Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa surga merupakan sesuatu yang ‘diwariskan’ kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa, beberapa ayat yang menyatakan hal tersebut antara lain pada surat az-Zukhruf 72 al-Mu’minuun 10-11. Arti kata ‘waris’ umumnya dimaknai sebagai ‘sesuatu yang seharusnya dimanfaatkan oleh seseorang namun karena satu suatu sebab pemanfaatannya dialihkan kepada orang lain’, maka muncul pertanyaan :”Jadi milik siapa seharusnya surga yang telah diwariskan kepada orang beriman tersebut..?”. 

Para ulama menafsirkan bahwa semua manusia sebenarnya telah disediakan Allah ‘kapling’- nya masing-masing di surga maupun di neraka. Disaat manusia tersebut memilih untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah maka ketika dia masuk surga terjadi ‘serah-terima’ kapling yang sudah disediakan tersebut, ditambah dengan kaplingan orang lain yang bernasib sial tidak dapat memanfaatkannya. Mengapa orang lain tersebut tidak bisa memiliki surga yang sudah disediakan buat dirinya..?? karena dia telah memilih untuk ingkar kepada Allah sehingga masuk ke neraka, maka serah-terima terjadi untuk bagiannya di neraka yang memang sudah disediakan. Lalu karena tempat orang beriman di neraka tidak diisi disebabkan dia masuk surga, maka kaplingannya tersebut diwariskan kepada orang yang ingkar dan berdosa. Makanya dalam ayat yang lain Allah mengatakan : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga. ‪(Ar-Rahmaan: 46). Bahkan Allah menginformasikan surga yang diwariskan kepada orang yang beriman dan bertaqwa tersebut lebih dari satu : Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi ‪(Ar-Rahmaan: 62)‪. 

Informasi Al-Qur’an ini mengungkapkan soal takdir, memang benar bahwa ketika manusia berada didalam kandungan, Allah sudah menetapkan takdirnya : 

Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. [Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643] 

Perlu diketahui bahwa yang dinamakan ‘takdir’ seorang manusia berada dalam pengetahuan Allah, kita tentu saja bisa menerima kalau Allah mengetahui apapun nasib yang akan kita terima kelak, karena Dia memang Maha Mengetahui, namun karena takdir tersebut berada dalam pengetahuan Allah, dan Allah adalah suatu eksistensi yang tidak terikat dengan ruang dan waktu, maka kita tidak bisa mengatakan takdir tersebut ‘telah’ ditetapkan dan ‘akan’ terjadi, karena hal tersebut sama saja artinya kita telah menempatkan pengetahuan Allah tersebut dalam konteks ruang dan waktu. Yang bisa kita terima dalam memahami takdir ini hanyalah : bahwa Allah mengetahui nasib yang kita jalani, cuma itu.. 

Berikutnya, tidak ada diantara manusia yang mengetahui bagaimana nasibnya kelak, apakah dia masuk neraka atau surga. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan manusia bisa fokus terhadap perbuatan yang dilakukannya sekarang. Sejauh yang bisa diperkirakan, kita berusaha untuk menimbang semuanya dari jejak perbuatan yang kita lakukan. Seorang yang memilih untuk taat dan patuh kepada Allah memperkirakan kelak dirinya akan masuk surga, sebaliknya orang yang memilih untuk ingkar maka hati nuraninya akan berbicara tentang kemungkinan dia masuk neraka. 

Munculnya aliran-aliran Jabariyah dan Qadariyah tentang takdir, yang satu menyatakan posisi manusia yang tidak berbuat apa-apa terhadap nasib yang akan diterimanya kelak, dan sebaliknya menyatakan nasib manusia ditentukan oleh hasil usahanya sendiri dan Tuhan tidak ikut-campur, merupakan pemahaman yang ‘salah posisi’, karena telah melihat takdir dari sudut pandang pengetahuan Allah. Seharusnya sebagai manusia yang terkait dengan takdir tersebut, kita menempatkan diri sebagai manusia juga, yang memiliki pengetahuan dibatasi oleh ruang dan waktu, dan ketidak-tahuan kita terhadap bentuk takdir yang akan diterima kelak. Dengan menempatkan posisi demikian maka sikap yang muncul tentang takdir kita sendiri adalah : Kita meyakini Allah mengetahui apa yang akan kita alami nantinya, dan porsi kita adalah tidak memikirkan bagaimana hasilnya, melainkan berusaha untuk mendapatkan takdir yang terbaik untuk diri sendiri.

 

0 komentar: