Loading

Jumlah Kunjungan

Artikel Terbaru MMT

Facebook Arda Chandra

Powered by Blogger.
Kalau aku mati, jangan sedih.
Karena aku bahagia.

Perdebatan kalangan umat Islam tentang mentakwilkan ayat-ayat yang terkait dengan eksistensi Allah nyaris membosankan karena dipastikan sudah merupakan siaran ulangan sejak ratusan tahun lalu. Tidak ada argumen dan dalil baru dan tidak ada hasil akhir baru, hanya sampai kepada sikap saling menuduh sesat dan kafir.

Pihak yang ngotot untuk menerima apa adanya informasi tentang eksistensi Allah tanpa mentakwil tetap harus terperangkap dengan dimensi ruang dan waktu ketika mereka harus menjelaskan. Bagaimana cara memisahkan kata : tinggi, atas, dekat, dengan dimensi ruang? Ibarat mau memisahkan rasa manis dari gula, mustahil. Bagaimana cara menjelaskan kata wajah, kedua tangan, bersemayam, dari materi? Semua kosakata tersebut, dalam bahasa apapun yang dikenal manusia, pasti terikat kepada makhluk.

Pihak yang tidak ingin mentakwilkan kosakata tersebut tidak akan mampu mengurainya melalui nalar, karena setiap penjelasan lanjutan dengan memakai bahasa manusia akan ‘terperangkap’ kepada kebendaan.

Sebaliknya kelompok lain berusaha menjelaskan kosakata tentang Allah ini dengan cara mentakwilkannya. Misalnya beristiwa’ diatas arsy ditakwilkan sebagai berkuasa/menguasai, wajah Allah ditakwil dengan kerajaan, Allah tertawa ditakwil sebagai rahmat. Masalahnya, siapa yang bisa memastikan bahwa takwil tersebut benar menurut Allah, mengapa mentakwilkan kata ‘wajh’ dengan kerajaan dan bukan dengan takwil yang lain, mengapa mengartikan kata ‘ad-dhahk/tertawa’ dalam sebuah hadits sebagai rahmat dan bukan sifat yang lain?

Makanya kita bisa simpulkan, perdebatan soal eksistensi Allah ini tidak lebih hanyalah ‘memperebutkan pepesan kosong’, semua pihak tidak punya otoritas yang kuat untuk menghakimi pihak lain, karena hanya bermodal wallahu’alam.

Satu-satunya titik temu dari kedua kutub pemahaman ini adalah : bahwa sepanjang kosakata tentang eksistensi Allah tersebut tercantum dalam Al-Quran dan hadits shahih, maka semua pihak menerima memang itulah kosakata yang dipergunakan Allah untuk menjelaskan diri-Nya, tidak peduli mau ditakwil atau mau diterima apa adanya.

Lalu, daripada semua pihak ngotot mempertahankan cara mereka dalam memahami Allah sambil menyatakan pihak lain tersesat, mengapa tidak membatasi diri untuk hal yang disepakati ini saja? Tentang soal cara setiap orang memahami Allah serahkan saja kepada kecenderungan pribadi dan intelektualnya.

Sebagai analogi bagaimana otak manusia bekerja, kita bisa menengok kepada para seniman lukis. Ketika pelukis Basuki Abdullah melihat objek lukisan, dia menangkap tampilan natural yang kasat mata, keindahan dilihat dari bentuk fisik, keteraturan, komposisi warna alami, keseimbangan, maka pelukis ini memilih cara berpikir naturalisme atau realisme. Maestro Affandi beda lagi, keindahan menurutnya adalah ekspresi yang terpancar dari objek, rasa marah, lucu, kecewa, gusar, bosan, itulah yang dia pindahkan keatas kanvas, padahal objeknya sama dengan yang dilihat Basuki Abdullah. Affandi dikenal sebagai maestro lukis beraliran ekspresionisme.

Kalau anda membaca isi kepala Pablo Picasso, mungkin anda menemukan otaknya berisi bentuk-bentuk benda seperti kubus, jajaran genjang, segitiga, empat persegi panjang, karena keindahan dia tangkap dan dia tuangkan dalam susunan bentuk benda tersebut, dia adalah tokoh lukis aliran kubisme.

Tidak ada yang salah dari semua cara pendekatan tersebut, manusia punya dimensi pikiran yang beragam untuk memahami sesuatu, termasuki informasi kitab suci yang berkaitan dengan eksistensi Allah. Yang penting adalah : apakah pemahaman tersebut mampu membawa manusia untuk menghasilkan akhlaq terbaiknya, mampu memunculkan kesalehan, ketaatan, ketundukan kepada semua perintah dan larangan Allah, itulah tujuan akhir dari proses kita dalam memahami Tuhan.

Al-Quran memberikan pelajaran cara kita bersikap kepada orang yang punya pemahaman tersendiri tentang Tuhannya, ketika Rasulullah harus menghadapi ‘pertanyaan mujassimah’ dari seorang Badui kampung, alih-alih disalahkan dan divonis sebagai kekafiran atau kesesatan, si Badui malah diberikan pencerahan dengan membawa dia kepada sikap kesalehan :

Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, Abussyaikh dan lain-lainnya meriwayatkan dari beberapa jalan, dari Jarir bin Abdul Hamid, dari Abdah as-Sajastani, dari as-Shalt bin Hakim bin Mu’awiyah bin Jaidah, dari bapaknya yang bersumber dari datuknya. Suatu hari seorang Arab Badui mendatangi Nabi SAW lalu bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat bermunajat kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus berteriak menyeru-Nya?” Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini :

QS 2:186 Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.

Allah tidak memerintahkan nabi Muhammad untuk menghakimi si Badui :”Mujassimah ente, haram hukumnya berpikiran seperti itu”, si Badui dibiarkan memahami Allah dengan caranya sendiri, tapi Allah lalu mengarahkan dia untuk melakukan ketaatan dan kesalehan, melalui cara berpikirnya tersebut.

Allah saja tidak menghakimi, lalu mengapa kita menghakimi?

Aswaja bertanya kepada salafi :”Apa pendapat ente tentang Allah yang menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya..?”.
Salafi menjawab :”Itulah kata yang ditetapkan Allah tentang diri-Nya, maka tangan yaa tangan, dua yaa dua, itu yang disampaikan Allah maka itu juga yang harus kita terima, tapi 2 tangan Allah tidak sama dengan 2 tangan makhluk..”.
Aswaja menembak :”Sekalipun ente bilang berbeda dengan makhluk, tetap saja ente persamakan dengan makhluk, tidak bisa melepaskan diri dari hal tersebut. Ibaratnya ente bilang ‘manusia itu adalah binatang yang berpikir’, maunya ingin membedakan dengan binatang, tapi tetap saja binatang. Mujassimah ente..”.

Salafi bertanya kepada aswaja :”Apa pendapat ente tentang Allah yang menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya..?”.
Aswaja menjawab :”Mana mungkin Allah punya tangan..? Jumlahnya 2 lagi, ayat ini harus ditakwilkan....”.
Salafi langsung menembak :”Ente mentakwilkan ayat tersebut karena begitu mendengar kata ‘dua tangan Allah’ otak ente otomatis memahaminya sebagai bagian dari tubuh. Coba kalau kata tersebut tidak memahami seperti itu, tidak mungkin muncul ide untuk mentakwilkan. Jadi secara naluri ente mengakui kata tersebut berhubungan dengan bagian dari tubuh. Mujassimah ente...”.

Penonton yang menyaksikan debat tersebut berpikir :”Ternyata kita semua tidak bisa melepaskan diri dari pemikiran mujassimah”.

Note : Mujassimah : pemikiran yang menjasadkan atau membendakan Allah.
😀😀

Dulu saya pernah mengajukan pertanyaan iseng :"kalau saat ini Rasulullah masih ada, kepada siapa beliau akan berpihak ketika kesebelasan Arab Saudi bertanding dengan Indonesia..?". Pertanyaan ini tentu saja tidak perlu dijawab, namun direnungkan dan dijadikan dasar untuk memikirkan keberadaan negara bangsa (nation state) yang berlaku di dunia internasional saat ini, lalu sikap chauvinisme atau ashobiyah, fanatik terhadap nasionalisme yang berlebih-lebihan. Keduanya kemudian membentuk pola hubungan politik, sosial, ekonomi yang terjadi antara satu negeri dengan negeri lain.

Jangan dikira tuntunan Islam tentang ukhuwah Islamiyah menjadi darah daging pada orang-orang di Arab Saudi, termasuk pemerintah mereka. Pada satu sisi anda akan terkejut menemukan fakta kalau kecintaan terhadap negara bisa saja mengalahkan perasaan persaudaraan Islam yang menjadi faktor utama ketika ajaran ini mulai disebarkan oleh nabi Muhammad. Barangkali rasa bersatu, senasib dan sepenanggungan bisa anda temukan disekitar Masjdil Haram dan masjid Nabawi, namun jangan berharap itu juga akan muncul di jalan raya ketika anda sebagai orang asing melakukan pelanggaran lalu-lintas, senggolan dengan pengemudi warga Arab Saudi misalnya, atau juga persamaan dalam berdagang dan membuka usaha. Silahkan tanyakan kepada perantau-perantau Indonesia yang sudah bermukim lama disana, anda akan menemukan banyak cerita diskriminasi, sekalipun sama-sama Muslim.

Maka kedatangan raja Salman ke Indonesia yang katanya akan membawa duit ratusan trilyun tersebut haruslah ditempatkan pada proporsi yang benar, bahwa sebagai pemimpin negara, beliau tentu saja membawa kepentingan pemerintah dan rakyat di negerinya sendiri, minimal ada kerjasama saling menguntungkan. Tidak akan ada semacam 'anugerah pertolongan yang menyelamatkan'. Jangan sampai gairah kebangkitan umat Islam belakangan ini membuat mata kita tertutup sehingga tidak mampu berpikir logis, misalnya dengan mengatakan 'duit Arab' akan menyelamatkan kita dari jebakan 'duit Cina'. Apalagi sampai berpikiran bahwa pemerintah Arab Saudi sangat peduli dengan nasib umat Islam Indonesia yang saat ini dihajar kiri-kanan, dihina oleh orang kafir, dan pembusukan oleh sebagian kalangan Islam sendiri. Keselamatan umat Islam Indonesia tergantung usaha kita sendiri atas pertolongan Allah.

Jangan berharap kepada makhluk Allah yang lain karena mereka sama saja lemahnya dengan kita...

'Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan..".


Manusia sering memakai istilah dengan memelintir maknanya sehingga apa yang dia lakukan seolah-olah terkesan terhormat. Kalau suatu waktu anda ditangkap polisi lalu-lintas maka anda kemungkinan ditawarkan :"Bapak mau saya bantu..?", maksudnya daripada harus repot mengikuti proses pengadilan tilang lebih baik urusan diselesaikan di lapangan. Pak polisi menjuluki perbuatannya sebagai kegiatan mulia untuk membantu kesulitan para pengemudi yang ditangkap.

Demikian pula dengan istilah ini, politisi menganggap pemerintah butuh sosok yang berkualitas untuk mengurus kementrian, maka dikatakan :"Saya tidak berkeberatan mewakafkan kader partai untuk membantu pemerintah.", maksudnya mau menunjukkan kalau partai tersebut telah berkorban dalam menempatkan orang-orangnya dalam posisi menteri.

Tindakan membantu atau mewakafkan merupakan perbuatan yang memerlukan pengorbanan bagi pihak yang menjalankannya, ada sumbangan tenaga ataupun materi tanpa kompensasi apapun, kecuali imbalan dari Allah kelak di akhirat. Kalau itu dilakukan karena keuntungan yang ingin didapatkan maka bukan membantu atau mewakafkan namanya.

Berhentilah memakai istilah yang bertujuan untuk membuat mulia perbuatan yang sebenarnya tidak mulia. Mengapa tidak berbicara apa adanya saja bahwa anda memang mengharapkan sesuatu untuk keuntungan pribadi atau kelompok sendiri.? Lumrah saja dalam dunia politik untuk berusaha memegang jabatan dan menmgambil keuntungan dari kekuasaan yang diperoleh..