Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Kualitas dan karakter suatu puisi atau prosa atau juga tulisan yang terdapat dalam sebuah buku menggambarkan kualitas kecerdasan dan karakter orang yang menulisnya. 

Suatu ketika ditahun 70’an Panitia Lomba Mengarang Bacaan Remaja dikejutkan oleh salah satu karya peserta yang berjudul ‘Koong..’, bercerita tentang hubungan seseorang dengan burung perkututnya. Para anggota panitia tersebut mengenal gaya tulisan dari cerpen tersebut, bahwa ini sangat mirip dengan novel-novel karya Iwan Simatupang seorang sastrawan yang terkenal. Namun untuk memastikan bahwa si pengarangnya adalah Iwan Simatupang, panitia tersebut tidak berani, karena selain si pengirimnya memakai nama lain, rasanya tidak mungkin sastrawan terkenal tersebut mau mengirimkan karyanya pada lomba yang sebenarnya ditujukan untuk tingkat pemula tersebut. Setelah ditelusuri, ternyata memang benar, Iwan Simaptupang sendiri yang mengirim naskah karyanya untuk diikut-sertakan dalam lomba tersebut. 

Panitia yang mengerti dan memiliki wawasan tentang sastra akan gampang mengenal tulisan karya seseorang, karena setiap tulisan memiliki karakter tertentu yang khas dimiliki oleh si penulisnya. Bagi orang yang sering membaca majalah Tempo misalnya, dengan mudah akan bisa membedakan tulisan yang dibuat oleh Gunawan Muhammad atau Emha Ainun Nadjib di majalah tersebut sekalipun misalnya nama si pengarangnya tidak dicantumkan, minimal akan mengatakan :”Tulisan ini dan ini pasti dibuat oleh penulis yang berbeda..”. Itu perbandingan tulisan yang dibuat oleh 2 orang dengan kemampuan menulis yang hebat, apalagi kalau kita diminta untuk membedakan 2 orang, yang satu merupakan penulis berkualitas, yang lainnya orang yang ‘tidak makan bangku sekolahan’, tidak memiliki kemampuan bahasa yang baik, omongannya saja belepotan. 

Maka ketika anda disodorkan suatu tulisan dengan bahasa sastra yang bagus lalu diakui ditulis oleh si A yang anda ketahui punya gaya ngomong ala ‘preman pangkalan’, apakah anda akan percaya..?? Boleh jadi kosakata yang dipakai dalam puisi tersebut adalah kata-kata yang akrab dilontarkan orang tersebut, misalnya bicara soal mabuk, teler, botol, muntah, dll. Sastrawan sekelas Sutan Takdir Alisyahbana-pun akan memakai kosakata yang sama ketika menunjuk benda atau kondisi yang sama. Namun ketika kata-kata tersebut disusun dalam suatu kalimat, disitu akan terjadi perbedaan kualitas. Kata mabuk dan kawan-kawannya akan memunculkan karakter sastra tingkat tinggi ketika dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, berbeda kualitasnya dengan kalimat yang disampaikan oleh tetangga anda si preman pangkalan. 

Ketika nabi Muhammad mendatangi kaumnya, orang-orang yang telah mengenal akrab siapa beliau, tahu kualitas omongan dan ucapan, kenal baik dengan karakter nabi, Rasulullah lalu menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, semua orang yang mendengar lalu mengakui bahwa kalimat tersebut bukan datang dari Rasulullah. Terjadi suatu peristiwa ketika kaum Quraisy mengutus salah seorang tokoh intelektual mereka yaitu Uthbah bin Rabi’ah untuk berhadapan dengan Nabi. Uthbah adalah seorang bangsawan Quraisy terdidik, ahli bersajak dan jago sastra. Lalu dia berdialog dengan Rasulullah. Setelah giliran dia mengemukakan argumentasi untuk menentang ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah, tiba giliran Nabi untuk menjawab. Rasulullah membalas argumentasi tersebut dengan menyampaikan ayat Al-Qur’an surat Fushilat 1-14. Mendadak muka Uthbah bin Rabi’ah menjadi pucat, bahkan sampai kembalinya dia ke kaumnya raut muka pucat dan terguncang tersebut tidak juga hilang. Ketika ditanya mengapa dia sampai bereaksi seperti ini dan apa yang diucapkan oleh Rasulullah, Uthbah berkata :”Demi Allah, aku sudah menyampaikan apa yang mesti kita sampaikan kepadanya, dan Muhammad juga sudah menjawab. Demi Allah, seumur hidup aku belum pernah mendengar perkataan seperti perkataan Muhammad. Perkataan itu kuanggap syair, tapi bukan syair, kuanggap perkataan tukang ramal, tapi bukan ucapan tukang ramal, dan kuanggap perkataan orang gila, tapi tidak mungkin orang gila bisa menyampaikan ucapan seperti itu..” 

Uthbah adalah seorang ahli sastra, sekaligus orang yang kenal dekat dengan nabi Muhammad, mengetahui gaya bicara beliau, mengetahui karakter dan akhlak nabi, namun dia menangkap kalimat Al-Qur’an yang dilontarkan Rasulullah sebagai kalimat yang datang dari ‘pihak lain’.. 

Kosakata dalam Al-Qur’an sama saja dengan apa yang dipakai oleh masyarakat Arab waktu itu, ada kata : mizan, ukhuwah, rahman, rahiim, jannah, dll, bahkan juga memiliki kosakata serapan yang berasal dari bahasa lain, dan sudah dipakai oleh mereka. Seperti diibaratkan dengan kata : mabuk, botol, teler, dll, maka ketika kosakata Arab tersebut tersusun dalam kalimat Al-Qur’an, kualitasnya menjadi berbeda kalau dimasukkan dalam kalimat yang merupakan karangan nabi Muhammad. Kalaulah ayat-ayat Al-Qur’an merupakan ‘produk intelektual’ nabi Muhammad maka masyarakat Arab pasti dengan mudah akan berkesimpulan bahwa ayat tersebut memang karangan Nabi. 

Sebagai contoh, saya sampaikan 2 rangkaian kalimat dari sumber Al-Qur’an dan sumber hadits, yang satu diyakini sebagai kalimat yang datang dari Allah, sedangkan yang lainnya merupakan kalimat ‘produk intelektual’ nabi Muhammad, sekalipun ide dan inspirasinya tetap saja datang dari Allah, topiknya sama, tentang persaudaraan Islam : 

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ‪(Al-Hujuraat: 12) 

Rasulullah sholallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Janganlah kalian saling dengki, saling menipu dan saling membelakangi, dan jangan menjual atas penjualan orang lain, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Sesama muslim bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya, membiarkan dan menghinanya. Taqwa itu ada di sini (sambil menunjuk dadanya, beliau mengucapkan tiga kali). Seseorang cukup dianggap jahat, apabila ia menghina saudaranya yang muslim." (HR. Muslim) 

Kedua rangkaian kalimat tersebut memiliki karakter yang berbeda sekalipun bicara tentang hal yang sama, maka tidak mungkin berasal dari ‘produk intelektual’ satu orang. Demikianlah yang terjadi ketika ayat-ayat Al-Qur’an disampaikan kepada masyarakat Arab yang mengenal betul bagaimana sifat dan gaya berbicara Rasulullah..


0 komentar: