juga. Ketika misalnya kita bertindak menegakkan nilai-nilai Islam yang dilanggar oleh perbuatan maksiat, maka serangan datang dari kelompok liberal sekuler yang akan menuduh kita bagian dari kaum takfiri. Sebaliknya ketika kita bersikap terbuka dalam menerima kemajuan hasil dari peradaban non-Islam, maka kaum takfiri akan menuduh kita antek liberal.


0 komentar: