Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.


Bagaimana caranya kita harus memetakan konflik di Suriah..? Arus informasi yang berasal dari negara tersebut mungkin membuat kita kebingungan. Ada kekejaman yang dilakukan kedua pihak yang bertikai, ada ulasan 'para ahli', yang satu condong untuk membela pemerintah Bashar al-Assad, yang lain sibuk membenarkan pihak pemberontak. Namun mungkin hanya ada satu kata yang perlu kita simpulkan dari konflik tersebut : kebodohan.. Umat islam membantai sesama Muslim dan Arab membunuh Arab, dengan dasar membela kepentingan kekuasaan kelompok, persis seperti kabilah dijaman jahiliyah pra -Islam, yang saling bertikai demi kabilah mereka masing-masing. Kita tahu, dunia Islam menjuluki masa-masa tersebut dengan sebutan : jaman jahiliyah.. 

Sebagaimana konflik yang terjadi dimanapun, pemicunya tidak hanya dilihat dari satu sudut pandang saja, sekalipun mungkin satu aspek lebih dominan dibandingkan aspek lainnya. Ada kepentingan politik yang bermain, ada pelaku ekonomi yang berkiprah dibelakang layar, ada juga isu sektarian seperti beda aliran Suni dan Syiah, ada faktor rasial dan perbedaan suku. Semuanya berperan dalam memunculkan konflik dengan para pemain yang memainkan tujuannya sendiri-sendiri. 


Marilah kita coba menelusuri informasi tentang kedua belah pihak yang bersengketa. Pemerintah Bashar al-Assad digambarkan oleh para pendukungnya berada pada posisi yang berseberangan dengan Israel dan Amerika Serikat. Keengganan Bashar untuk berdamai dengan Israel, tindakannya mendukung kelompok Hizbullah dalam melawan invasi Israel di Libanon Selatan dan melindungi petinggi Hamas, menjadikan dirinya sebagai ganjalan bagi kepentingan Amerika Serikat dan Israel di Timur Tengah. Bashar al-Assad diterima sebagai pahlawan Islam, tentu saja oleh para pendukungnya, yang berdiri paling depan dalam menentang hegomoni Amerika Serikat dan Israel ditengah-tengah negara teluk lainnya seperti Arab Saudi, Yordania dan Turki yang dikatakan sebagai antek-antek Amerika, dan bersikap lunak terhadap Israel. Rencana invasi pemerintah Barrack Obama ke Suriah justru dijadikan faktor penguat terhadap posisi yang sudah mereka citrakan. Kita semua tahu bahwa ketika Amerika Serikat memutuskan untuk melakukan perang yang akan banyak menggerus sumber pendanaan dalam negeri, plus akan tewasnya ribuan prajurit mereka, maka alasannya tidak bisa lain, selain mengacu kepada kepentingan mereka sendiri, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Alasan yang dimunculkan seperti : demi menegakkan kedamaian atau melindungi HAM rakyat Suriah yang tertindas, hanyalah kamuflase yang menutupi kepentingan sebenarnya. Amerika Serikat tidak akan mau mengorbankan uang dan nyawa warganya kalau cuma untuk hal tersebut. Pemahaman ini menjadikan rencana invasi tersebut malah menguatkan posisi pencitraan Bashar al-Assad sesuai yang diinginkan para pendukungnya. 

Sebaliknya dari sudut pandang lawan politiknya, pemerintahan Bashar al-Assad digambarkan sebagai penguasa Syiah yang dzalim terhadap kaum Suni, tukang jagal dan memerintahkan pembunuhan massal. Bahkan bagi para penentangnya, perjuangan melawan pemerintan Suriah dikategorikan sebagai jihad melawan 'Syiah kafir', sama mulianya dengan perang melawan Zionis Israel. Tidak cukup hanya itu, keburukan Bashar al-Assad merembet kepada citra istrinya yang dikatakan hidup glamour ditengah penderitaan rakyat Suriah yang berperang. Pandangan yang berseberangan bisa kita lihat melalui pernyataan Sheikh Dr. Khalid Hassan al-Hindawi dari Mesir yang menyebut Basyar Al-Assad berpolitik ala Firaun. Mereka mencuri harta-harta rakyat dan memakannya dengan cara yang haram, memenjarakan rakyat sendiri, membunuh para ulama, melakukan pembunuhan beramai-ramai, mencabul kehormatan wanita-wanita, menghalang perempuan beriman memakai hijab serta menindas orang yang lemah seperti orang tua dan kanak-kanak. 


Sementara lawan politiknya berupa kelompok-kelompok bersenjata dengan payung organisasi yang bermacam-macam. Pada posisi pejuang (kalau dari sudut pandang Bashar al-Assad judulnya adalah pemberontak), ada Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL) yang bermarkas di Irak dan banyak anggotanya pejuang yang berasal dari luar Suriah. Selain itu ada Dewan Nasional Suriah yang merupakan kelompok oposisi politik yang melarikan diri ke Turki dan didukung Amerika Serikat, lalu dalam perang saudara ikut mengangkat senjata melalui sayap militernya, para personil angkatan bersenjata Suriah yang membelot. dalam masing-masing kelompok pemberontakpun kelihatannya bukanlah merupakan organisasi yang kompak, misalnya anggota militer yang berada dibawah Dewan Nasional Suriah merupakan brigade atau batalyon yang berdiri sendiri-sendiri, ada Batalyon An-Nasr, Al-Faraouq, ada brigade Allahu Akbar, ada batalyon Ahfad al-Rasoul yang memiliki wilayah operasi masing-masing dan melakukan gerakan sesuai kepentingan mereka sendiri-sendiri. Sedangkan ISIL juga merupakan kelompok yang didalamnya bergabung organisasi Jabhat al-Nusra, sebuah kelompok yang dikategorikan sebagai teroris oleh Amerika Serikat karena punya hubungan dengan Al-Qaeda. Namun bergabungnya al-Nusra ternyata menimbulkan perpecahan dengan Al-Qaeda karena ketidak-sepahaman tentang siapa yang memimpin pertempuran. 


Kelompok-kelompok pejuang ini menyatakan diri sebagai pasukan yang sedang berjihad melawan serangan terhadap Islam. Dukungan dari negara-negara Arab lain yang kebanyakan penganut Suni mengokohkan posisi mereka sebagai orang yang berjuang dijalan 'Islam yang benar', makanya julukan yang sering kita dengar bagi kelompok ini adalah 'mujahid' - orang yang berjihad dijalan Allah. Sebaliknya dari sudut pandang pemerintah Suriah, pemberontak ini tidak lebih dari gerakan teroris, apalagi didalamnya berperan juga organisasi Al-Qaeda dengan 'mujahid multinasional'nya. 

Perang informasi antara kedua-belah pihak sama sengitnya dengan perang yang sebenarnya. Foto-foto yang memperlihatkan beberapa orang menyembah gambar Bashar al-Assad ditimpali dengan foto ketika dia sedang khusu' shalat berjamaah, mengikuti imam shalat yang Suni dan bersama-sama dengan pemeluk Islam Suni. Kesan Bashar sebagai penganut Syiah yang kejam terhadap rakyatnya yang Suni, dibalas dengan pengangkatan jenderal Fahed al-Freij yang beraliran Suni, dan sang jenderal ini sama saja kejamnya dalam bertindak memberantas pemberontakan. Mayoritas tentara Bashar al-Assad adalah penganut Suni karena penduduk Suriah yang beraliran Suni ada 75%, sebaliknya orang-orang Syiah jumlahnya hanya 15%. Tidak mungkin kalau pemerintah Suriah hanya mengandalkan tentara mereka dari kalangan Syiah saja. 

Untuk memantapkan citra yang diusung oleh masing-masing pihak, penyebaran informasi soal kekejaman yang dilakukan pihak lawan menjadi hal yang masuk akal. Melalui internet kita bisa mendapatkan foto-foto yang mengerikan, tentang manusia yang disembelih dan dipancung, anak-anak yang tewas ditembak sedang duduk di sofa rumah, jejeran mayat-mayat yang memenuhi ruangan, tumpukan mayat yang sudah hangus terbakar, semuanya tersedia ibarat sajian prasmanan di rumah makan. Makin mengerikan dan makin dramatis foto yang disajikan, makin diharapkan dukungan dan keberpihakan orang kepada kelompok yang didukung. 

Soal kekejaman perang sebenarnya bukan 'barang baru' yang hanya ada dijaman sekarang. Semua perang selalu menghasilkan kekejamanannya masing-masing, dan bentuknya itu-itu juga. Menyembelih musuh, memotong leher, atau apapun bentuk 'kreatifitas' lainnya sudah dilakukan orang dari dulu. Hanya karena sekarang ini manusia sudah begitu gampangnya memperoleh berita, tidak bisa dibendung lagi oleh sensor pemerintah, maka seolah-olah kejadian mengerikan baru terjadinya di jaman sekarang saja. Coba tanyakan para veteran perang kita di Timor Timur. Anda akan bisa mendengar cerita bagaimana tentara Indonesia yang ditangkap oleh pasukan Fretelin lalu kulit kepalanya dikuliti dalam keadaan hidup-hidup, lalu sebaliknya ada beberapa pasukan Indonesia yang pulang bertugas membawa 'oleh-oleh' berupa potongan telinga musuh yang dijadikan gantungan kunci. Kalau kita mau 'flashback' lebih mundur lagi, cerita soal kekejaman perang pernah saya dengan dari generasi orang-tua yang mengalami pemberontakan seperti PRRI/Permesta, G30S PKI, dll. Generasi tua tersebut bercerita tentang kegiatan 'mandabiah'- suatu kiasan bahasa Minangkabau untuk menyembelih atau menggorok leher. Biasanya istilah ini dipakai secara umum untuk memberikan kesan melebih-lebihkan (hiperbolisme), misalnya kalau kesebelasan Indonesia berhasil mengalahkan Brazil atau Manchester United 5 - 0 tanpa balas, maka orang Minang akan mengatakan :"Indonesia telah 'mandabiah' Brazil/MU..", namun cerita soal perang ini memakai kata tersebut dalam pengertian yang sebenarnya, betul-betul berbentuk perbuatan menyembelih leher orang, sebagaimana kita menyembelih ayam atau domba. 

Satu pihak di Suriah akan menyebar-luaskan kekejaman yang dilakukan oleh pihak lain. Terpaan informasi yang dahsyat tersebut lalu membuat kita kebingungan :"Mana sebenarnya pihak yang benar..?". Rencana serangan Amerika Serikat juga mengakibatkan kebingungan yang sama, terutama untuk kalangan yang mengidentifikasikan dirinya dengan aliran Suni. Pemerintah Barrack Obama umumnya diposisikan sebagai musuh Islam, apapun kebijakan politik luar negeri mereka terhadap dunia Islam, pasti dianggap akan sangat merugikan umat Islam. Ketika mereka memutuskan untuk menyerang Suriah, disatu sisi ada penolakan, namun karena disisi lain yang diserang adalah 'kafir Syiah' Bashar al-Assad yang telah membantai 'rakyatnya yang Suni', maka rencana invasi tersebut didukung juga. 

Kebingungan umat dipicu juga oleh aktifitas 'antek-antek' kedua belah pihak yang berseberangan di Suriah, orang-orang yang memang sudah dibina untuk itu lalu disebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Umumnya perang informasi yang dilakukan disini tidak terlepas dari pihak yang memposisikan diri sebagai pengikut Suni dan Syiah. Dalam masyarakat kita memang banyak bertebaran alumni dari 'pendidikan Syiah' di Iran, atau sebaliknya binaan dari gerakan Islam 'garis keras' beraliran Suni yang condong kepada pemberontak. Padahal konflik Suriah tidak melulu soal Syiah dan Suni. Selain fakta pelaku di kedua belah pihak memiliki penganut Suni yang saling berhadapan, Syiah di Suriah juga berbeda dengan yang ada di Iran, mereka adalah pemeluk Syiah Alawi Nushairiyah sedangkan Iran merupakan penganut Syiah Imamiyah. Berpihaknya Iran dan pasukan Hizbullah yang beraliran Syiah di Libanon sebenarnya lebih banyak didasari faktor politik ketimbang urusan kesamaan mazhab. Namun sebenarnya sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah 'Islam yang tidak tahu apa-apa'. Mayoritas Muslim adalah moderat, hanya menginginkan tragedi di Suriah cepat berakhir, lalu umat Islam bisa kembali hidup damai dengan perbedaan-perbedaan yang ada dalam tubuh mereka. 'Orang-orang binaan' dari pihak yang bertikai inilah yang kemudian aktif dan rajin menyebarkan informasi, mempromosikan pihak yang didukungnya agar opini publik bisa dibangun dan digiring kearah yang sesuai. 

Al-Qur'an mengajarkan tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi pertikaian antar sesama Muslim : 

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Al-Hujurat 9-10) 

Dalam kasus Suriah, sulit buat kita untuk memastikan siapa sebenarnya pihak yang telah mengingkari janji, semua informasinya simpang-siur. Maka pilihan kita hanyalah : berusaha untuk mendamaikan mereka, kita tidak bisa memilih untuk berpihak kepada salah-satunya. Atau ketimbang terbawa arus untuk ikut kegiatan antek-antek mereka dalam menyebarkan informasi yang memperkeruh keadaan, maka kita sebaiknya diam saja. 

Bagi orang-orang yang dengan sadar melakukan perang informasi disini, memanasi-manasi umat dan memancing kekisruhan, kita hanya bisa menyarankan agar mereka insyaf dan menghentikan kegiatan tersebut. Dengan tujuan yang tidak benar tersebut, perbuatan yang 'hanya' menyebar informasi dan foto soal orang yang disembelih, bisa jadi sama besar dosanya dengan orang yang melakukan penyembelihan..


0 komentar: