Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.


Al-Qur’an menceritakan tentang sosok orang kaya yang bernama Qarun. Menurut tafsir beberapa ulama, Qarun pada awalnya adalah seorang hamba Allah yang ta’at dan miskin. Suatu ketika dia memohon kepada Allah dengan penuh ketulusan hati :”Yaa..Allah, seandainya Engkau menjadikan saya ini kaya-raya, maka tentulah saya bisa melakukan keta’atan yang lebih banyak lagi kepada-Mu, karena kekayaan dan kemahsyuran memberi kesempatan untuk lebih banyak melakukan kebaikan..”. Allah ternyata mengabulkan keinginannya tersebut lalu Dia memberikan kekayaan yang berlimpah kepada Qarun. Konon sampai kunci-kunci pintu perbendaharaan hartanya saja sangat banyak dan berat sehingga untuk membawanya harus diangkut oleh beberapa orang. Namun ternyata kekayaan yangh diberikan Allah tersebut tidak membuat Qarun menjadi lebih ta’at dan banyak berbuat baik, dia menjadi kikir dan sombong. Al-Qur’an mengabadikan perkataan Qarun tentang dirinya : ”Sesungguhnya aku diberi (harta itu),semata-mata karena ilmu yang ada padaku” (QS Al Qashash [28]:78). Kita tahu bagaimana kesudahan nasib Qarun ini, Allah menyampaikan pelajaran berharga kepada kita : ”Maka, kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada suatu golongan pun yang dapat menolongnya dari azab Allah.” (QS Al Qashash [28]: 81). 

Ada suatu kisah diceritakan oleh seorang ustadz dalam suatu kesempatan pengajiannya, tentang ‘curhat’ salah seorang ibu-ibu pengusaha yang mengeluh tentang nasibnya. Si ibu mengisahkan bahwa dia adalah pengusaha yang sukses dengan beberapa perusahaan yang berkembang dan menghasilkan keuntungan materi tidak sedikit. Dulunya dia dan keluarga bukan siapa-siapa, hidup sederhana dengan usaha warung kecil-kecilan. Tentu saja ada harapan dan keinginan agar usahanya berkembang dan untuk itu dia tidak henti-hentinya memohon kepada Allah. Ternyata do’anya dikabulkan dan dalam beberapa tahun si ibu dan keluarganya berhasil mengembangkan bisnis mereka. Namun keluhannya kepada pak ustadz sangat menyedihkan hati. Kekayaan dan kesejahteraan yang telah dilimpahkan Allah ternyata membuat rumah-tangganya berantakan, waktu untuk berkumpul dan memberikan perhatian buat keluarga menjadi sangat minim karena semuanya sibuk, suami menjadi ‘jagoan maksiat’ karena sarana dan kesempatan terbuka lebar, anaknya yang perempuan tidak jelas nasibnya karena tinggal ‘kumpul kebo’ dengan bule di luar negeri, anak laki-lakipun kena narkoba. Si ibu lalu mengeluh :”Seandainya Allah berkenan, ambillah semua harta ini kembali, jadikan hidup kami sederhana seperti dulu lagi asal keluarga bisa berkumpul dalam kebahagiaan. Kekayaan ini begitu menyiksa saya..”. 

Terlepas apakah ini merupakan kisah nyata atau hanya karangan pak ustadz, namun apa yang terjadi terasa sangat dekat dengan kehidupan kita. Contoh manusia dengan nasib seperti itu sangat gampang kita temukan, bahkan mungkin kita alami sendiri. Apa yang salah dengan permintaan Qarun maupun si ibu pengusaha tersebut..? Sama sekali tidak ada salahnya. Wajar saja semua orang memohon kepada Allah untuk diberikan kekayaan dan harta, kemahsyuran berupa pangkat dan jabatan, kesehatan yang prima. Semua orang pasti berharap demikian dan agar bisa tercapai, do’a selalu dipanjatkan siang-malam, disampaikan kadang dengan penuh air-mata harap, tidak lupa dengan janji akan melakukan keta’atan dan kebaikan kalau dikabulkan. Apa susahnya melontarkan janji..? toh semua kebaikan dan keta’atan tersebut memang sudah kita lakkukan selama ini, jadi kalaupun diberikan harta dan jabatan, kita tinggal meneruskan apa yang sudah biasa dilakukan. 

Kasus-kasus yang belakangan kita baca dan tonton di media massa tentang nasib beberapa pejabat di negeri ini juga bernuansa sama. Ketika berharap bisa mendapatkan jabatan maka dalam hati selalu ada keinginan untuk mengabdi dan berbuat banyak bagi masyarakat. Jabatan yang tinggi membuka peluang untuk melakukan kebaikan dibandingkan seseorang yang tidak punya jabatan, semua orang juga tahu itu. Namun hal tersebut sekaligus bisa menjadi jerat yang kuat untuk melakukan sebaliknya. Niat baik akan berhadapan dengan kondisi ‘habitat’ yang sering mengarah untuk berbuat kejahatan, karena lingkungannya mendorong kearah tersebut. Perbuatan yang dilakukan bisa jadi bukan berasal dari keinginan yang datang dari dalam diri, tapi menjadi suatu ‘harga yang mesti dibayar’ karena telah berharap untuk mendapatkannya. 

Ketika kita memanjatkan do’a kepada Allah, melontarkan semua keinginan yang ada dalam hati dan dianggap bisa menjadi suatu kebaikan, darimana kita bisa tahu kalau apa yang diinginkan tersebut memang akan mendatangkan kebaikan, dan bukan sebaliknya..?. Allah beberapa kali menyampaikan dalam Al-Qur’an : innii a'lamu maa laa ta'lamuuna - "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.". Ketika permohonan disampaikan kepada Allah, apakah ada kesadaran yang dimunculkan dengan berkata :”Kalau keinginan tersebut memang dikabulkan, apakah saya sanggup untuk memikul segala dorongan negatif yang akan muncul..?”, disamping berpikir soal kesempatan untuk melakukan kebaikan daripadanya. 

Setiap kejadian yang menimpa selalu memiliki 2 sisi, itu sudah menjadi ketetapan Allah, Al-Qur’an menyampaikan : fa-inna ma'a al'usri yusraan inna ma'a al'usri yusraan - Karena sesungguhnya bersama/didalam kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama/didalam kesulitan itu ada kemudahan. (QS Alam Nashrah [94]:5-6), ini artinya : bersama/didalam kemudahan juga memiliki kesulitannya masing-masing. Lalu sudahkah kita memikirkan tentang hal ini dan melakukan perkiraan apakah akan sanggup mengatasinya..? 

Maka ketika kita memanjatkan do’a kepada Allah, do’a macam apakah sebenarnya yang telah kita sampaikan..?

0 komentar: