Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Ketika masih jadi Presiden RI, Gus Dur pernah melemparkan ‘joke’, suatu waktu beliau menerima curhat dari seorang kiyai dari Jawa Timur :”Gus.., kalau kita pikir sebenarnya bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beruntung karena mayoritas rakyatnya memeluk agama Islam, minimal ikut Muhammadiyah…”, lelucon ini diceritakan Gus Dur sambil tertawa geli. Dari kacamata NU ajaran Islam yang diterapkan oleh Muhammadiyah adalah ajaran yang ‘minimalis’, jauh lebih sederhana dari ritual yang dijalankan oleh para pengikut NU. Sebaliknya banyak pengikut Muhammadiyah yang memandang orang-orang NU sebagai ‘Islam tukang ngarang’, karena banyak melakukan ritual ibadah yang dianggap tidak jelas dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadist. Anggapan-anggapan ini sudah berjalan bertahun-tahun dan banyak juga menimbulkan gesekan, terutama pada strata tingkat bawah. 

Saya sendiri ditakdirkan Allah hidup berpindah-pindah dan karenanya punya kesempatan berinteraksi dengan bermacam-macam aliran Islam yang ada. Ketika kecil sampai di SMA, saya hidup di lingkungan yang pengaruh Muhammadiyah-nya sangat kuat di Sumatera Barat, sekalipun keluarga kami bukanlah pengikut Muhammadiyah. Ketika selesai kuliah dan bekerja, saya ditempatkan di Surabaya selama hampir 7 tahun, disitu orang-orang NU sangat menonjol. Saat ini di lingkungan tempat tinggal saya di Bandung, kami punya mesjid ‘berbau’ aliran Persis – Persatuan Islam, sedangkan disaat saya harus berdiam di Jakarta, musholla di belakang rumah merupakan ‘musholla Betawi’ yang sangat berwarna NU. Ketika melakukan ibadah haji beberapa tahun lalu, saya ikut rombongan haji NU karena kebetulan anak saya sekolah di SMP yang dimiliki oleh suatu yayasan NU di Bandung. Interaksi dengan bermacam-macam aliran tersebut menghasilkan banyak pengalaman yang mengasyikkan, terutama disekitar diskusi-diskusi yang timbul yang menyangkut dasar-dasar mereka melakukan ibadah. 

Ada satu cerita ketika saya dan istri beribadah haji mengikuti rombongan NU, pak kiyai pemimpin rombongan menginformasikan bahwa nanti di Masjidil Haram sebaiknya ada yang melakukan ritual ‘keliling Ka’bah 100 kali’ disamping ritual umroh dan haji yang biasanya dilakukan. Terus-terang saja soal ini saya baru dengar, dan sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan ‘Islam minimalis’ yang sangat berhati-hati terhadap ‘karang-mengarang’ ritual ibadah, saya kemudian menanyakan apakah ada dasar kegiatan tersebut seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, pak Kiyai menjawab bahwa ‘keliling Ka’bah 100 kali’ memang bukan ajaran yang berasal dari Al-Qur’an dan hadist, namun diajarkan oleh salah seorang Ulama NU, tujuannya :”Karena selama di Makkah para calon jemaah haji banyak mempunyai waktu luang menunggu waktu Haji di Arafah, maka daripada waktu tersebut dipakai untuk hal-hal yang tidak berguna, Ulama tersebut menganjurkan agar melakukan keliling Ka’bah sebanyak mungkin”, lalu beliau menambahkan :”Insya Allah dengan melakukan hal tersebut, Allah akan mengabulkan apapun keinginan yang kita sampaikan pada saat itu..”, seperti biasa, tentu saja hal ini kemudian dilengkapi dengan contoh-contoh sukses yang pernah terjadi pada orang-orang yang melaksanakannya. Mengingat dasarnya tidak begitu bisa saya terima, maka saya memutuskan untuk tidak ikutan mencoba mengelilingi Ka’bah 100 kali. 


Pada kesempatan lain, ketika kami melaksanakan wukuf di Arafah, pak Kiyai menganjurkan sesuatu yang saya nilai sangat cerdas. Sebagaimana urut-urutan ibadah haji, setelah seharian wuquf di Arafah, ritual berikutnya adalah bergerak ke Muzdalifah untuk sejenak bermalam disana dan mengambil kerikil sebagai bekal untuk melakukan jumroh di Mina. Jadwal keberangkatan dari Arafah adalah ba’da Maghrib, lalu berdiam di Muzdalifah sampai tengah malam, setelah lewat tengah malam baru boleh bergerak ke Mina. Dalam prakteknya, perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah yang berjarak hanya beberapa kilometer saja bisa memakan waktu berjam-jam karena macet total, lalu dari Muzdalifah kita harus segera berangkat ke Mina menyebabkan waktu berdiam di Muzdalifah bisa sangat pendek. Pak Kiyai yang sudah berpengalaman berkali-kali naik haji punya jalan keluar untuk mengatasi soal ini, beliau menyarankan supaya kami mengambil kerikil di Arafah saja karena punya waktu seharian berdiam disana, lalu ketika sampai di Muzdalifah, batu yang sudah dikumpulkan tersebut dijatuhkan ditanah untuk diambil kembali, statusnya sudah berubah menjadi ‘batu Muzdalifah’. Saya menganggap ini suatu solusi yang cerdas, makanya saya tidak keberatan untuk mempraktekkannya. Ketika sedang mengumpulkan kerikil tersebut di Arafah, kebetulan saya melakukannya disekitar tenda rombongan Muhammadiyah, saya perhatikan orang-orang Muhammadiyah tersebut melihat saya dengan pandangan merendahkan, mungkin dalam pikirannya mereka berkata :”Dasar NU kampung, nggak mengerti aturan ibadah haji, ngambil kerikil koq di Arafah..??”, belum tahu dia, kali ini orang-orang NU bisa berpikir lebih cerdas dari mereka. 

Dalam menjalankan aturan peribadatan, saya melihat masing-masing aliran ada juga tidak konsistennya. Di Jakarta saya ikut shalat Subuh di musholla NU, seperti biasanya pakai do’a qunut pada rakaat kedua. Pada dasarnya do’a qunut pada shalat dilakukan ketika umat sedang menghadapi musibah dan bencana, maka do’a tersebut dilakukan disetiap shalat wajib selama umat menganggap mereka masih terancam oleh bahaya dan bencana tersebut, jadi agak sulit saya menerima kalau orang-orang NU beranggapan bahwa suatu bahaya hanya datang disekitar waktu Subuh saja, lalu pada waktu Dzuhur dan ‘Asyar ancaman tersebut kemudian lenyap. Namun sekali lagi, saya tidak keberatan untuk kemudian mengangkat tangan meng-amin-kan qunut yang dilakukan imam shalat dengan suatu keyakinan bahwa apa yang dilakukan tersebut adalah baik, saya tidak ingin kehilangan pahala shalat berjamaah hanya karena ribut mempermasalahkan soal qunut diwaktu shalat Shubuh. Sebaliknya di Bandung, masjid kami yang dipengaruhi aliran Persis tidak mengumandangkan ‘tatswib’ pada azan Shubuh (mengumandangkan ‘asshalatu khairul min annaum’). Aliran yang terkenal sangat berhati-hati dalam mengikuti aturan hadist ini mengatakan bahwa dasar hadist yang menyatakan adanya ‘tatswib’ pada azan Shubuh hanya dilakukan pada azan pertama, sedangkan di azan kedua tidak ada dasarnya. Masalahnya ternyata di mesjid kami tersebut azan Shubuh hanya dilakukan 1 kali, bukan 2 kali seperti yang diajarkan dalam hadist, mungkin jemaahnya pada keberatan harus bangun lebih pagi untuk melakukan 2 kali azan Shubuh, karena memang biasanya azan Shubuh yang pertama dikumandangkan sekitar 1 atau setengah jam sebelum azan yang kedua. Jadi saya lihat, kedua aliran ini ‘ngotot’ mempraktekkan suatu aturan, namun ‘kompromis’ ketika harus menjalankan aturan lainnya. Namun lagi-lagi disini saya nyatakan bahwa saya sama sekali tidak keberatan, saya tetap datang ke mesjid untuk melakukan shalat Shubuh berjamaah bersama mereka. 

Ada lagi cerita soal interaksi saya dengan jamaah LDII, kelompok ini oleh sebagian pemuka Islam di Indonesia dikategorikan sebagai aliran sesat. Saya berkesempatan satu rombongan dengan pengikut aliran ini pada ibadah umroh. Penampilan rekan LDII tersebut tidaklah aneh, sama saja seperti umat Islam yang lain. Ketika kami sampai di Madinah dan saya seperti umumnya jamaah lain rajin melakukan shalat di masjid Nabawi, khususnya di Raudah, suatu tempat di dalam masjid yang dikatakan Rasulullah merupakan tempat yang afdhol untuk shalat dan berdo’a. Saya lihat rekan LDII tersebut juga shalat dan berdo’a disana, malah cucuran airmata mengiringi setiap komat-kamit mulutnya yang sedang berdo’a. Demikian pula ketika kami melanjutkan ibadah ke Makkah. Ritual umroh yang dilaksanakannya sama saja dengan yang kami lakukan, cuma perbedaannya hanyalah rekan LDII saya tersebut melakukannya sendiri, sedangkan kami melaksanakannya bersama-sama dengan pembimbing umroh. Ketika ada kesempatan, saya berbincang-bincang dengan dia tentang Islam. Terus-terang saya kagum terhadap pengetahuan agamanya, ketika dia menjelaskan Al-Qur’an, rekan LDII tersebut mampu menjelaskan ayat Al-Qur’an kata per kata, pemahaman ayatnyapun tidak ada yang ‘aneh’. Cuma satu hal yang saya tidak ‘sreg’ ketika beberapa kali rekan LDII tersebut mengeluarkan pernyataan yang memposisikan dirinya dan kelompoknya sebagai Muslim ‘kelas satu’ sedangkan orang-orang Islam yang lainnya hanyalah merupakan Muslim ’kelas empat’. Tidak lupa pula rekan LDII saya tersebut mengundang saya untuk ikut pengajian di mesjidnya di Cinere, karena kebetulan waktu itu saya tinggal di daerah sana. Pertama saya bertanya ;”Untuk ikut LDII apakah saya di bai’at..?”, rekan saya tersebut tidak menjawab dengan terus-terang. Dia mengatakan bahwa soal bai’at itu urusan berikutnya, yang penting adalah niat untuk memperdalam ajaran Islam. Saya mengatakan bahwa sekalipun saya ingin sekali memperdalam agama Islam dan ingin punya kemampuan penguasaan Al-Qur’an seperti dia, namun saya tidak tertarik ikut kelompok tersebut. Saya katakan bahwa saya tidak punya ‘bakat’ untuk menilai diri sendiri sebagai Muslim yang lebih baik dibandingkan Muslim yang lain. 

Saat itu pikiran saya melayang ke beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih berdinas di Surabaya, terdapat beberapa rekan kantor saya yang juga merupakan anggota LDII (di Jawa Timur biasanya dipanggil aliran Daarul Hadist). Pada mulanya saya agak heran kepada kelompok tersebut karena sekalipun kami punya musholla kantor dan sering shalat berjamaah, namun rekan-rekan saya ini selalu memisahkan diri ketika melakukan shalat. Mereka mencari waktu dimana musholla lagi kosong, lalu melakukan shalat berjamaah dengan kelompok sendiri. Pernah juga sekali waktu saya kebetulan ke musholla ketika mereka sedang shalat berjamaah, dan sebagaimana biasanya saya langsung ikut masuk ke barisan sebagai masbuk (jamaah shalat yang terlambat). Namun selesai shalat mereka melihat saya seolah-olah saya ini makhluk dari planet lain. Berdasarkan informasi dari rekan sekerja yang lain barulah saya tahu bahwa kelompok tersebut memang suatu kelompok yang tertutup dan melakukan ritual ibadah tersendiri. Setiap Jum’at ketika kami bersama-sama shalat Jum’at di mesjid dekat kantor, kelompok LDII tersebut ‘menghilang’ karena mereka melakukan shalat Jum’at di mesjid sendiri yang cukup jauh dari kantor. Ciri-ciri kelompok ini biasanya punya mesjid yang tertutup dan menganggap diri dan kelompoknya merupakan Muslim ‘pilihan’ sedangkan umat Islam diluar adalah muslim ‘pinggiran’. Dalam melakukan pembinaan terhadap pengikutnya, kelompok ini melakukan indoktrinasi yang efektif dan ketat, tanpa membuka peluang bagi masuknya ajaran Islam dari aliran lain. 

Menurut saya, status sesat yang disematkan kepada mereka karena kesalahan mereka sendiri yang bersikap menutup diri. Saya sendiri tidak ingin berdebat soal isi ajaran karena merasa belum cukup ilmu untuk itu, namun kita bisa melihat : perbedaan antara NU dan Muhammadiyah bukanlah merupakan perbedaan yang sederhana termasuk dalam soal ritual ibadah, namun jarang terjadi pernyataan sikap organisasi yang menyatakan NU mengkafirkan Muhammadiyah atau sebaliknya, ini karena masing-masing organisasi tersebut bersikap terbuka menerima orang-orang yang berada diluar kelompoknya, masjid NU bukanlah masjid yang tertutup bagi umat non-NU, cuma memang kalau mau beribadah disana harus mengikuti aturan NU juga, demikian sebaliknya. Tidak jarang pula jamaah NU melakukan do’a bersama, ataupun saling mengundang ulama dan tokoh pihak lain untuk memberikan ceramah dihadapan jemaah mereka, sekalipun mungkin apa yang disampaikan tidak bisa diterima, apalagi untuk dilaksanakan. 

Terkait soal banyaknya aliran dalam Islam, kita menemukan adanya hadist yang populer yang selalu disampaikan ketika suatu kelompok berbicara soal ini : 

Abdullah bin Amr bin Al-Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan terjadi pada umatku sebagimana yang telah terjadi pada Bani Israil. Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan”. Para sahabat berkata: “Ya Rasulullah, siapa yang satu golongan itu?” Rasulullah SAW bersabda: “Yaitu golongan yang mengikuti sunnahku dan sahabatku.” 

Hadist ini lalu dipakai oleh satu kelompok untuk menyatakan bahwa mereka-lah yang paling mengikuti ajaran Islam melalui Al-Qur’an dan sunnah, disamping menyatakan kelompok yang berada diluar mereka bukanlah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam hadist tersebut. Dengan segala hormat, ijinkanlah saya yang bodoh ini untuk menyampaikan bahwa hadist tersebut sama sekali tidak menyatakan apa identitas kelompok yang dikategorikan akan selamat masuk surga. Rasulullah tidak pernah menyebut nama organisasi, apalagi dilengkapi dengan papan nama di halaman mesjid atau harus pakai kartu anggota segala. Mengikuti Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah merupakan suatu proses, bukan sesuatu yang bersifat ajeg atau tetap. Anda tidak akan mendapatkan jaminan masuk surga hanya karena anda mengikuti kelompok yang mengklaim dirinya yang paling mengikuti Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, karena bisa jadi dalam perkembangan waktu tingkat keimanan anda menurun, lalu anda kembali tersesat untuk melakukan hal yang menyimpang dari jalur yang semestinya, lalu besok lusa anda kembali tersadar dan bertaubat, kembali menjadi orang yang saleh. Ini bisa terjadi pada semua pihak yang ada di kelompok tersebut, tidak peduli komandannya sekalipun. Beriman dan ber-Islam adalah suatu perjuangan, hadist Rasulullah tersebut disampaikan untuk panduan bagi kita agar selalu berusaha untuk konsisten mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sekuat tenaga kita, seumur hidup kita. Keselamatan kita untuk bisa masuk surga bukan hanya dinilai dari hasil yang kita dapatkan, namun akan dilihat dari proses yang kita jalani, maka anggota golongan yang dimaksud bisa saja berubah-ubah tergantung tingkat ke-istiqomah-an kita untuk menjalani ajaran Islam. 

Jadi anda ikut aliran Islam yang mana..??, pertanyaan ini perlu kita renungkan bersama. Ada baiknya saya menyampaikan cerita ini buat anda, cerita yang saya kutip dari buku karangan Dr. Jeffrey Lang, seorang profesor Matematika, mualaf asal Amerika Serikat, dalam bukunya “Bahkan Malaikatpun Bertanya”. 

Mesjid dan pusat Islam di Eropah dan Amerika mempersatukan banyak sekali orang dari seluruh penjuru dunia. Sangat sering sebuah mesjid berisi kelompok-kelompok kultural kecil tanpa ada satupun yang mayoritas. Hal ini khususnya terjadi atas mesjid yang dikelola oleh kelompok mahasiswa muslim universitas-universitas barat. 

Gabungan beragam kultural seperti itu menciptakan banyak perbedaan pendapat, yang bisa dengan sangat mudah berkembang menjadi perselisihan sengit dan keretakan komunitas. Perselisihan semacam ini terjadi pada suatu malam di mesjid Universitas of San Fransisco. Saya tidak ingat penyebab pastinya, peristiwa tersebut berkenaan dengan setumpuk brosur anti-syi'ah yang ditinggalkan dalam mesjid oleh seseorang. 

Perselisihan itu terjadi sewaktu perang Irak-Iran sedang memuncak. Saya ingat dengan jelas betapa peristiwa tersebut berubah menjadi sangat panas. Orang-orang Saudi Arabia sangat marah kepada orang-orang Kuwait dan Iran; mahasiswa Pakistan bergabung dengan mahasiswa Saudi. Orang kulit putih Amerika membela orang-orang Iran; orang kulit hitam melawan orang kulit putih. Mahasiswa Afrika Utara tampak saling bertengkar dengan mahasiswa Palestina; mahasiswa Malaysia kelihatan ketakutan. 

Semua bentuk serangan pribadi dan ras yang sengit dan dengki saling berbalasan. 

“Kalian orang-orang Syi’ah kafir…!!” 

“Kalian orang-orang Saudi menyembah raja kalian..!!” 

“Apa yang diketahui orang-orang Amerika tentang Islam..!!?” 

“Orang-orang Pakistan hanyalah kacung orang-orang Saudi..!!” 

“Bangsa kami adalah Muslim jauh sebelum kalian anak-anak kulit putih menjadi Muslim..!!” 

“Kalian bangga menjadi pengikut Elliyah Muhammad (seorang ‘imam’ negro Amerika yang dianggap sesat)..!!” 

“Orang-orang Palestina memang pantas beroleh apa yang mereka dapatkan…!!” 

Wajah-wajah mereka memerah karena marah. 

Teriakan-teriakan menjadi bentakan yang mengancam. Mahasiswa-mahasiswa Amerika mengepal tinju mereka dan menegangkan lengan mereka, menyiapkan diri untuk berkelahi. Ini benar-benar akan menjadi akhir dari komunitas kita. 

Dari seberang pojok ruangan itu, terdengar suara jeritan putus asa : Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!! Itulah Ilyas, mahasiswa Indonesia yang pendek kurus dan pendiam. Ia jarang bicara. Ruangan itupun senyap. 

“Apa yang dikatakannya…!!?” beberapa orang saling bertanya satu sama lain. 

Ilyas berteriak lagi sekuat-kuatnya : Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!! 

“Ucapkan..!!”, Ilyas berteriak :”Ucapkan…!!”. Sebagian besar dari kami bergumam bingung : “Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!!” 

“Apa yang diinginkannya…??”, seseorang berbisik. 

“Ucapkanlah sungguh-sungguh…!!”, Ilyas berteriak. Mungkin karena dia mengucapkannya dengan sangat berwibawa atau dengan penuh semangat, dan karena alasan tertentu, kami menuruti perintah seorang anggota jamaah mesjid kami ini, yang biasanya lembut dan tidak menonjol. 

Suara kami bertambah keras secara serempak bersama Ilyas yang memimpin kami : Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!! 

Kami bisa merasakan kebencian dan kemarahan menghilang. Semua mata tertuju kepada Ilyas. Segenap wajah dari orang-orang yang bersaudara itu kelihatan terpana. 

Sebagian dari mereka memperlihatkan rasa sedih, sebagian menyesal, dan sebagian lainnya sangat gembira. Sekarang seluruh kelompok membutuhkan Ilyas untuk memimpin. 

“Lagi..!!”, Ilyas meneriakkan :”Lagi..!!” 

Kali ini kami semua bersuara dalam jeritan semangat yang bergelora : Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!! 

Kemudian kami teriakkan lagi, mengikuti bimbingan Ilyas : Laa ilaahaa illaa Allaah..Muhammadun rasul Allah…!! 

Ilyas berhenti, berdiri mematung sejenak dengan berlinang airmata. Ia memandang kami seperti anak kecil memandang kedua orang-tuanya ketika ia menginginkan mereka berhenti bertengkar. 

“Hanya itu saja, saudara-saudaraku..”, Ilyas berkata, suaranya berubah :”Kalimat itulah yang mengikat kita…”. 

“Lihatlah kami..!!”, Ia berteriak merentangkan kedua tangannya. 

Hingga di situ, orang-orang yang bersaudara itu secara perlahan mulai saling mendekati satu sama lain dengan raut wajah mereka yang sangat malu. Suasana yang baru saja hampir meledak menjadi pertunjukan kekerasan kini berubah menjadi adegan jabat tangan, pelukan persaudaraan, dan permintaan maaf yang tulus. Hari berikutnya, mesjid berjalan normal kembali, dan saya tidak pernah mendengar siapapun memperbincangkan perselisihan itu lagi.. 

Umat Islam punya Tuhan yang sama yaitu Allah, dengan eksistensi yang sama, punya panutan seorang rasul, yaitu nabi Muhammad SAW, rasul yang sama, itulah yang mampu mempersatukan semua Muslim, sekalipun kita terbagi-bagi kedalam aliran dan mazhab yang bermacam-macam...


0 komentar: