Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Kisah pertaubatan manusia pertama kali dilakukan oleh Adam dan Hawa ketika mereka melanggar larangan Allah. Al-Qur’an mengisahkan : 

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan". Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah 36-37) 

Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan". (Al-A’raaf : 23-24) 

Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (Thaha 122-123) 

Kalau dilihat kronologis kisah pertaubatan Adam dan Hawa ini berdasarkan ketiga informasi ayat Al-Qur’an diatas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan taubat sudah disampaikan sebelum mereka diturunkan kebumi, kemudian penerimaan Allah terhadap taubat tersebut terjadi mulai dari ucapan Adam dan Hawa sampai setelah mereka diturunkan. Apa maknanya..? 

 Al-Qur’an menginformasikan bahwa diterimanya taubat seorang hamba bukanlah melalui cara yang ‘instan’ – sekali jadi, begitu memohon ampunan, lalu saat itu juga Allah menerima dan kemudian dosa-dosa yang dilakukan mendadak dihapus, ‘cling..!’, lalu pihak yang bertaubat menganggap dirinya sudah kembali putih bersih seperti malaikat. Bisa dibayangkan seandainya ini yang terjadi, bagaimana gampangnya seorang Muslim menghapus dosa-dosa mereka, katakanlah mereka pergi haji atau umroh, lalu menangis-nangis di depan Ka’bah memohon ampunan kepada Allah, menyebut segala dosa, mulai dari mencuri ayam tetangga sampai melakukan korupsi dan maksiat, mulai dari sekedar ngomongin orang sampai ke menyebar fitnah, lalu selesai haji atau umroh, pulang dengan hati lega, duduk dikursi pesawat yang membawa kembali ke kampung halaman, menganggap diri sudah mendapat ‘sertifikat penghapusan dosa’, untuk kembali menjalankan kehidupan, bikin dosa lagi dan besok-lusa balik lagi ke Makkah untuk kembali menjerit-jerit minta ampun. 

Dalam satu riwayat, diceritakan bahwa akibat penyesalan Adam dan Hawa yang telah melanggar larangan Allah tersebut, mereka selama 300 tahun (dalam riwayat lain disebutkan kurun waktu 600 tahun, berapapun jumlahnya, itu jelas bukan masa yang singkat) berjalan dimuka bumi sambil terus-terusan mengucapkan do’a tanpa berani menengadahkan muka ke langit karena sangat malu :"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". Kita bisa berimajinasi, katakanlah Adam dan Hawa bisa berumur lebih panjang, misalnya 1000 tahun, lalu apakah setelah 300 atau 600 tahun melakukan do’a, mereka kemudian menjalani sisa hidup dengan ‘ongkang-ongkang kaki’, tanpa sekalipun melontarkan permohonan ampunan, karena sudah menganggap do’a pertaubatan mereka yang selama itu sudah cukup dan ‘memenuhi syarat’ bisa diterima Allah..?. Jangan sampai kita punya anggapan bahwa ketika Allah menyatakan menerima taubat hamba-Nya yang memohon ampunan, itu merupakan suatu tindakan yang ‘sekali jadi’. Penerimaan taubat adalah suatu yang berproses, bahkan bisa menyangkut perbuatan kita seumur hidup sampai akhir hayat. Allah menyatakan ketika seseorang telah menyatakan taubat : 

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan. (Hud 112-115) 

Ayat tersebut menyatakan bahwa setelah seseorang bertaubat maka dia haruslah : (1) Berusaha selalu berada dijalan yang lurus (2) Menghindari kecenderungan untuk mengikuti kedzaliman (3) Mendirikan shalat terus-menerus secara konsisten (4) Bersabar. 

Ternyata tindakan kita agar taubat tersebut bisa diterima Allah harus diikuti oleh perbuatan-perbuatan lain yang dilakukan terus-menerus. Maka kita hanya bisa tahu apakah taubat yang telah kita sampaikan kepada Allah tersebut dikabulkan atau tidak ketika kita mati. Selama kita masih menjalani kehidupan maka tetap harus berusaha mengontrol diri agar proses penerimaan taubat yang sedang berjalan tersebut tidak terlepas dan menjadi batal. Kita bisa saja kemudian mengajukan pertanyaan :”Lalu bagaimana seandainya dalam menjalani proses tersebut kita kembali membuat kesalahan, kembali melakukan dosa dan maksiat. Bukankah memang sudah ‘bawaan badan’ bahwa manusia pasti tidak akan terlepas dari perbuatan dosa, pasti akan selalu bikin kesalahan..?.”. Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda : 

"Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". - Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246) 

Desain manusia yang selalu berbuat dosa memang sesuatu yang diakui oleh Allah sebagai hasil ciptaan-Nya, maka terulangnya perbuatan dosa sekalipun dilakukan dalam proses pertaubatan juga merupakan keniscayaan, lalu buat apa kita memikirkan hal yang sudah pasti terjadi..?. Tugas kita hanyalah berusaha untuk tidak terjerumus untuk kembali melakukan dosa, lalu karena kelemahan sebagai manusia membuat kita kembali melakukannya, maka kita harus meningkatkan usaha mendekatkan diri kepada Allah, makin memperbanyak istighfar dan permintaan ampun, dan makin menyerahkan diri kepada Allah. Dengan adanya ‘kandungan ‘dosa dalam diri kita tersebut, justru itulah yang membuat kita bisa mengenal Allah lalu memberikan dorongan agar kita mendekat kepada-Nya. Dosa bisa diterima sebagai sesuatu yang ‘masuk akal’, namun bukan juga dikatakan sebagai hal yang ‘wajar’. Ketetapan Allah yang telah menjadikan kita sebagai makhluk yang tidak akan lepas dari dosa, bukanlah agar kita bersikap pasrah menerimanya, namun justru agar kita bisa melawan dan ‘memanfaatkan’ ketetapan tersebut sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan ini harus kita jalani seumur-hidup. Bisa jadi suatu saat kita menyerah dan kalah, lalu Allah membuka pintu untuk menerima permintaan ampun, dilain waktu kita berhasil mengatasi godaan, lalu Allah mencatatnya sebagai pahala yang besar, dua-duanya silih berganti mendorong kita untuk tetap ‘online’ dengan Allah, ibarat koneksi internet yang terdiri dari ‘download’ dan ‘upload’, ampunan mengalir dari Allah, permohonan mengalir dari kita, berlangsung terus-menerus tanpa status RTO – request time-out, begitulah seharusnya hubungan kita dengan Allah. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai sekalian manusia bertaubatlah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali." (HR Ahmad 17173) 

Bertaubat memang suatu perbuatan yang harus dilakukan seumur hidup, terlepas apakah kita merasa ‘tidak punya salah’ kepada Allah, karena anggapan tersebut sudah pasti salah. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an : maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (An-Najm: 32). Disisi lain, kita juga tidak diperbolehkan berputus-asa dengan desain Allah yang telah menetapkan manusia sebagai makhluk-Nya yang pasti tidak lepas dari dosa tersebut : 

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az-Zumar: 53). 

Jadi, bukan urusan kita apakah taubat kita diampuni oleh Allah, kita tidak perlu memikirkannya. Yang harus kita jalankan hanyalah : bertaubatlah..! 

0 komentar: