Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Salah satu momen menarik dalam tontonan reality show ‘The X-Factor US Season 2’ adalah tentang seorang peserta Jillian Jensen, remaja wanita yang menceritakan nasibnya telah mengalami bullying yang berlangsung lama ketika dia disekolah dulu. Ceritanya bermula waktu Jillian mengetahui salah seorang teman sekolahnya membawa narkoba kesekolah, dia lalu memutuskan untuk mengadukan hal ini kepada kepala sekolahnya. Akibat tindakannya yang benar tersebut gadis ini kemudian menjadi sasaran bullying dari hampir seluruh teman-temannya, mengejeknya dengan julukan ‘snitch’ – tukang mengadu. Ejekan dari lingkungan berlanjut ketika dia menjalani profesi sebagai guru musik. Jillian Jensen mengatakan bahwa bullying yang dilakukan orang-orang secara terus-menerus sangat berpengaruh kepada kondisi psikologisnya. Terlepas dari kisah tersebut memang benar, atau cuma didramatisir sebagai satu bentuk ‘marketing startegy’ untuk menggugah para juri meloloskannya ke babak berikut, namun hasilnya memang mantap, pada audisi tersebut terjadi banjir airmata simpati, termasuk Demi Lovato, penyanyi idola remaja yang kebetulan menjadi juri, dia tidak bisa menahan tetesan airmata dengan memberikan komentar terbata-bata :”You broke my heart..”. 

Bullying/bully merupakan tindakan kekerasan fisik, atau verbal, atau psikologis yang berjangka panjang, dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang kepada orang lain dengan tujuan untuk melukai, menakuti, membuat tertekan, trauma, depresi dan tidak berdaya. Pada masyarakat kita, yang paling banyak ditemukan adalah bully melalui cara-cara verbal, baik dalam pengertian berupa omongan langsung maupun lewat sosial media seperti internet. Keterbukaan informasi yang terjadi saat ini merupakan kondisi yang sangat mendukung orang-orang untuk 'membully' siapapun dan kejadian apapun yang merangsang minatnya untuk melakukan itu. Masyarakat gampang mengupdate berita tentang seseorang, lalu juga mudah untuk melontarkan bully yang akan dibaca orang banyak misalnya melalui facebook dan tweeter, dan seperti bola salju, bully tersebut mengundang pihak lain untuk melontarkan bully-bully berikutnya sehingga menjadi heboh. 

Masalahnya, disatu sisi tindakan ‘ngebully’ bisa merusak dan menyakiti sasaran yang tidak bersalah, namun disisi lain banyak juga sasaran yang 'dibully' tersebut memang masuk akal untuk menerimanya. Beberapa waktu lalu di tweeter akunnya Syahrini heboh dengan bully yang ditujukan kepada dirinya, ketika dalam mengupdate statusnya yang lagi jalan-jalan ke Amerika telah salah menyebut kota San Francisco dengan menulis ‘Sun Francisco’. Selebritis yang memang selalu tampil dengan gaya yang ‘terlalu percaya diri’ ini akhirnya menjadi sasaran empuk bullying yang dilakukan orang-orang lewat akun tweeternya tersebut, barangkali orang-orang memang sudah menunggu-nunggu si artis ini sekali-sekali ‘terpeleset’ agar bisa memperoleh kesempatan untuk ‘meluruskan’ gayanya yang kepedean selama ini. Kita juga pernah dibikin heboh oleh salah seorang selebritis ABG beberapa waktu lalu yang ‘berusaha untuk menunjukkan kelasnya’ dengan tetap memelihara logat bicara ‘ala’ bule, bahkan termasuk untuk menyebut kosakata ‘kampungan’ seperti : bechek, chulun, bechak, menchruet. Gayanya ini sempat menjadi ‘trendsetter’ anak-anak muda, tentu saja dalam konotasi ejekan, bahkan sampai dibuatkan ringtone handphone segala. 

Perkembangan sarana untuk berkomunikasi membuat ‘naluri ngebully’ masyarakat kita kelihatannya tersalurkan dengan bebas, kita bisa melihat bagaimana ‘kreatifnya’ orang-orang Indonesia dalam menciptakan bully-bully baru yang menarik, seolah-olah menunjukkan bahwa 'ngebully' ini memang merupakan ‘bakat terpendam’ dan menjadi ciri khas dari masyarakat kita yang selama ini tidak tersalurkan karena tidak didukung sarana dan kondisi yang ada. Yang pasti, tindakan bullying, terutama yang bersifat verbal ini merupakan hal yang tidak bisa ditahan dan dikendalikan, karena sudah menjadi bagian dari alam demokrasi, sistem yang mendukung orang-orang untuk bebas bicara mengomentari apapun dan siapapun, apalagi sarana pendukung seperti internet bukanlah suatu alat yang bisa dengan gampang disensor. 

Lalu bagaimanakah kita yang diajarkan Islam untuk menghadapi hal ini..? agar serangan-serangan bully tersebut tidak sampai merusak kita secara psikologis..? Yang terlebih dahulu harus diperhatikan adalah soal tindakan ‘ngebully', bahwa Al-Qur’an dan hadits banyak menasehati kita untuk tidak menyakiti orang lain, termasuk secara verbal, saya tidak perlu panjang lebar menyampaikan hal ini karena mungkin anda sudah kenyang menerimanya. 

Kali ini kita lebih bagus bicara soal panduan Islam ketika kita bernasib malang sebagai pihak yang menerima serangan-serangan bully ini. Sebenarnya sepanjang hal tersebut bukan dalam bentuk kekerasan fisik dan hanya disekitar cemooh/ejekan yang bersifat verbal, maka efeknya yang merusak atau tidak, tergantung diri kita sendiri, apakah yang melandasi niat kita ketika melakukan sesuatu. Seandainya dasar kita berbuat adalah untuk mempesonakan manusia lain, agar orang lain kagum, untuk menarik perhatian, maka kita sangat rentan terhadap pengaruh negatif bully yang dilakukan orang. Anda misalnya membuat update status di Facebook atau Tweeter dengan tujuan agar pembaca anda terpesona, maka ketika yang anda terima adalah gelombang bully yang dilontarkan orang, anda akan segera ‘terkapar jatuh’ dengan kepercayaan diri yang langsung lenyap. Itu sudah ‘hukum alamnya’.. 

Landasilah setiap perbuatan anda dengan hanya mencari ridho Allah, selalu instrospeksi diri ketika memulai suatu perbuatan, apalagi yang berkaitan dengan orang banyak, yang bisa diakses oleh masyarakat ramai, bertanyalah pada diri :”Apakah niat saya mengerjakan ini semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah atau tidak, mungkin apa yang saya lakukan ini salah dan tidak tepat sehubungan dengan keterbatasan saya sebagai manusia biasa, namun saya sama sekali tidak punya niat mau mempesonakan orang, agar mendapat ‘feedback’ dari orang lain, Tindakan yang akan saya lakukan semata-mata untuk mendapatkan ‘feedback’ dari Allah..”. Dengan melakukan hal seperti itu, sangat tidak masuk akal kalau anda bisa terguncang dengan bully yang mungkin akan anda terima, karena tanggapan orang memang tidak masuk sesuatu yang menjadi hitung-hitungan anda. Bagaimana bisa kita terpengaruh oleh sesuatu yang memang sudah kita anggap sebagai hal yang tidak penting..? Untuk alasan logis ini, Allah menyampaikan dalam Al-Qur’an : 

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22) 

Anda tidak gampang goyang dihantam orang karena memang sedang memegang buhul tali yang kokoh. Nasehat yang praktis bukan..?? 

0 komentar: