Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
Pernah seorang pelukis terkenal bercerita, suatu saat pikirannya buntu, inspirasi untuk membuat sebuah lukisan tidak muncul-muncul juga. Ketika dia memandang cat yang tergeletak diatas meja, dia melihat banyak cat yang berwarna emas dan perak yang masih tersisa karena memang jarang dipakai dalam lukisan-lukisan yang dia buat. Untuk mengisi kekosongan ide, dia lalu memanfaatkan cat tersebut, menggores-gores kanvas dengan sebebas-bebasnya, mencampur –aduk warna sesuka hati sehingga akhirnya mewujudkan suatu lukisan abstrak dengan perpaduan warna emas dan perak yang ruwet. Begitu selesai, kebetulan datang seorang kenalan berkunjung, temannya tersebut seorang direktur perusahaan metalurgi, tentu saja orang kaya. Ketika dia melihat hasil lukisan, sang direktur ini terkesan, lalu dia duduk didepannya memandang lukisan berlama-lama, merenung dan melamun. Ujung-ujungnya, akhirnya dia membeli lukisan yang belum kering dan belum ditanda-tangani tersebut dengan harga tinggi, tanpa menawar-nawar lagi. Si pelukis bercerita kepada saya sambil nyengir :”Saya buru-buru mencantumkan tanda tangan, dan sampai sekarang saya tidak mengerti sebenarnya waktu itu saya lagi bikin lukisan apa..”. 

Sulit memang mengukur nilai keindahan suatu hasil karya seni, baik dibidang satra, lukisan, lagu, tari. Pelukis Basuki Abdullah berantem terus dengan Affandi sampai tua terkait soal ini. Dalam pandangan Basuki Abdullah, nilai keindahan suatu lukisan terletak pada goresan garis dan warna yang harus sesuai yang nampak, bahkan harus terlihat ‘lebih indah dari aslinya’. Makanya ibu-ibu pejabat paling suka dilukis oleh beliau, yang gembrot bakalan terlihat langsing, yang mukanya ‘jutek’ terlihat berseri-seri dan ramah. Beda lagi dengan Affandi, pelukis ini justru menilai keindahan berasal dari ekspresi yang bisa ditangkap dan dituangkan dalam warna, bukan dari bentuk fisik yang terlihat. Makanya gambar seseorang yang dilukis Affandi bakalan ‘rusak berat’, termasuk ketika dia melukis gambar mukanya sendiri. 

Orang bisa saja mengatakan lagu yang paling indah adalah lagu-lagu cinta Whitney Houston, sedangkan yang lain akan asyik lompat-lompatan mendengar lagu heavy metal dari group band Korn (waduh.., saya tidak bisa menulis huruf ‘R’-nya secara terbalik). Bagi yang kupingnya pas-pasan, lagu-lagu Mozart tidak bakalan beda kedengarannya dengan lagu ‘Terlena’-nya Ike Nurjanah.

Bagaimana cara menilai mana puisi yang lebih indah, apakah karangan Chairil Anwar ataukah bikinan Sutardji Calzoum Bachri yang mirip mantera itu..?. Tidak sedikit orang yang terpesona ketika Sutardji membuat puisi ‘O’ (saya tidak tahu apakah ini maksudnya huruf O atau angka nol), dan yang lainnya akan kebingungan :”Dimana letak keindahannya..?”, coba saja simak : 

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau 
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian 
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian 
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai 
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalaian siasiasia 
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas 
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai 
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . . 
(O, 1970) 

Keindahan adalah suatu yang sifatnya sangat subjektif, makanya banyak yang bilang :”Keindahan bukan untuk didiskusikan, nikmati saja..”. Makanya saya sangat heran ketika lebih dari setahun yang lalu, komunitas Islam Liberal mengadakan diskusi dikandang mereka untuk membahas soal "Mendaras Syair Arab Jahiliah" Benarkah Bahasa Alquran Tak Tertandingi?, lalu memfokuskan diri untuk memperbandingkan Al-Qur’an dari aspek keindahan bahasanya. Salah seorang dedengkot JIL lalu mengutip beberapa syair bikinan penyair Arab jahiliyah : 

Hatim Ibn Tha’iy yang menandingi pesan dalam QS. Yâsîn/36:78-79 sebagai contohnya. Berikut adalah rupa syairnya: “Ketahuilah, demi zat yang selain dari dia tidak ada yang mengetahui hal gaib, dialah yang menghidupkan tulang-belulang yang putih ketika ia telah berkalang tanah”. Atau syair dari Syu’aib Ibn ‘Amir yang menandingi pesan moral dalam ayat ke 78 QS. al-Nisa/4, berikut ini ; “Kalian tak akan pernah aman walaupun menginap di Haram. Sesungguhnya kematian hinggap di sisi setiap orang. Setiap pemilik akan berpisah dengan yang dimilikinya suatu saat nanti. Bahkan bahan bakar meskipun ditambah terus pasti akan habis juga”

Intelektual JIL ini kemudian menyatakan : “Selama ini umat muslim meyakini bahwa wahyu Alquran turun tanpa tandingan. Mereka menilai keindahan sastra Alquran dan muatan moralnya tak tersaingi oleh orang-orang Arab jahiliyah. Padahal faktanya, ada banyak tokoh-tokoh pujangga (al-syu’ara) yang turut berkontestasi merebutkan simpati masa kala itu. Setidaknya ada tujuh tokoh penyair terkenal kala itu tidak kalah hebatnya dengan Muhammad”. 

Dulu pernah suatu ketika saya berdebat dengan non-Muslim tentang hal ini, dia lalu menyodorkan sebuah puisi karya penyair Arab Kristen, Khalil Gibran dan berkata ;”Puisi karya Khalil Gibran ini tidak kalah indah bahasanya dibandingkan ayat-ayat Al-Qur’an”. 

Pertanyaannya adalah : bagaimana menentukan ukuran sehingga dikatakan suatu syair ‘lebih indah’ atau ‘sama indah’ atau ‘kurang indah’ dibandingkan syair yang lain..? Saya bisa saja ngotot mengatakan bahwa syair tersebut tidak sepadan dengan ayat Al-Qur'an dengan penilaian subjektif saya, pihak lain juga bisa ngotot mengatakan syair tersebut lebih bermutu juga dengan penilaian subjektifnya, maka kedua-belah pihak akan berlagak seperti pelawak Srimulat yang berdebat ramai, lalu ketika sudah-sama-sama capek dua-duanya mengaku kalau tidak mengerti apa yang dipermasalahkan. 

Allah menantang orang-orang yang meragukan Al-Qur’an dengan mengatakan : 

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.( al-Baqarah: 24 ) 

Atau (patutkah) mereka mengatakan “ Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah : “(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpama dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. ( Yunus : 38) 

Bahkan mereka mengatakan :” Muhammad telah membuat-buat Alquran itu”, katakanlah:”( kalau demikian ), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”.( Hud : 13) 

Maka hendalah mereka mendatangkan kalimat kalimat yang semisal dengan Alquran itu jika mereka orang-orang yang benar (At-at-Thur : 34) 

Katakanlah:”sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka menjadi pembantu dengan yang lainnya” (Al-Isra’ 88) 

Apakah ketika Allah mengajukan tantangan tersebut maka Dia bermaksud untuk mencari tandingan dari aspek keindahan bahasanya..? Apakah makna ‘semisal’ atau ‘serupa’ atau ‘seumpama’ ayat Al-Qur’an artinya adalah : seindah atau lebih indah dari Al-Qur’an..? kalau diartikan demikian maka tantangan ini hanya berlaku untuk orang-orang yang berbahasa Arab saja, bahkan ketika Allah menantang juga kaum jin untuk berkumpul membuat tulisan ini, maka artinya hanya ‘jin yang berbahasa Arab’ saja yang menjadi tujuan, saya juga tidak tahu apakah ada jin yang memakai bahasa Arab untuk berkomunikasi antara mereka. 

Para ulama tafsir tidak mengartikan tantangan Allah ini dalam aspek keindahan bahasa yang subjektif, suatu kondisi yang tidak mungkin untuk diperbandingkan. Membandingkan kualitas tulisan tidak bisa hanya ‘dirasa-rasa’ karena harus ada tolak-ukurnya, dan tolak-ukur yang paling nyata untuk membedakan kualitas suatu tulisan adalah berdasarkan BUKTI bahwa tulisan tersebut membawa pengaruh yang besar bagi pembacanya. Dikarenakan Al-Qur’an merupakan kitab suci, maka pengaruh tersebut terkait dengan aspek spiritual si pembaca. Allah mengatakan : 

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. (Az-Zumar: 23) 

Bisa saja kemudian pengaruh spiritual tersebut diperoleh melalui keindahan bahasanya, atau kandungan kebenaran kisah-kisahnya, atau muatan sinyal-sinyal ilmiahnya, atau keakuratan aturan hukumnya, atau janji-janji tentang sorga dan neraka, atau juga penjelasan tentang eksistensi ketuhanan yang terdapat didalamnya. Semua itu hanyalah cara untuk mengungkapkan bahwa Al-Qur’an sudah berjalan sesuai FUNGSI-nya sebagai kitab suci, petunjuk ke jalan kebenaran. Jadi tantangan Allah tersebut sebenarnya merujuk kepada : Apakah ada tulisan lain yang dibuat manusia yang bisa BERFUNGSI seperti Al-Qur’an..?, dan ini harus ditunjukkan dengan bukti-bukti nyata. 

Orang bisa saja menyodorkan syair karangan Hatim Ibnu Tha’iy atau Syu’aib Ibnu ‘Amir yang dianggap mampu menyaingi ayat-ayat Al-Qur’an, lalu apakah syair tersebut sudah berfungsi seperti Al-Qur’an..? bahkan setelah umurnya ribuan tahun sampai sekarang ini..? apakah sya’ir tersebut kemudian menjadi bagian dari suatu kitab suci yang telah menginspirasi dimensi spiritual si pembacanya...? Apakah puisi Khalil Gibran telah menjalankan fungsi sebagai ‘pencerah’ spiritual sehingga sipembacanya mengenal Tuhan..? lalu merubah sikap dengan cara yang ekstrim, bahkan sampai rela mengorbankan harta dan jiwa untuk itu..? 

Sebaliknya ayat-ayat Al-Qur’an telah membuktikan dirinya berfungsi sebagai kitab petunjuk yang telah merubah segalanya, merubah bangsa Arab yang sudah ribuan tahun hidup dengan tradisi lama dengan dasar hubungan kekerabatan berdasarkan kaum/kabilah, bertransformasi secara total menjadi suatu kelompok yang dijalin berdasarkan hubungan keimanan, hanya dalam kurun waktu 1 generasi saja. Bisakah anda membayangkan hanya dalam waktu 25 tahun kedepan, gara-gara adanya satu buku, orang-orang Indonesia kemudian ‘melupakan diri’ sebagai orang Jawa, orang Minangkabau, Aceh, Madura, Ambon, Batak, Papua, lalu melebur menjadi satu identitas sebagai orang Indonesia, menghapus akar budaya mereka masing-masing dan membentuk suatu budaya yang sama sekali baru..? 

Al-Qur’an juga terbukti dalam sejarah, mampu merubah tabi’at Umar bin Khattab yang berangasan dan sangat membenci nabi Muhammad sehingga ingin membunuhnya, hanya dalam sekejab berubah total selama-lamanya menjadi seorang Muslim, hanya karena mendengar beberapa ayat surat Thaha dibacakan..?. Seorang ahli dermatologi Thailand, profesor Tejatat Tejasen akhirnya masuk Islam hanya karena mengakui kebenaran 1 ayat Al-Qur’an soal kulit, atau juga ahli kandungan Keith L. Moore sangat terpesona dengan keakuratan informasi ayat Al-Qur’an tentang proses berkembangnya bayi dalam kandungan, beliau tidak bisa lagi menolak Islam. Begitu banyak kisah mualaf yang mengkonversi keimanannya , bukan karena mimpi aneh atau didatangi malaikat, tapi karena melakukan interaksi dengan Al-Qur’an.. Adakah kitab lain yang berfungsi seperti itu..?

1 komentar:

Putri Jasari Dona said...

oh ya, mau menanggapi. berbhineka tunggal ika bagus, tetapi juga jangan sampai melupakan juga identitas dari kesukuannya. setiap suku punya ciri khasnya masing2. maka Indonesia akan menjadi negara yang indah karena beranekaragam. budaya Indonesia tetaplah menjadi budaya Indonesia yang beranekaragam sesuai suku bangsanya. tetapi yang patut dirubah adalah, budaya buruk yang ada dalam masyarakatnya. seperti budaya buang "CD" di sungai, yang katanya untuk mendapat berkah. itu khan cuma mengotori sungai saja. atau budaya tari Ronggeng yang harus berzina dulu agar tariannya lebih maknyus (liat di film sang penari). pokoknya yang jelek2/jahiliah segera dihapuskan. dan yang bagus2/kearifan lokal. dipertahankan. bagaimanapun budaya adalah refleksi dari cipta, rasa, karsa dan karya manusia dari sebuah keadaan geografisnya. jangan sampai masuknya Islam di Indonesia diselipi penjajahan budaya dari masuknya budaya Arab ke Indonesia. jika penjajahan budaya itu terus berlanjut, akan menyebabkan ketidaksinkronisasi antara budaya masyarakat dengan ekosistem alamnya. dan bisa mengakibatkan kerusakan alam.

Untuk penjelasan lebih detailnya. saya salah seorang yang mendukung pandangan Gusdur dan Quraish Shihab soal wanita di Indonesia agar tidak perlu terlalu ketat dalam mengatur pakaian wanita terutama soal hijab. yang akhirnya justru hijab oleh banyak wanita diidentikkan dengan pakaian Burqa Arab yang menutup seluruh tubuh.

padahal, mengapa Arab harus menutup seluruh tubuhnya? karena cuaca ekstrim di negeri Arab, seperti angin yang besar dan berdebu, kering dan panas. bisa membuat tubuh cepat kehilangan cairan. dan budaya Arab demikianlah pakaiannya.

iklim di Indonesia berbeda karena geografis yang berbeda. di Indonesia lembab, bila terus tertutup akan menyebabkan ketombe. dan di Indonesia juga negeri penuh air. kadang suka liat orang berenang atau naik gunung menggunakan hijab seperti arab. kain yang lebar dan panjang. sepertinya kurang cocok sekali. begitu salah satu penjelasan detailnya. ini masukkan aja. Terima kasih. semangat untuk Indonesia yang lebih baik... :)