Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Katakanlah ada seorang penulis buku, saya ambil contoh Karl Marx, dedengkot kaum komunis kelas dunia. Marx suatu ketika memiliki gagasan/ide tentang komunisme, sebagai suatu reaksi yang ada dalam pikirannya melihat ketimpangan masyarakat yang menganut paham kapitalisme yang sangat memeras dan memperalat kaum buruh. Sebelum gagasan/ide tersebut dituangkannya dalam sebuah buku yang kelak diberi judul Das Kapital, maka isi buku tersebut masih tersimpan di kepalanya, orang bilang masih dalam bentuk sinyal-sinyal listrik yang bekerja di otak Marx, belum berbentuk tulisan, huruf A, B, C, dst. Jadi kalau waktu itu kepala Karl Marx anda bedah, tidak bakalan ketemu susunan huruf tersebut disana. Sampai saatnya dedengkot komunisme ini merasa memiliki waktu dan kesempatan untuk menuangkan gagasan/ide tersebut kedalam sebuah buku, maka dia mulai menulis. Yang akan terjadi adalah gagasan/ide tersebut yang sebelumnya masih berbentuk sinyal-sinyal listrik yang ada di kepala Marx, disebarkan (saya tidak mengistilahkan : dipindahkan) ke dalam susunan huruf yang memiliki makna, membentuk kata dan kalimat, maka yang terjadi adalah gagasan/ide tersebut terkandung dan termuat dalam buku, yang diberinya judul : Das Kapital, isinya berbicara soal ide komunisme dan sosialisme sebagai reaksi dari paham kapitalisme yang mencengkeram masyarakat pada waktu itu. 

Apakah karena buku sudah mengandung gagasan/ide yang sebelumnya ada di kepala Marx tersebut, lalu kita mau mengatakan gagasan/ide yang ada dalam kepala sudah hilang..?? sudah pindah tempat ke dalam buku..?? Tentu saja tidak, gagasan/ide tersebut masih ada di kepala Marx, sekalipun dia sudah menulis dan ‘memasukkannya’ ke dalam buku. Ide tersebut disimpan dalam bentuk susunan huruf A,B,C, tersusun menjadi kata dan kalimat yang bermakna, bukan berbentuk sinyal-sinyal listrik seperti yang terdapat dalam kepala. 

Seratus lima puluh tahun kemudian, anda mendapatkan buku tersebut, katakanlah merupakan buku asli yang ditulis langsung oleh Karl Marx, lalu anda membacanya. Perlu diketahui, ketika anda membaca buku tersebut, si Marx sudah mati, maka gagasan/ide Komunisme dalam bentuk sinyal-sinyal listrik yang ada di kepalanya juga sudah lenyap, sudah padam. Anda baca bukunya, dan melalui susunan huruf yang membentuk kata dan kalimat tersebut anda lalu ‘menyerap’ makna, artinya gagasan/ide yang dikandung dalam susunan huruf tersebut telah ‘tersebar’ ke dalam otak anda, lalu gagasan/ide tersebut disimpan dalam bentuk sinyal-sinyal listrik. Membaca dan memahami diartikan anda sedang melakukan interaksi dengan si pemilik gagasan/ide tersebut, maka sekalipun Karl Marx sudah mati dan bukunya masih ada, anda tidak dikatakan sedang berinteraksi dengan buku, namun sedang melakukan ‘koneksi’ dengan si pengarangnya. 

Buku hanyalah media penyimpan gagasan/ide, bukan si pemilik ide. Lalu apakah bisa dikatakan buku tersebut merupakan manifestasi dari pengarangnya, dan karena si pengarang sudah tidak ada, ketika anda menyampaikan hormat dan kekaguman kepada gagasan/ide tersebut anda memperlakukan buku sebagai pribadi Karl Marx..?? tentu saja tidak.., penghormatan dan kekaguman tetap kita tujukan kepada si pengarangnya yang sudah mati, bukan kepada bukunya. Ketika anda merasa tidak setuju dan mengkritik gagasan/ide yang disampaikan dalam buku tersebut, apakah protes anda ditujukan kepada buku..?? tentu saja tidak…, anda akan mengajukan gugatan kepada pribadi si pengarangnya, kalaulah masih ada kesempatan untuk menjawabnya, maka jawaban tidak akan anda harapkan datang dari buku tersebut, tapi dari sipengarangnya. 

Ini hanya pikiran berdasarkan akal sehat saja, semua orang pasti mempunyai pikiran yang sama, kecuali mungkin kalau dia orang gila. Dan saya sedang bicara soal : informasi… 

Jaman dulu ilmu pengetahuan hanya sampai kepada kesimpulan bahwa sesuatu selain Tuhan pastilah makhluk, dan makhluk sepanjang yang bisa diketahui manusia dikatakan sebagai ‘sesuatu yang dikembalikan dalam bentuk materi dan energi’, orang bilang ‘dunia terdiri dari materi dan energi’. Informasi adalah sesuatu yang ada dan bisa kita temukan di dunia ini, dia tersimpan dalam kepala, terkandung dalam buku, bahkan dalam hardisk atau CD berbentuk digital yang terdiri dari susunan angka ‘0’ dan ‘1’ (jangan sampai punya pikiran tulisan anda yang disimpan di hardisk komputer berbentuk huruf yang disimpan seperti halnya buku, kalau anda bedah isi hardisk anda tidak bakalan ketemu susunan huruf-huruf tersebut). Apakah informasi tersebut bisa dikembalikan kepada kedua bentuk tadi..?? menjadi : materi dan/atau energi..?? Silahkan anda timbang beratnya buku Das Kapital tadi, setelah itu susunan huruf-hurufnya diacak sehingga yang tadinya mengandung informasi soal gagasan/ide Marx menjadi tidak lagi memiliki informasi, lalu buku tersebut ditimbang kembali. Beratnya tetap sama, maka informasi yang ada di dalam buku tersebut sama sekali bukan materi. Dunia ilmu pengetahuan mutakhir menemukan bahwa informasi tidak bisa dikembalikan kepada materi atau energi, informasi merupakan bentuk ketiga diluar itu, namun merupakan mahkluk, bukan Tuhan.. 

Ketika Tuhan berfirman, artinya Dia ‘menyebarkan’ gagasan/ide/informasi yang terdapat dalam diri-Nya, sebelum Dia berfirman maka gagasan/ide tersebut ada dalam diri-Nya, menyatu dengan diri-Nya, informasi tersebut adalah diri-Nya sendiri. Ketika Allah mengatakan bahwa gagasan/ide tersebut dia ‘tempatkan’ di Lauh Mahfudz, itu bukan diartikan Allah menjelma menjadi Lauh Mahfudz, tapi gagasan/ide/informasi ‘disebarkan’ dan ‘ditempatkan’ dalam suatu media, entah dalam bentuk apa, katakan saja dalam bentuk ‘bahasa digital Lauh Mahfudz’. Posisi kita dalam memahaminya bisa diibaratkan posisi manusia ketika bahasa digital sebagai media penyimpanan di hardisk komputer belum ditemukan, sama sekali tidak mengerti. Lauh Mahfudz disebut Al-Qur’an berisi tentang informasi alam semesta, baik catatan yang sudah lalu, sedang terjadi maupun akan terjadi, di dalamnya juga termasuk informasi yang kelak diturunkan kedalam Al-Qur’an. 

Ketika sudah tiba masanya, bagian informasi di Lauh Mahfudz yang ditetapkan akan dimasukkan dalam Al-Qur’an disebarkan oleh malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW. Entah dengan cara apa Jibril menyebarkan informasi tersebut, yang jelas gagasan/ide yang tadinya ada dalam diri Allah, lalu disimpan di Lauh Mahfudz tertanam dalam hati/qalbu Rasulullah. Setelah itu Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat, artinya informasi yang mengandung makna tersebut disebarkan kembali dalam bentuk suara, secara ilmu pengetahuan, suara adalah gelombang elektromagnetik dengan ukuran tertentu yang bisa didengar oleh telinga sehingga informasi yang dikandungnya bisa masuk kepada para sahabat, lalu disimpan berupa hapalan, artinya kembali disimpan dalam bentuk sinyal-sinyal listrik yang ada pada kepala setiap orang yang menghapalnya. 

Para sahabat ada yang menulis informasi tersebut, lalu dijaman Usman bin Affan semua tulisan tersebut dikodifikasi dalam sebuah buku/mushaf, yang diberi judul Al-Qur’an. Sama halnya dengan proses Karl Marx menulis Das Kapital tadi, kita tidak mengatakan bahwa sekalipun gagasan/ide yang sebelumnya ada dan menyatu dalam diri Marx telah dituangkan kedalam buku, maka si penulisnya telah menjelma menjadi buku. Lalu ketika kita membaca buku tersebut maka kita tidak berinteraksi dengan buku, tapi dengan si pengarang buku, kalau kita menghormati, mengagumi ataupun pengajukan kritik terhadap informasi yang terdapat dalam buku, kita tidak mengarahkannya kepada si buku, tapi kepada si pengarangnya. Maka demikian pula ketika kita membaca Al-Qur’an, kita tidak sedang berinteraksi dengan mushaf Al-Qur’an, tapi sedang melakukan koneksi dengan si Pengarangnya, yaitu Allah. Kekaguman dan penghormatan, bahkan segala bantahan dan kritik terhadap Al-Qur’an artinya juga ditujukan kepada si Pengarangnya. 

Beberapa ratus tahun lalu Al-Ghazali menyatakan bahwa Al-Qur’an bersifat kekal/qadim, maka pengertiannya bisa dijelaskan berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas. Tentu saja sebagai suatu informasi/gagasan/ide maka Al-Qur’an adalah kekal, karena sebelum disebarkan kedalam media lain maka informasi tersebut ada dalam diri Allah dan menyatu dengan Allah. Lalu ketika informasi tersebut dikeluarkan maka ‘si informasi’ menjadi ‘sesuatu yang bukan Allah’ karena Allah tidak mengikuti gagasan/ide yang telah disebarkan tersebut, Allah tidak menjelma menjadi informasi, sama halnya dengan si pengarang yang menyebarkan gagasan/ide dari kepalanya tidak dikatakan ‘berubah bentuk’ menjadi informasi yang telah dikeluarkannya. Informasi bersifat kekal dan akan hidup terus sekalipun si pengarangnya sudah meninggal dunia, maka Al-Qur’an juga akan kekal dan ada selamanya, apalagi si Pengarangnya juga bersifat kekal. Jadi yang dimaksud Al-Qur’an bersifat qadim oleh Al-Ghazali, bukan merujuk kepada mushaf atau media apapun yang dipakai sebagai sarana untuk menyimpan, tapi sifat kekal tersebut ditujukan terhadap informasi yang terkandung di dalamnya.


0 komentar: